Connect with us

Catatan Penulis

0110: Sebuah Pesan untuk Bonek

Published

on

Tulisan ini saya buat untuk semua Bonek sejagat raya dalam semesta Tuhan Yang Maha Esa. Kejadian “tragedi 0110” di stadion Kanjuruhan, Malang, menjadi sebuah hari paling gelap dalam sejarah persepakbolaan kita. Bukan hanya tragedi persepakbolaan, namun juga tragedi kemanusiaan. Apa yang terjadi di sana adalah sebuah peringatan bagi kita, sebuah pelajaran berharga bagi kita juga.

Bonek dan Persebaya, jauh sebelum kejadian tragedi ini, kita sudah pernah mengalami tragedi “Asusemper” (Amuk supporter 4 September 2006) dan “Arupagani” (Arogansi aparat 3 Juni 2012). Keduanya terjadi di Gelora 10 Nopember Tambaksari. Situasi dan kondisinya hampir sama, suporter melawan aparat keamanan, perusakan di dalam dan di luar stadion terjadi. Pada tragedi Arupagani yang juga melibatkan penembakan gas air mata, bahkan merenggut jiwa Purwo Adi Utomo (lahumul fatihah buat almarhum) karenanya.

Di sini saya tidak ingin mendiskreditkan salah satu dari pihak-pihak yang rawan disalahkan atau bertanggung jawab usai tragedi itu. Potensi saling tuding akan terjadi antara penyelenggara liga, federasi, pihak keamanan, panpel, klub dan juga suporter. Untuk saat ini saya serahkan kepada TGIPF (Tim Gabungan Independen Pencari Fakta) yang diketuai Mahfud MD (Menkum Polhukam), saya percaya mereka nantinya akan menemukan bukti-bukti investigasi yang otentik yang bisa disajikan secara jujur, terbuka dan jelas kepada masyarakat luas. Kelak saya berharap dari hasil itu bisa dijadikan bahan peraturan perundangan atau regulasi-regulasi yang ketat untuk perbaikan sepak bola nasional.

Karena kapasitas saya adalah sebagai Bonek, maka saya ingin membahas dari sisi supporter saja akan pelajaran yang kita dapatkan dari tragedi kemarin. Pesan saya adalah sebagai berikut:

1. Slogan “NO TICKET NO GAME”

Slogan ini bukan sekedar jargon kosong belaka. Ini penting sekali. Mengapa? Ya karena buat apa berangkat nonton ke stadion kalau tidak punya tiket, ujung-ujungnya juga tak bisa masuk dan menonton pertandingan bukan? Menunggu jebolan pintu atau memanjat dinding stadion? Ayolah, kita hidup di jaman apa saat ini, masa-masa seperti itu sudah lewat, jadikan itu sejarah dan pembelajaran. Apalagi jika kita memaksa datang ke stadion (entah itu sok ‘mengawal kebanggaan agar tak sendirian’, selfa-selfie di sekitaran stadion, atau apalah), itu hanya akan merepotkan diri sendiri dan tentu saja panpel dan petugas keamanan. Personil yang jumlahnya terbatas hanya untuk mengamankan laga di stadion, terpaksa harus bekerja lebih keras karena kedatangan kita yang tak bertiket dan hanya bergerombol di sekitar stadion. Masyarakat sekitar bisa merasa tak nyaman dengan kerumunan kita.

Saya bersyukur Persebaya, panpel, dan aparat keamanan yang bertugas selama ini di Surabaya sejak Persebaya kembali ke Liga 1 sudah melakukan yang terbaik untuk keamanan dan kenyamanan pertandingan. Maka dari itu, saya pikir lebih baik tak datang ke stadion jika tak punya tiket, tak perlu ‘berkorban’ lebih buat calo juga, dan tentu saja tak usah tergiur dengan layar lebar yang dipasang di luar stadion andai ada nonbar. Nonton saja dari layar kaca, tv digital berbayar, atau nonbar di warkop terdekat.  Ini juga berlaku untuk laga away atau tandang, bertamu di luar kota beban tanggung jawabnya lebih berat, sopan dan menjaga nama baik nama Bonek dan Persebaya lebih penting. Sekali lagi tidak perlu berangkat jika tak punya tiket, berangkat away lebih ribet dan butuh koordinasi yang ekstra.

