Catatan Penulis
Penetapan Tersangka Tragedi Kanjuruhan, Momentum Perbaikan Sepak Bola Nasional

Ada hal langka terjadi di sepak bola kita. Polisi menetapkan tersangka tewasnya suporter dalam sebuah pertandingan sepak bola. Setelah sebelumnya kematian-kematian suporter hanya dianggap musibah dan tak ada tersangka yang ditetapkan, polisi akhirnya mengumumkan 6 tersangka dalam Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 130 orang itu.
Kita boleh berharap penetapan nama-nama tersangka ini bisa menjadi momentum perbaikan sepak bola nasional. Mengapa?
Dalam kejadian terakhir di mana dua suporter Persib tewas, otoritas tidak menetapkan nama-nama tersangka. Saat itu, kedua suporter tewas saat hendak masuk ke Stadion GBLA di laga Piala Presiden 2022 yang mempertemukan Persib dan Persebaya. Mereka tewas setelah berdesak-desakan di pintu masuk stadion.
Sanksi yang diberikan hanya berupa denda Rp 50 juta dan larangan bermain di GBLA untuk Persib. Otoritas tak juga menetapkan tersangka dan peristiwa itu hanya dianggap musibah. Setelah berduka, mengutuk, dan berharap keduanya menjadi korban terakhir, peristiwa itu menguap dan mulai dilupakan banyak orang. Hingga terjadilah Tragedi Kanjuruhan dengan korban tewas 65 kali lipat.
Saya sering skeptis atas upaya perbaikan sepak bola nasional. Sudah sering diulas apa penyakit yang membuat sepak bola kita jalan di tempat. Namun tembok tebal menghadang upaya perbaikan itu. Dan tembok tebal itu bernama PSSI.
PSSI selalu saya jadikan kambing hitam atas bobroknya sepak bola nasional. Federasi adalah otoritas tertinggi yang memiliki wewenang membuat regulasi. Artinya, baik buruk sistem persepak bolaan di tanah air ditentukan seberapa bagus regulasi dan pelaksanaannya di lapangan.
Sebagai organisasi resmi di bawah FIFA, PSSI tentu mengadopsi peraturan badan tertinggi sepak bola dunia itu. PSSI juga membuat peraturan sebagai panduan bagi klub dalam beraktivitas di kompetisi resmi. Namun sayang, seringkali regulasi-regulasi ini hanya jadi macan kertas karena tidak dijalankan secara konsisten.
Ambil contoh bagaimana Ketua Panpel Arema FC, Abdul Haris, yang dihukum 20 tahun tidak boleh beraktivitas di sepak bola karena terbukti mencoba menyuap Komdis PSSI pada 2010. Entah bagaimana ceritanya, dia bisa kembali menjadi Ketua Panpel Arema sebelum masa hukuman berakhir. Kembali ke 2019, dirijen Aremania, Yuli Sumpil, dibebaskan dari hukuman larangan seumur hidup masuk stadion setelah melakukan provokasi kepada pemain Persebaya dengan masuk lapangan. Padahal hukuman itu baru satu tahun berjalan.
Ketidakadilan demi ketidakadilan dalam pemberian hukuman kepada klub memicu keributan antar suporter. Hal ini membuat tensi di antara para kelompok suporter meningkat dan sering menimbulkan gesekan di lapangan. Sayang, tak ada langkah konkrit yang diambil PSSI menyelesaikan permasalahan ini. Seperti yang kita lihat, suporter hanya dijadikan obyek dan pelengkap kompetisi. Padahal suporter adalah nilai jual kompetisi yang menjadikan Liga Indonesia diminati.
Konflik di antara para kelompok suporter membuat mereka tidak satu visi dalam upaya perbaikan sepak bola nasional. Tak heran, gerakan-gerakan suporter hanya dijalankan secara sporadis sehingga mudah dipadamkan. Dan PSSI cenderung (atau sengaja?) membiarkan kelompok-kelompok suporter ribut.
