Connect with us

Sejarah

Aksi Boikot Sepak Bola di Surabaya Mei 1932

Published

on

Membaca berita hari-hari ini tentang Persebaya, ingatan melayang pada apa yang terjadi di persepakbolaan Surabaya 90 tahun yang lalu. Pada Mei 1932 terjadi peristiwa yang menggegerkan dunia sepak bola sekaligus dunia perpolitikan di Surabaya. Bayangkan, ada sebanyak 48 organisasi yang memboikot turnamen sepak bola antar kota, Stedenwedstrijden, yang digelar oleh Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB).

Kenapa memboikot? Karena ada tulisan Bekker, pegawai Soerabaia Voetbal Bond, di D’Orient edisi 2 April 1932 yang menyebutkan bahwa sepak bola adalah hak istimewa warga Eropa atau kulit putih. Oleh karena itu NIVB tidak perlu mengundang wartawan Sin Tit Po dan Pewarta Soerabaia, dua surat kabar berbahasa Melayu yang terbit di Surabaya, untuk meliput turnamen tersebut. Alasannya karena mereka sering mengritik sepak bola Belanda di tulisan-tulisan mereka.

Karuan saja tulisan bernada rasis itu direspon oleh Liem Koen Hian sebagai hoofdredacteur (pemimpin redaksi) koran Sin Tit Po. Ia menulis seruan boikot turnamen pada artikelnya di Sin Tit Po tanggal 14 April 1932:

Publiek boekan bangsa Eropa! Ingetlah selaloe itoe gebed: KITA TIDA NONTON STEDENWEDSTRIJDEN. Ini moesti djadi salah satoe batoe fondament dari itoe barisan bangsa berwarna.”

Harap maklum kalau darah Liem Koen Hian mendidih, karena ia sudah banyak dipengaruhi oleh ide-ide dr. Tjipto Mangoenkoesoemo mengenai Indisch Burgerschap, bahwa golongan peranakan, termasuk Tionghoa peranakan adalah juga bagian dari rakyat pribumi dan karenanya akan menjadi warga negara Indonesia jika bangsa Indonesia merdeka.

Provokasi Liem Koen Hian berhasil. Kawan dekatnya, Radjamin Nasution, pemimpin Soerabajasche Indonesische Voetbal Bond (SIVB), cikal bakal Persebaya, mendukung idenya. Surat kabar Soeara Oemoem milik dr Soetomo, Koran Al Jaum milik Alamoedi dan kelompok Arab Surabaya mendukung seruan Liem Koen Hian tersebut.

8 Mei 1932, terlihat kesibukan di Nan Yang Societeit, tempat pertemuan komunitas Tionghoa di Surabaya yang didirikan oleh Liem Koen Hian. Di sana dilakukan rapat yang dipimpin oleh Liem Koen Hian dan dihadiri oleh wakil dari 48 organisasi di Surabaya. Mereka tengah merencanakan aksi besar berupa boikot.

Walaupun sempat ditegur Polisi Rahasia Hindia Belanda, rapat menghasilkan keputusan penting: mereka akan membuat turnamen sendiri. Turnamen diikuti oleh enam kesebelasan, yaitu Soerabajasche Indonesische Voetbal Bond (SIVB), Indonesische Marine XI, PIVB XI, Chineesch XI, Arabsich XI dan Poetra Maloeka XI. Hasil keuntungan dari turnamen, separuhnya diberikan kepada SIVB dan sisanya untuk membantu para penganggur, anak yatim dan membantu Poliklinik Muhammadiyah Surabaya.

Turnamen sukses diadakan 13-16 Mei 1932 di lapangan sepak bola SIVB di Pasar Turi. Sukses pula menggembosi turnamen NIVB yang walaupun telah memberikan karcis harga diskon tapi tidak mampu mendatangkan banyak suporter dan penonton. Harap diketahui bahwa lapangan Pasar Turi tidaklah seterkenal lapangan yang digunakan oleh NIVB yaitu Lapangan Ketabang yang sekarang menjadi lokasi THR itu.

Siauw Giok Tjhan menulis dalam memoarnya bahwa saat itu ia ditugaskan piket untuk berdiri dekat loket di Lapangan Ketabang. Di sana ia mengimbau supaya calon pembeli karcis pertandingan lebih baik menonton sepak bola di Lapangan Pasar Turi saja karena tokoh-tokoh Surabaya bermain di sana. Karena kurang hati-hati ia dipergoki oleh Necker, ketua NIVB yang sekaligus wartawan Soerabajasch Handelsblad. Juga oleh Dr. Zijp, pengurus NIVB yang juga menjabat sebagai Direktur HBS. Karuan saja Siauw Giok Tjhan digelandang ke kantor polisi. Di sana ia bertemu dengan Liem Koen Hian yang sudah lebih dulu diciduk polisi Hindia Belanda. Ia memang akhirnya dibebaskan karena memang tidak menggunakan kekerasan dalam menjalankan aksinya, tetapi ia sempat dihukum oleh HBS, sekolahnya.