2. Siap menang dan tentu saja, SIAP KALAH

Siapa sih yang tak ingin tim kebanggaannya menang, apalagi menangan? Semua pasti inginlah. Gelorakan semangat tim kita agar meraih kemenangan sebelum pertandingan dimulai. Itu wajib. Namun yang perlu diingat, setiap pertandingan tak mungkin dimenangkan (kalau mau selalu menang ya main playstation saja), ada kalanya seri dan malah kalah. Lantas bagaimana kalau kalah? Apalagi kalau kalah dari rival? Kalau kalah…ya sudah, terima saja. Kecewa sudah pasti, lantas mau diapakan lagi? Sudah terlanjur, nasi sudah menjadi bubur. Tidak apa-apa jika harus bersedih dan marah, mengumpat bila perlu andai itu bisa melepaskan emosi kekecewaan. Selebihnya…ya terima saja dengan lapang dada. Tim kita tak bermain cukup baik mungkin, atau tim lawan yang memang sempurna permainannya. Kalah, kecewa, lalu pulanglah. Itu saja, selesai. Tak perlu berbuat berlebihan yang bisa merugikan banyak pihak.

3. Jangan masuk ke lapangan (pitch invasion)

Sudah menjadi peraturan internasional yang tercantum pada FIFA Stadium Safety and Security Regulations bahwa pitch invasion itu dilarang dalam sebuah pertandingan. Pemerintah Inggris,  bukan hanya sekedar federasinya (FA) bahkan bahkan mengaturnya dalam sebuah perundangan Footbal (Offences) Act 1991 . Pitch Invasion itu sangat berbahaya, bahaya buat para pemain juga bahaya buat penonton sendiri. Hal ini akan memicu terjadinya kerusuhan, satu orang turun akan memancing yang lainnya ikut turun. Ini juga akan memancing tindakan represif dari petugas keamanan, saling balas dan berbuntut kerusuhan. Entah alasanmu turun ke lapangan itu agar terkenal, diliput media massa, bikin konten, nyari tleseran jersey, sepatu atau apparel yang dikenakan pemain, memberi semangat pemain atau bahkan memaki-makinya atau apapunlah….pitch invasion itu awal mula malapetaka. Jadi, tidak ada yang namanya bahwa pitch invasion itu adalah ‘tradisi yang lazim’ untuk  dilakukan terus menerus.

4. Jangan melempar-lempar benda ke dalam lapangan

Melempar benda ke dalam lapangan juga dilarang dalam aturan resmi FIFA karena berbahaya dan mengganggu jalannya pertandingan. Selain itu, yakinlah bahwa lemparanmu itu tak sempurna, belum tentu kena sasaranmu. Sudah banyak kejadian bahwa lemparan kita yang sering tidak akurat itu mengenai penonton lain di depan kita. Selanjutnya, ya rasakan sendiri kalau anda akan ditawur rame-rame oleh orang-orang di sekitar anda.

5. Meneror pemain lawan ada batasnya

Tim lawan hendaknya keder duluan sebelum memasuki lapangan, kita berharap mereka main tak optimal, gagal menampilkan permainan terbaik dan akhirnya kalah. Begitulah harapan kita selama ini, Adanya sistem kandang dan tandang dalam kompetisi, membantu proses itu terjadi secara adil dan berimbang bagi semua tim. Bendera-bendera raksasa, kumpulan suporter yang memenuhi tribun, dan nyanyian-nyanyian penggelora semangat tim yang tak henti-henti berkumandang, itu semua sudah menjadi teror mental tersendiri buat pemain lawan.  Tapi perlukah meneror tim lawan dengan segala cara? Tidak.

Melempari hotel tempat pemain lawan menginap adalah tindakan vandalisme yang kriminal. Bus yang pemain lawan dilempari hingga pecah kaca atau malah dibakar juga kriminal. Bagaimana jika nanti ada pemain lawan yang sampai meninggal atau cacat? Ingat tragedi Nurkiman kawan, mantan pemain Persebaya di era 90 an tersebut cacat permanen pada mata kirinya. Jangan lupakan sejarah kelam ini. Saya tak bisa membayangkan kengerian yang terjadi pada semua kendaraan rantis yang membawa pemain Persebaya keluar dari stadion Kanjuruhan kemarin. Mereka bisa saja meninggal sewaktu-waktu andai saja kendaraan itu kacanya pecah dan dibakar massa supporter yang melampiaskan kemarahan. Saya bersyukur mereka semua selamat.