Sepak bola Indonesia pernah memiliki beberapa momentum perbaikan. Lahirnya breakaway league pada 2011 saat beberapa klub anggota PSSI membuat liga baru di luar PSSI sempat dianggap sebagai harapan perbaikan. Perubahan liga resmi dari ISL ke IPL juga dianggap sebagai awal perubahan. Namun pada akhirnya, perubahan itu tidak menjadikan sepak bola Indonesia lebih baik dan justru semakin meruncingkan konflik yang berimbas terhadap terpuruknya sepak bola kita.
Namun, harapan perbaikan harus selalu dikobarkan. Kita sudah lelah berkonflik. Penetapan nama-nama tersangka dalam Tragedi Kanjuruhan harus dipakai sebagai momentum perbaikan.
Suporter diharapkan menjadi agen perubahan. Agar gerakan ini tidak mlempem, suporter harus melakukannya dalam sistem dan koridor regulasi. Yang paling penting, adanya penyamaan visi perubahan antar suporter. Upaya-upaya damai antar kelompok suporter rival patut disambut baik. Meski begitu, saya berharap upaya-upaya itu juga dibarengi dengan penyamaan visi untuk perubahan sepak bola.
Saya masih percaya perubahan bisa terjadi jika dilakukan berdasar sistem yang ada. Pemerintah melalui Presiden Jokowi sepertinya sadar akan hal itu. Agar tidak dianggap intervensi, Jokowi menghubungi FIFA dan AFC untuk melakukan transformasi sepak bola. Jalinan komunikasi itu kemudian menghasilkan beberapa poin rekomendasi dari FIFA. Kita tentu berharap langkah ini membawa perubahan sehingga patut ditunggu hasilnya.
Jika langkah ini tidak berhasil, suporter harus mencari cara lain yang tidak melanggar regulasi. Sebenarnya dalam regulasi organisasi PSSI, perubahan itu dimungkinkan. Kekuasaan tertinggi PSSI ada di tangan anggota PSSI yang menjadi pemilik suara atau voter. Para voter inilah yang memilih Ketum dan Exco PSSI. Dalam kongres pemilihan PSSI pada 2019, terdapat 86 voter yang terdiri dari 34 Asprov PSSI, 18 klub Liga 1, 22 klub Liga 2, 10 klub Liga 3, dan 2 asosiasi futsal dan sepak bola wanita.
Para voter bisa juga meminta Kongres Luar Biasa (KLB) untuk mengganti Ketum dan Exco PSSI yang dianggap tidak becus dalam mengelola organisasi. Sejak Tragedi Kanjuruhan, banyak suara yang meminta Ketum PSSI, Mochammad Iriawan, untuk mundur. Namun, sang Ketum rupanya menolak desakan mundur karena merasa tidak bersalah dalam tragedi itu.
Suporter tidak bisa meminta Ketum mundur karena tak ada dalam aturan organisasi. Namun, suporter bisa mendesak para voter untuk mengusulkan agar KLB digelar. Suporter bisa meminta Asprov PSSI dan klub-klub voter menandatangani kesepakatan untuk menggelar KLB dan memilih pengurus PSSI yang kompeten dan tidak memiliki konflik kepentingan.
Peran klub juga dibutuhkan dalam perubahan. Tanpa klub, kompetisi sepak bola sejatinya tak akan bisa berjalan dengan baik. Begitu pentingnya peran klub seharusnya membuat mereka sadar jika mereka membutuhkan pengurus PSSI yang kompeten.
Sepak bola saat ini telah menjadi industri. Sebuah industri yang sehat membutuhkan iklim dan ekosistem yang sehat pula. Itulah mengapa dibutuhkan pengurus PSSI yang kompeten yang mampu menciptakan iklim dan kompetisi sepak bola yang sehat.
Dua klub Liga 1, Madura United dan Persis Solo, telah menentukan sikap usai Tragedi Kanjuruhan. Jika Madura United menghentikan aktivitas mereka hingga perbaikan terjadi, Persis mengancam akan mengeluarkan mosi tidak percaya kepada PSSI jika tidak melakukan perbaikan. Kini suporter menunggu sikap dari 16 klub Liga 1 lain dan klub-klub Liga 2 serta Liga 3 untuk membuat pernyataan sikap atas Tragedi Kanjuruhan.