6. Jangan playing victim

Paling enak memang menunjuk kesalahan pada orang lain atau mencari kambing hitam. Selalu merasa menjadi korban dan yang paling teraniaya. Namun tak sepenuhnya kesalahan ada pada pihak lain seperti federasi, pengelola liga, manajemen klub, pemain dan ofisial tim. Sekali-kali kita perlu bercermin akan diri kita sendiri. Kadangkala kita sebagai suporter, juga banyak melakukan kesalahan dan pelanggaran di sana-sini. Satu hal yang saya ingat adalah bagaimana Bonek merespon kerusuhan yang terjadi di stadion Gelora Delta Sidoarjo pasca Persebaya ditekuk RANS FC waktu lalu.

Sebuah kejadian yang memalukan, merobohkan semua pondasi perjalanan baik yang sudah dilakukan Bonek selama ini, apalagi dilakukan di kota luar Surabaya. Di Surabaya saja sudah memalukan, apalagi di kota lain. Yang membuat saya salut adalah bagaimana respon semua elemen Bonek setelah itu. Mangakui kesalahan, menyesal, meminta maaf dan bertanggung jawab membantu  untuk membiayai renovasi bagian-bagian stadion GDS yang rusak akibat kekecewaan supporter.  Playing victim itu tak bijak, memberikan narasi bahwa kitalah yang paling menderita dan menjadi korban itu juga menyesatkan, ingat sebagian dari kita juga merusak fasilitas-fasilitas yang ada di GDS. Jadi jika kita melakukan kesalahan, maka akuilah, meminta maaflah dan bertanggung jawablah.

Sekiranya demikian pesan-pesan saya dari kejadian 0110 yang bisa saya ambil sebagai pelajaran. Mungkin ada rekan-rekan Bonek-Bonita yang bisa menerima pesan dan mengambil pelajaran dari kejadian ini, silahkan…namun bila dirasa kurang manfaat , abaikanlah saja.

Akhirul kata, saya sampaikan rasa duka yang paling mendalam pada semua korban “tragedi 0110” beserta keluarganya yang ditinggalkan. Lahumul fatihah… (*)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Catatan Penulis

Masih Ada PR yang Belum Tuntas, Saatnya Bonek Bentuk Presidium?

Published

on

Bonek bukan sebuah organisasi yang memiliki struktur yang solid. Padahal, Bonek punya banyak tantangan yang mesti dihadapi. Kelompok suporter Persebaya ini seringkali kedodoran dalam menyelesaikan permasalahan. Hingga saat ini, masih ada beberapa pekerjaan rumah yang belum tuntas yang mesti diselesaikan Bonek.

Sebut saja masalah Boling (Bondho Maling). Kehadiran gerombolan yang memakai atribut Persebaya di setiap laga-laga Green Force ini sering berdampak negatif. Aksi-aksi kriminalitas yang mereka lakukan membuat Persebaya kesulitan berlaga terutama di laga away. Eksesnya langsung dirasakan Bonek. Mereka kerap dilarang mendampingi Persebaya berlaga.

Aparat acapkali kesulitan membedakan antara Bonek dan Boling. Mereka menganggap Boling adalah suporter Persebaya. Celakanya, Bonek juga tidak punya mekanisme khusus untuk memisahkan Boling dengan Bonek. Hingga saat ini, menjadi Bonek bukan sesuatu yang sulit. Hanya berbekal atribut Persebaya, semua bisa jadi Bonek.

Kelompok suporter lain yang memiliki badan hukum punya mekanisme yang bisa memisahkan antara anggotanya dengan non anggota. Ada kartu anggota yang mesti dimiliki setiap anggota resmi. Data diri anggota juga tercatat di database organisasi.

Bagaimana dengan Bonek?

Bonek dibentuk dengan kesadaran kolektif warga Surabaya untuk mendukung Persebaya. Dukungan ini pada akhirnya meluas tidak hanya datang dari warga Surabaya. Persebaya yang beberapa kali merajai kompetisi era Perserikatan dianggap mewakili Jawa Timur. Banyak suporter berasal dari daerah-daerah lain di Jawa Timur.