Momentum tak akan ada artinya jika tidak dimanfaatkan. Perlawanan dari pihak-pihak yang pro status quo pasti akan gencar dilakukan. Karenanya, konsistensi dan kesamaan visi dibutuhkan. Dalam sebuah gerakan, konsistensi dan kesamaan visi akan menentukan keberhasilan.
Peran suporter sangat diperlukan dalam perubahan ini. Tanpa itu, perubahan hanya akan jadi angan-angan. Jalan perubahan memang masih sangat panjang dan terjal. Bukan kita tidak mampu melakukan perubahan, namun apakah kita mau melakukannya. (*)
Catatan Penulis
Masih Ada PR yang Belum Tuntas, Saatnya Bonek Bentuk Presidium?

Bonek bukan sebuah organisasi yang memiliki struktur yang solid. Padahal, Bonek punya banyak tantangan yang mesti dihadapi. Kelompok suporter Persebaya ini seringkali kedodoran dalam menyelesaikan permasalahan. Hingga saat ini, masih ada beberapa pekerjaan rumah yang belum tuntas yang mesti diselesaikan Bonek.
Sebut saja masalah Boling (Bondho Maling). Kehadiran gerombolan yang memakai atribut Persebaya di setiap laga-laga Green Force ini sering berdampak negatif. Aksi-aksi kriminalitas yang mereka lakukan membuat Persebaya kesulitan berlaga terutama di laga away. Eksesnya langsung dirasakan Bonek. Mereka kerap dilarang mendampingi Persebaya berlaga.
Aparat acapkali kesulitan membedakan antara Bonek dan Boling. Mereka menganggap Boling adalah suporter Persebaya. Celakanya, Bonek juga tidak punya mekanisme khusus untuk memisahkan Boling dengan Bonek. Hingga saat ini, menjadi Bonek bukan sesuatu yang sulit. Hanya berbekal atribut Persebaya, semua bisa jadi Bonek.
Kelompok suporter lain yang memiliki badan hukum punya mekanisme yang bisa memisahkan antara anggotanya dengan non anggota. Ada kartu anggota yang mesti dimiliki setiap anggota resmi. Data diri anggota juga tercatat di database organisasi.
Bagaimana dengan Bonek?
Bonek dibentuk dengan kesadaran kolektif warga Surabaya untuk mendukung Persebaya. Dukungan ini pada akhirnya meluas tidak hanya datang dari warga Surabaya. Persebaya yang beberapa kali merajai kompetisi era Perserikatan dianggap mewakili Jawa Timur. Banyak suporter berasal dari daerah-daerah lain di Jawa Timur.
Bonek tidak terikat dalam sebuah organisasi. Sifat massanya cair dengan slogan No Leader Just Together. Slogan ini terlihat sangat egaliter. Sayangnya, banyak masalah yang tak tertangani dengan baik. Dalam kasus Boling, setiap ekses negatif yang dilakukan orang-orang beratribut Persebaya seringkali dimaklumi. Tak heran jika masalah Boling selalu muncul dari musim ke musim.
Namun, gelora perlawanan di kalangan Bonek terus bermunculan. Suara-suara menentang eksistensi Boling kerap mencuat di linimasa media sosial. Sayangnya, suara-suara itu biasanya hanya berhenti di sana.
Bonek tidak punya mekanisme cepat yang diamini mayoritas Bonek dalam menyikapi sebuah permasalahan. Mekanisme itu biasanya diserahkan ke masing-masing tribun Bonek (Tribun Kidul, Tribun Timur, Green Nord, dan Gate 21). Namun, sikap masing-masing tribun terkadang berbeda. Masalah lain, suara mereka tidak bisa dianggap sebagai representasi Bonek.
Jaman yang Selalu Menghadirkan Tantangan Baru
Setiap jaman punya tantangan sendiri-sendiri. Masalah-masalah yang dihadapi Bonek semakin kompleks. Gerakan perlawanan di setiap jaman membutuhkan strategi yang berbeda. Saat Persebaya dimatisurikan federasi, gerakan perlawanan dengan slogan No Leader Just Together tentu masih relevan. Namun, apakah strategi gerakan perlawanan itu masih efektif saat ini?