Bonek tidak terikat dalam sebuah organisasi. Sifat massanya cair dengan slogan No Leader Just Together. Slogan ini terlihat sangat egaliter. Sayangnya, banyak masalah yang tak tertangani dengan baik. Dalam kasus Boling, setiap ekses negatif yang dilakukan orang-orang beratribut Persebaya seringkali dimaklumi. Tak heran jika masalah Boling selalu muncul dari musim ke musim.

Namun, gelora perlawanan di kalangan Bonek terus bermunculan. Suara-suara menentang eksistensi Boling kerap mencuat di linimasa media sosial. Sayangnya, suara-suara itu biasanya hanya berhenti di sana.

Bonek tidak punya mekanisme cepat yang diamini mayoritas Bonek dalam menyikapi sebuah permasalahan. Mekanisme itu biasanya diserahkan ke masing-masing tribun Bonek (Tribun Kidul, Tribun Timur, Green Nord, dan Gate 21). Namun, sikap masing-masing tribun terkadang berbeda. Masalah lain, suara mereka tidak bisa dianggap sebagai representasi Bonek.

Jaman yang Selalu Menghadirkan Tantangan Baru

Setiap jaman punya tantangan sendiri-sendiri. Masalah-masalah yang dihadapi Bonek semakin kompleks. Gerakan perlawanan di setiap jaman membutuhkan strategi yang berbeda. Saat Persebaya dimatisurikan federasi, gerakan perlawanan dengan slogan No Leader Just Together tentu masih relevan. Namun, apakah strategi gerakan perlawanan itu masih efektif saat ini?

Bonek membutuhkan mekanisme organisasi agar setiap keputusan bisa merepresentasikan suara mayoritas Bonek. Meski begitu, Bonek tak harus membuat sebuah organisasi berbadan hukum.

Saya mengusulkan pembentukan Presidium Bonek.

Secara de facto, empat tribun dianggap mewakili suara Bonek. Manajemen Persebaya juga mengakui keberadaan mereka. Komunitas-komunitas Bonek banyak yang mengasosiasikan diri dengan tribun pilihannya. Anggota komunitas biasanya menempati tribun Stadion GBT di mana komunitasnya mengasosiasikannya.

Empat tribun sebaiknya mulai memikirkan pembentukan Presidium Bonek. Presidium bertugas menjalankan roda organisasi dalam jangka waktu tertentu. Pengurus presidium termasuk ketuanya dipilih oleh empat tribun ditambah Bonek non tribun seperti Bonek luar kota atau Bonek liar yang tidak terafiliasi dengan tribun. Mekanisme Bonek non tribun bisa diatur kemudian.

Ketua presidium bisa dijabat secara bergiliran. Ketua dan pengurus presidium tidak memiliki kekuatan absolut. Kekuasaan tertinggi ada di tangan empat tribun dan Bonek non tribun. Jika sudah terpilih, ketua presidium dan pengurusnya bisa menjalankan roda organisasi sesuai visi dan misi yang disepakati empat tribun dan Bonek non tribun.

Presidium Bonek harus memiliki program kerja. Salah satu yang saya usulkan adalah pembentukan koperasi yang berbadan hukum. Anggota koperasi adalah semua Bonek. Sementara pengurus koperasi bisa diambil dari profesional. Tugas pokok Koperasi Bonek adalah menyejahterakan anggotanya. Hasil dari koperasi nantinya juga digunakan untuk memutar roda organisasi Presidium Bonek.

Presidium Bonek juga harus memastikan agar suaranya didengar manajemen Persebaya. Organisasi ini juga harus aktif berjuang saat Persebaya dirugikan federasi. Tugas lain presidium adalah membina hubungan dengan kelompok suporter lain.

***

Usulan pembentukan Presidium Bonek terlihat sederhana. Namun dibutuhkan kelegowoan masing-masing tribun dan mayoritas Bonek untuk menyerahkan mandat kepada presidium. Tentu saja empat tribun dan Bonek non tribun masih punya kekuasaan untuk mengawasi presidium. Namun yang perlu diingat adalah suara presidium adalah representasi suara mayoritas Bonek sejak presidium dibentuk.

Presidium Bonek memang bukan satu-satunya cara untuk menyelesaikan tantangan jaman. Namun, usulan pembentukan presidium menarik untuk dikaji. Tantangan ke depan yang semakin kompleks membutuhkan langkah luar biasa. Bonek membutuhkan mekanisme dalam menyelesaikan semua pekerjaan rumahnya dengan elegan. Bonek harus mulai bergerak secara terstruktur dan sistematis.