Bonek membutuhkan mekanisme organisasi agar setiap keputusan bisa merepresentasikan suara mayoritas Bonek. Meski begitu, Bonek tak harus membuat sebuah organisasi berbadan hukum.
Saya mengusulkan pembentukan Presidium Bonek.
Secara de facto, empat tribun dianggap mewakili suara Bonek. Manajemen Persebaya juga mengakui keberadaan mereka. Komunitas-komunitas Bonek banyak yang mengasosiasikan diri dengan tribun pilihannya. Anggota komunitas biasanya menempati tribun Stadion GBT di mana komunitasnya mengasosiasikannya.
Empat tribun sebaiknya mulai memikirkan pembentukan Presidium Bonek. Presidium bertugas menjalankan roda organisasi dalam jangka waktu tertentu. Pengurus presidium termasuk ketuanya dipilih oleh empat tribun ditambah Bonek non tribun seperti Bonek luar kota atau Bonek liar yang tidak terafiliasi dengan tribun. Mekanisme Bonek non tribun bisa diatur kemudian.
Ketua presidium bisa dijabat secara bergiliran. Ketua dan pengurus presidium tidak memiliki kekuatan absolut. Kekuasaan tertinggi ada di tangan empat tribun dan Bonek non tribun. Jika sudah terpilih, ketua presidium dan pengurusnya bisa menjalankan roda organisasi sesuai visi dan misi yang disepakati empat tribun dan Bonek non tribun.
Presidium Bonek harus memiliki program kerja. Salah satu yang saya usulkan adalah pembentukan koperasi yang berbadan hukum. Anggota koperasi adalah semua Bonek. Sementara pengurus koperasi bisa diambil dari profesional. Tugas pokok Koperasi Bonek adalah menyejahterakan anggotanya. Hasil dari koperasi nantinya juga digunakan untuk memutar roda organisasi Presidium Bonek.
Presidium Bonek juga harus memastikan agar suaranya didengar manajemen Persebaya. Organisasi ini juga harus aktif berjuang saat Persebaya dirugikan federasi. Tugas lain presidium adalah membina hubungan dengan kelompok suporter lain.
***
Usulan pembentukan Presidium Bonek terlihat sederhana. Namun dibutuhkan kelegowoan masing-masing tribun dan mayoritas Bonek untuk menyerahkan mandat kepada presidium. Tentu saja empat tribun dan Bonek non tribun masih punya kekuasaan untuk mengawasi presidium. Namun yang perlu diingat adalah suara presidium adalah representasi suara mayoritas Bonek sejak presidium dibentuk.
Presidium Bonek memang bukan satu-satunya cara untuk menyelesaikan tantangan jaman. Namun, usulan pembentukan presidium menarik untuk dikaji. Tantangan ke depan yang semakin kompleks membutuhkan langkah luar biasa. Bonek membutuhkan mekanisme dalam menyelesaikan semua pekerjaan rumahnya dengan elegan. Bonek harus mulai bergerak secara terstruktur dan sistematis.
Bagi saya, Presidium Bonek adalah jawaban terbaik untuk saat ini. (*)
Catatan Penulis
Patah Hati Melihat Liga Indonesia

Liga Indonesia sejatinya memiliki potensi menjadi liga terhebat di Asia bahkan dunia. Indonesia memiliki 275 juta penduduk yang menjadikan sepakbola olahraga nomor 1. Jutaan suporter fanatik yang rela mendukung timnya dengan segenap hati. Ribuan klub bola di seantero negeri. Ratusan perusahaan dan investor yang siap menggelontorkan dana.
Sayang, potensi itu lenyap karena PSSI tidak becus mengelola liga. Liga Indonesia gagal menjadi liga yang layak tonton bagi keluarga-keluarga di Indonesia. Banyak laga yang jauh dari kata sportivitas. Belum lagi keributan-keributan di luar lapangan yang membuat siapa saja muak membahas liga PSSI.