Bagi saya, Presidium Bonek adalah jawaban terbaik untuk saat ini. (*)

Continue Reading

Catatan Penulis

Patah Hati Melihat Liga Indonesia

Published

on

Liga Indonesia sejatinya memiliki potensi menjadi liga terhebat di Asia bahkan dunia. Indonesia memiliki 275 juta penduduk yang menjadikan sepakbola olahraga nomor 1. Jutaan suporter fanatik yang rela mendukung timnya dengan segenap hati. Ribuan klub bola di seantero negeri. Ratusan perusahaan dan investor yang siap menggelontorkan dana. 

Sayang, potensi itu lenyap karena PSSI tidak becus mengelola liga. Liga Indonesia gagal menjadi liga yang layak tonton bagi keluarga-keluarga di Indonesia. Banyak laga yang jauh dari kata sportivitas. Belum lagi keributan-keributan di luar lapangan yang membuat siapa saja muak membahas liga PSSI.

Mengapa bisa begitu? Jawabannya karena keserakahan, kerakusan, rasa tidak tahu malu yang dimiliki mayoritas pengurus PSSI.

Kita mulai dari jabatan Ketua Umum PSSI.

Sudah menjadi rahasia umum jika jabatan orang nomor 1 di federasi ini adalah jabatan seksi. Banyak figur yang tertarik menduduki singgasana PSSI 1. Bukan untuk memajukan sepakbola tanah air. Namun sebagai batu loncatan menduduki jabatan-jabatan publik hingga tujuan-tujuan pribadi atau golongan.

Eddy Rahmayadi sukses menjadi Gubernur Sumatera Utara saat masih menjabat Ketum PSSI. Iwan Bule, Ketum PSSI sekarang, getol membuat baliho kampanye Gubernur Jawa Barat. Hingga usia 92 tahun, Ketum-Ketum PSSI terpilih seperti tidak mengerti sepakbola. Dan lebih aneh lagi, para pemilik suara PSSI terus memilih orang-orang yang tidak kompeten menduduki singgasana orang nomor 1 federasi dan para pengurusnya.

Namun jika kita menilik komposisi pemilik suara, kepentingan PSSI lebih terakomodasi ketimbang kepentingan pemilik klub. Pada kongres tahunan PSSI 2019, terdapat 85 anggota PSSI yang menjandi pemilik suara. Dari jumlah itu, 40 persen atau 34 suara dikuasai Asprov PSSI daerah. Sisanya 18 klub Liga 1, 6 klub Liga 2, 16 klub Liga 3, dan 1 Asosiasi Futsal.

Jika Asprov adalah kepanjangan tangan PSSI, butuh tambahan suara 10 persen + 1 agar status quo bisa tetap menang. Dalam statuta PSSI juga ditetapkan aturan yang bisa menghalangi orang-orang dengan kompetensi tinggi untuk menjadi pengurus.

Di Kongres Pemilihan PSSI 2019-2024, calon ketum harus punya riwayat aktif mengurus sepak bola di lingkungan PSSI alias bukan sekadar aktif di kegiatan sepak bola.

Sistem ini tentu saja melanggengkan posisi orang-orang lama di PSSI. Tak heran, dari periode ke periode, wajah-wajah PSSI selalu dipenuhi muka-muka lama. Meski prestasi sepakbola Indonesia di kancah internasional buruk, para pengurusnya dengan tanpa malu tak mau mengundurkan diri.

Dengan tetap bercokolnya muka-muka lama, tak banyak perubahan hadir di sepakbola kita. Liga Indonesia dari musim ke musim kualitasnya semakin menukik tajam. Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang adalah bom waktu yang meledak akibat bobroknya liga.

Mirisnya, tragedi yang seharusnya menjadi momen mereformasi sepakbola hanya dianggap business as usual. Mungkin juga karena peristiwa tewasnya suporter di stadion bukanlah yang pertama. Menurut data Save Our Soccer (SOS), sebelum Tragedi Kanjuruhan, 78 suporter tewas baik di stadion maupun luar stadion selama Liga Indonesia berlangsung. Tragedi kematian suporter sudah dianggap peristiwa lumrah. Saking biasanya, PSSI seperti kehilangan akal untuk menghentikannya.