Mengapa bisa begitu? Jawabannya karena keserakahan, kerakusan, rasa tidak tahu malu yang dimiliki mayoritas pengurus PSSI.
Kita mulai dari jabatan Ketua Umum PSSI.
Sudah menjadi rahasia umum jika jabatan orang nomor 1 di federasi ini adalah jabatan seksi. Banyak figur yang tertarik menduduki singgasana PSSI 1. Bukan untuk memajukan sepakbola tanah air. Namun sebagai batu loncatan menduduki jabatan-jabatan publik hingga tujuan-tujuan pribadi atau golongan.
Eddy Rahmayadi sukses menjadi Gubernur Sumatera Utara saat masih menjabat Ketum PSSI. Iwan Bule, Ketum PSSI sekarang, getol membuat baliho kampanye Gubernur Jawa Barat. Hingga usia 92 tahun, Ketum-Ketum PSSI terpilih seperti tidak mengerti sepakbola. Dan lebih aneh lagi, para pemilik suara PSSI terus memilih orang-orang yang tidak kompeten menduduki singgasana orang nomor 1 federasi dan para pengurusnya.
Namun jika kita menilik komposisi pemilik suara, kepentingan PSSI lebih terakomodasi ketimbang kepentingan pemilik klub. Pada kongres tahunan PSSI 2019, terdapat 85 anggota PSSI yang menjandi pemilik suara. Dari jumlah itu, 40 persen atau 34 suara dikuasai Asprov PSSI daerah. Sisanya 18 klub Liga 1, 6 klub Liga 2, 16 klub Liga 3, dan 1 Asosiasi Futsal.
Jika Asprov adalah kepanjangan tangan PSSI, butuh tambahan suara 10 persen + 1 agar status quo bisa tetap menang. Dalam statuta PSSI juga ditetapkan aturan yang bisa menghalangi orang-orang dengan kompetensi tinggi untuk menjadi pengurus.
Di Kongres Pemilihan PSSI 2019-2024, calon ketum harus punya riwayat aktif mengurus sepak bola di lingkungan PSSI alias bukan sekadar aktif di kegiatan sepak bola.
Sistem ini tentu saja melanggengkan posisi orang-orang lama di PSSI. Tak heran, dari periode ke periode, wajah-wajah PSSI selalu dipenuhi muka-muka lama. Meski prestasi sepakbola Indonesia di kancah internasional buruk, para pengurusnya dengan tanpa malu tak mau mengundurkan diri.
Dengan tetap bercokolnya muka-muka lama, tak banyak perubahan hadir di sepakbola kita. Liga Indonesia dari musim ke musim kualitasnya semakin menukik tajam. Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang adalah bom waktu yang meledak akibat bobroknya liga.
Mirisnya, tragedi yang seharusnya menjadi momen mereformasi sepakbola hanya dianggap business as usual. Mungkin juga karena peristiwa tewasnya suporter di stadion bukanlah yang pertama. Menurut data Save Our Soccer (SOS), sebelum Tragedi Kanjuruhan, 78 suporter tewas baik di stadion maupun luar stadion selama Liga Indonesia berlangsung. Tragedi kematian suporter sudah dianggap peristiwa lumrah. Saking biasanya, PSSI seperti kehilangan akal untuk menghentikannya.
Liga 1 Bergulir di Tengah Skeptisme Publik
Di tengah skeptisme publik akan adanya perubahan sepakbola di negeri ini, Liga 1 kembali bergulir. Tuntutan suporter untuk menghentikan sementara liga hingga ada perubahan dalam sepakbola ternyata tidak diindahkan.
Seperti layaknya template, insiden-insiden yang melibatkan wasit kembali terlihat di laga-laga Liga 1. Banyak keputusan wasit yang kontroversial yang menguntungkan atau merugikan beberapa klub. Hal ini memicu suporter saling menyalahkan dan akhirnya menjadi bahan bakar untuk “berkelahi” di medsos.
Persebaya beberapa kali dirugikan dengan keputusan wasit. Saya juga melihat klub-klub lain juga ada yang dirugikan. Di Liga Indonesia, klub apapun bisa jadi korban keputusan buruk wasit. Dan seperti biasa, PSSI tidak bisa berbuat banyak mengatasi permasalahan yang sudah seperti kanker ini.
Kondisi yang telah bertahun-tahun tak pernah berubah ini membuat saya menjadi patah hati melihat Liga Indonesia. Jika sebelumnya saya menulis Patah Hati Melihat Bonek dan Persebaya, kini saya menulis hal yang sama tentang Liga Indonesia. Saya tak lagi bergairah menyaksikannya. Rasanya, dukungan yang saya berikan untuk liga ini tak ada manfaatnya. Tak ada kegembiraan seperti yang saya rasakan saat saya masih menaruh harapan agar liga kita menjadi lebih baik. Kini harapan itu sudah saya buang jauh-jauh.
Meski Persebaya masih berkompetisi, saya tak punya semangat lagi menontonnya. Saya masih tetap sedih saat Persebaya kalah, namun kesedihan itu tidak berlarut-larut. Di liga yang tak lagi menjunjung tinggi sportivitas, kemenangan atau kekalahan tak lagi ada artinya.
Para petinggi PSSI yang telah terbukti gagal membawa prestasi juga tak pernah mengeluarkan pernyataan untuk mundur. Mereka malah sudah ancang-ancang menjabat lagi di kongres PSSI yang digelar tahun depan.
Sikap pesimis akan berubahnya Liga Indonesia membuat saya apatis dan antipati. Melihat potensi yang diabaikan segelintir orang-orang yang memanfaatkan liga ini untuk kepentingan pribadinya membuat saya muak.
Kapan Liga Indonesia bisa memberikan kegembiraan dan kebahagiaan kepada para suporter? Kapan sportivitas yang menjadi roh kompetisi dijunjung tinggi? Kapan PSSI menjadi federasi yang waras?
Rasanya pertanyaan-pertanyaan ini mustahil ada jawabannya. (*)
Catatan Penulis
Pentingnya Merawat Sejarah Persebaya, Agar Bonek Tidak Mudah Pindah Sebelah

Apa pentingnya sejarah? Banyak yang bilang pelajaran sejarah itu membosankan. Beberapa lirik lagu menyiratkan jika kita sebaiknya melupakan masa lalu.
“Yang lalu biarlah berlalu.”
Sepotong lirik lagu “Lamunan” milik Andromeda ini menyiratkan peristiwa di masa lalu tidak penting untuk dibahas. Namun bagi saya, peristiwa di masa lalu yang seringkali disebut sejarah itu sangat penting untuk dibicarakan.
Saya baru mengerti pentingnya sejarah setelah masalah dualisme Persebaya terselesaikan dengan baik. Persebaya yang sempat mati suri kembali dibangkitkan dan mengikuti kompetisi resmi di bawah PSSI.
Dan pahlawan yang membuat Persebaya berdiri kokoh adalah Bonek.
Namun, membangkitkan Persebaya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Bonek sempat terpecah antara mendukung Persebaya asli yang sarat masalah atau Persebaya sebelah yang penuh bintang.
Pada akhirnya, suara mayoritas Bonek tetap keukeuh mendukung Persebaya yang asli. Lem perekat yang membuat Bonek mantap memilih Persebaya yang bermarkas di Karanggayam adalah sejarah yang mesti dirawat.
Perlawanan atas ketidakadilan tidak harus memakai senjata, namun bisa dengan kata-kata. Dan bisa kita lihat saat Persebaya dalam periode mati suri, banyak Bonek menuliskan curahan hatinya di akun-akun Facebook pribadinya. Banyak Bonek yang menulis tentang sejarah Persebaya. Tulisan-tulisan itu menunjukkan dukungan mereka kepada tim kebanggaannya. Meski saat itu banyak hujatan dan makian dari pendukung Persebaya sebelah, mereka tetap teguh pendirian.