Liga 1  Bergulir di Tengah Skeptisme Publik

Di tengah skeptisme publik akan adanya perubahan sepakbola di negeri ini, Liga 1 kembali bergulir. Tuntutan suporter untuk menghentikan sementara liga hingga ada perubahan dalam sepakbola ternyata tidak diindahkan.

Seperti layaknya template, insiden-insiden yang melibatkan wasit kembali terlihat di laga-laga Liga 1. Banyak keputusan wasit yang kontroversial yang menguntungkan atau merugikan beberapa klub. Hal ini memicu suporter saling menyalahkan dan akhirnya menjadi bahan bakar untuk “berkelahi” di medsos.

Persebaya beberapa kali dirugikan dengan keputusan wasit. Saya juga melihat klub-klub lain juga ada yang dirugikan. Di Liga Indonesia, klub apapun bisa jadi korban keputusan buruk wasit. Dan seperti biasa, PSSI tidak bisa berbuat banyak mengatasi permasalahan yang sudah seperti kanker ini.

Kondisi yang telah bertahun-tahun tak pernah berubah ini membuat saya menjadi patah hati melihat Liga Indonesia. Jika sebelumnya saya menulis Patah Hati Melihat Bonek dan Persebaya, kini saya menulis hal yang sama tentang Liga Indonesia. Saya tak lagi bergairah menyaksikannya. Rasanya, dukungan yang saya berikan untuk liga ini tak ada manfaatnya. Tak ada kegembiraan seperti yang saya rasakan saat saya masih menaruh harapan agar liga kita menjadi lebih baik. Kini harapan itu sudah saya buang jauh-jauh.

Meski Persebaya masih berkompetisi, saya tak punya semangat lagi menontonnya. Saya masih tetap sedih saat Persebaya kalah, namun kesedihan itu tidak berlarut-larut. Di liga yang tak lagi menjunjung tinggi sportivitas, kemenangan atau kekalahan tak lagi ada artinya.

Para petinggi PSSI yang telah terbukti gagal membawa prestasi juga tak pernah mengeluarkan pernyataan untuk mundur. Mereka malah sudah ancang-ancang menjabat lagi di kongres PSSI yang digelar tahun depan.

Sikap pesimis akan berubahnya Liga Indonesia membuat saya apatis dan antipati. Melihat potensi yang diabaikan segelintir orang-orang yang memanfaatkan liga ini untuk kepentingan pribadinya membuat saya muak.

Kapan Liga Indonesia bisa memberikan kegembiraan dan kebahagiaan kepada para suporter? Kapan sportivitas yang menjadi roh kompetisi dijunjung tinggi? Kapan PSSI menjadi federasi yang waras?

Rasanya pertanyaan-pertanyaan ini mustahil ada jawabannya. (*)

Continue Reading

Catatan Penulis

Pentingnya Merawat Sejarah Persebaya, Agar Bonek Tidak Mudah Pindah Sebelah

Published

on

Apa pentingnya sejarah? Banyak yang bilang pelajaran sejarah itu membosankan. Beberapa lirik lagu menyiratkan jika kita sebaiknya melupakan masa lalu.

“Yang lalu biarlah berlalu.”

Sepotong lirik lagu “Lamunan” milik Andromeda ini menyiratkan peristiwa di masa lalu tidak penting untuk dibahas. Namun bagi saya, peristiwa di masa lalu yang seringkali disebut sejarah itu sangat penting untuk dibicarakan.

Saya baru mengerti pentingnya sejarah setelah masalah dualisme Persebaya terselesaikan dengan baik. Persebaya yang sempat mati suri kembali dibangkitkan dan mengikuti kompetisi resmi di bawah PSSI.

Dan pahlawan yang membuat Persebaya berdiri kokoh adalah Bonek.

Namun, membangkitkan Persebaya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Bonek sempat terpecah antara mendukung Persebaya asli yang sarat masalah atau Persebaya sebelah yang penuh bintang.

Pada akhirnya, suara mayoritas Bonek tetap keukeuh mendukung Persebaya yang asli. Lem perekat yang membuat Bonek mantap memilih Persebaya yang bermarkas di Karanggayam adalah sejarah yang mesti dirawat.

Perlawanan atas ketidakadilan tidak harus memakai senjata, namun bisa dengan kata-kata. Dan bisa kita lihat saat Persebaya dalam periode mati suri, banyak Bonek menuliskan curahan hatinya di akun-akun Facebook pribadinya. Banyak Bonek yang menulis tentang sejarah Persebaya. Tulisan-tulisan itu menunjukkan dukungan mereka kepada tim kebanggaannya. Meski saat itu banyak hujatan dan makian dari pendukung Persebaya sebelah, mereka tetap teguh pendirian.

Ingatan saya akan dualisme Persebaya dan pentingnya merawat sejarah kembali hadir saat saya datang ke acara Mahakarya Bonek Campus #4. Bonek Campus mengundang pelatih Persebaya saat juara 2004, Jacksen F Tiago dan dua pemain skuad 2004, Uston Nawawi dan Chairil “Pace” Anwar. Acara yang diadakan di Kayoon Heritage, Minggu (18/11) ini memang mengusung tema “Spirit 2004”.

Riswan Lauhin dan Atta Ballah mengamati kliping perjalanan Persebaya saat juara 2004.

Dua pemain Persebaya saat ini, Atta Ballah dan Riswan Lauhin, juga dihadirkan. Tema yang diangkat Bonek Campus bukan tanpa alasan. Prestasi Persebaya musim ini kurang bagus. Meski di laga terakhir menorehkan sejarah dengan mengalahkan Arema FC di Kanjuruhan, Persebaya masih berada di papan tengah. Target 3 besar yang dicanangkan manajemen tampaknya susah diwujudkan. “Spirit 2004” memberikan pesan agar semangat juara tertanam di dada skuad Persebaya sekarang.

Acara yang berisi talkshow, pameran dokumentasi perjalanan Persebaya juara 2004, dan pertunjukan musik ini cukup ramai dihadiri Bonek. Mereka antusias mengikuti acara demi acara. Tak hanya Bonek lawas, Bonek muda pun datang ke acara yang lebih banyak membahas sejarah Persebaya itu.

Lewat acara-acara yang mengulas sejarah terjadi transfer pengetahuan sejarah.

Kehadiran Bonek di acara-acara seperti ini patut diapresiasi. Bonek telah sadar pentingnya merawat sejarah Persebaya. Merawat sejarah sangat penting karena bisa memperkuat akar Persebaya. Semakin kuat akar, Persebaya akan tetap berdiri kokoh meski ada banyak masalah menghadang.

Klub adalah representasi para pendukungnya. Setiap klub memiliki karakteristik tertentu yang mewakili suporternya. Bisa dikatakan, klub adalah cermin pendukungnya. Seperti Persebaya yang mengusung karakter kota Surabaya yang Wani dan Ngeyel, jati diri itulah yang selalu diperjuangkan Bonek. Sejarah selalu mengingatkan pentingnya menjaga karakter-karakter itu karena membawa memori Persebaya dari jaman ke jaman.

Persebaya yang lahir sejak 1927 mengusung karakter Surabaya yang selalu konsisten dijalankan stakeholder Persebaya dari tahun ke tahun. Penelitian-penelitian sejarah tentang Persebaya di masa lalu menjadi pelajaran generasi sekarang agar mereka terus memperjuangkan semangat para pendahulunya.

Jacksen F Tiago dan Uston Nawawi.

Sejarah juga bisa menjadi refleksi jika di masa mendatang terjadi konflik yang mengancam eksistensi Persebaya. Kita juga bisa belajar untuk tidak mengulangi kesalahan di masa lalu. Karena sejarah akan terus berulang sehingga kita dituntut tetap waspada. Dengan melek sejarah Persebaya, Bonek akan selalu membawa semangat timnya dan tak akan mudah tergoda untuk berpaling.

Di sinilah pentingnya sejarah karena mampu menghubungkan generasi sekarang dengan generasi pendahulu.

Acara-acara seperti ini harus selalu digelar di masa-masa mendatang. Agar Bonek tidak putus hubungan dan konsisten memperjuangkan apa yang diperjuangkan para pendahulunya. Saya yakin, Bonek akan amanah dalam memperjuangkan Persebaya hingga kapan pun. Dan itu sangat membanggakan.

Jika bukan Bonek, siapa yang akan merawat sejarah Persebaya? (*)

Continue Reading

Trending