Ingatan saya akan dualisme Persebaya dan pentingnya merawat sejarah kembali hadir saat saya datang ke acara Mahakarya Bonek Campus #4. Bonek Campus mengundang pelatih Persebaya saat juara 2004, Jacksen F Tiago dan dua pemain skuad 2004, Uston Nawawi dan Chairil “Pace” Anwar. Acara yang diadakan di Kayoon Heritage, Minggu (18/11) ini memang mengusung tema “Spirit 2004”.

Dua pemain Persebaya saat ini, Atta Ballah dan Riswan Lauhin, juga dihadirkan. Tema yang diangkat Bonek Campus bukan tanpa alasan. Prestasi Persebaya musim ini kurang bagus. Meski di laga terakhir menorehkan sejarah dengan mengalahkan Arema FC di Kanjuruhan, Persebaya masih berada di papan tengah. Target 3 besar yang dicanangkan manajemen tampaknya susah diwujudkan. “Spirit 2004” memberikan pesan agar semangat juara tertanam di dada skuad Persebaya sekarang.
Acara yang berisi talkshow, pameran dokumentasi perjalanan Persebaya juara 2004, dan pertunjukan musik ini cukup ramai dihadiri Bonek. Mereka antusias mengikuti acara demi acara. Tak hanya Bonek lawas, Bonek muda pun datang ke acara yang lebih banyak membahas sejarah Persebaya itu.

Kehadiran Bonek di acara-acara seperti ini patut diapresiasi. Bonek telah sadar pentingnya merawat sejarah Persebaya. Merawat sejarah sangat penting karena bisa memperkuat akar Persebaya. Semakin kuat akar, Persebaya akan tetap berdiri kokoh meski ada banyak masalah menghadang.
Klub adalah representasi para pendukungnya. Setiap klub memiliki karakteristik tertentu yang mewakili suporternya. Bisa dikatakan, klub adalah cermin pendukungnya. Seperti Persebaya yang mengusung karakter kota Surabaya yang Wani dan Ngeyel, jati diri itulah yang selalu diperjuangkan Bonek. Sejarah selalu mengingatkan pentingnya menjaga karakter-karakter itu karena membawa memori Persebaya dari jaman ke jaman.
Persebaya yang lahir sejak 1927 mengusung karakter Surabaya yang selalu konsisten dijalankan stakeholder Persebaya dari tahun ke tahun. Penelitian-penelitian sejarah tentang Persebaya di masa lalu menjadi pelajaran generasi sekarang agar mereka terus memperjuangkan semangat para pendahulunya.

Sejarah juga bisa menjadi refleksi jika di masa mendatang terjadi konflik yang mengancam eksistensi Persebaya. Kita juga bisa belajar untuk tidak mengulangi kesalahan di masa lalu. Karena sejarah akan terus berulang sehingga kita dituntut tetap waspada. Dengan melek sejarah Persebaya, Bonek akan selalu membawa semangat timnya dan tak akan mudah tergoda untuk berpaling.
Di sinilah pentingnya sejarah karena mampu menghubungkan generasi sekarang dengan generasi pendahulu.
Acara-acara seperti ini harus selalu digelar di masa-masa mendatang. Agar Bonek tidak putus hubungan dan konsisten memperjuangkan apa yang diperjuangkan para pendahulunya. Saya yakin, Bonek akan amanah dalam memperjuangkan Persebaya hingga kapan pun. Dan itu sangat membanggakan.
Jika bukan Bonek, siapa yang akan merawat sejarah Persebaya? (*)
-
Catatan Penulis3 years ago
Terima Kasih AZA!
-
Catatan Penulis2 years ago
Saya Bertanya kepada Bonek tentang Arti Kemenangan Persebaya Atas Arema
-
In Memoriam Legend3 years ago
PSIM, Eri Irianto, dan Duka Persebaya
-
Statistik2 years ago
Bedah Strategi Pergantian Pemain Coach Aji Berdasarkan Data
-
Musim5 years ago
Dualisme Persebaya, Era Kegelapan Dalam Sejarah Persebaya
-
Catatan Penulis3 years ago
Mengapa Azrul Mundur, Sebuah Perspektif
-
Catatan Penulis3 years ago
Patah Hati Melihat Bonek dan Persebaya
-
Statistik2 years ago
Sho Me Your Guts!