Liem Koen Hian sempat ditahan semalam, tapi masih sempat mengikuti pertandingan eksibisi dengan para tokoh pergerakan Surabaya pada 16 Mei 1932. Ia bermain dengan para tokoh Tionghoa, Arab dan Maluku di tim Voormannen-elftal Tionghoa Arab Maluku. Kwee Thiam Tjing (alias Tjamboek Berdoeri) mencatat bahwa ia juga bermain di tim itu bersama Boen Liang, Alamoedi, A.R. Baswedan, Jonoes Sijaranamual. Hanya Joenoes yang bisa bermain sepak bola karena ia pemain kesebelasan semi-profesional, sedang lainnya hanya penggembira saja. Begitu juga lawan mereka, tim Voormannen-elftal Indonesier beranggotakan Radjamin Nasution, Roeslan Wongsokoesoemo, Gondo, Tjindarboemi, Soedirman (kelak sebagai Residen Surabaya) dan Pamoedji, para tokoh nasionalis Surabaya.

Sumber: koleksi pribadi Didi Kwartanada

Nyonya Liem Koen Hian dan Nyonya Soedirman bertugas menendang bola pertama untuk memulai pertandingan eksibisi itu. Tjamboek Berdoeri menulis bahwa setelah main belum cukup setengah jam, para pemain sudah ngos-ngosan dan terpincang-pincang jalannya seiring dengan keringat yang mengucur deras. Tentu saja pemandangan itu mengundang tawa para penontonnya.

Baru setelahnya, pertandingan final yang sebenarnya dimulai dan berjalan dengan sangat menarik. Penonton puas dan hasil penjualan karcis tidak mengecewakan.

Liem Koen Hian harus menghadapi sidang pengadilan atas provokasi aksi boikotnya tersebut. Mohamad Hoesni Thamrin adalah salah satu anggota Volksraad yang memperjuangkan pembebasannya. Lepas dari tuntutan pengadilan, pada tanggal 25 September 1932, Liem Koen Hian dan kawan-kawannya mendirikan Partai Tionghoa Indonesia. Sebuah partai yang mengusung ide Nasionalisme Indonesia, bahwa orang Indonesia keturunan Tionghoa adalah juga seorang bangsa Indonesia dan turut berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.

***

Aksi boikot sepak bola di atas adalah penggalan sejarah yang menarik. Alih-alih sebagai mesin kapitalisme yang hanya menuntut kemenangan dalam setiap pertandingan sebagai cara mendatangkan cuan dan kebanggaan, warga Surabaya harus mengerti sejarah klub Persebaya sebagai alat perjuangan, persatuan dan solidaritas rakyat terjajah menghadapi kolonialis Belanda.

Sebagai alat perjuangan, persatuan dan solidaritas, maka tentu saja dibutuhkan kesehatian antara pemain, pengurus dan suporter. Sebagaimana aksi boikot 1932, kesehatian bisa dibangun karena ada musuh besar bersama yang dihadapi oleh publik Surabaya, yaitu rasisme dan kolonialisme. Mungkin sekarang perlu dibicarakan apa musuh bersama Persebaya yang bisa dijadikan alasan untuk mengokohkan perjuangan, apakah dana, regulasi atau aspek lainnya?

Apa yang dilakukan oleh Liem Koen Hian dan para tokoh nasionalis Surabaya yang menggelar pertandingan eksibisi juga perlu ditiru. Atmosfer yang santai dan penuh canda tawa seringkali diperlukan untuk menyegarkan suasana dalam mencari solusi untuk memenuhi harapan bersama. Tidak selalu segala masalah bisa diselesaikan dengan amarah, nada tinggi dan suasana tegang.

Demikianlah sejarah telah mengajarkan. L’histoire se repete. (*)

Insinyur Teknik Fisika, profesional di industri migas, Peneliti independen dan penulis buku-buku sejarah.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Sejarah

Wildan Ramdhani: Pencetak Gol Ke-1.000 Persebaya

Published

on

Persebaya Surabaya pada akhirnya menelan kekalahan kandang perdana dengan skor 1-2 atas Persikabo 1973 di pekan ke-tujuh BRI Liga 1 2023/24 pada tanggal 4 Agustus 2023. Kekalahan ini berujung diistirahatkannya Aji Santoso menjadi pelatih Persebaya dan pada akhirnya memberhentikan pria asal Kepanjen ini sebagai pelatih kepala.

Namun ada sebuah catatan milestone yang ditorehkan di laga ini. Wildan Ramdhani mencatatkan namanya kedalam buku sejarah Klub Persebaya Surabaya. Sontekannya di menit ke-90+1 membawa namanya tercatat sebagai pencetak gol ke-1.000 bagi Tim Bajul Ijo sejak berkompetisi di Liga Indonesia 1994/95.

BRI Liga 1: Lagi Berduka, Wildan Ramdani Absen saat Persebaya Bersua RANS  Nusantara? - Indonesia Bola.com

Data ini diolah dan disajikan oleh #StatsRawon untuk Persebaya Surabaya dan Bonek.(dpp)

Continue Reading

Sejarah

Gol Ke-200 Persebaya Di Liga 1

Published

on

Daftar Pencetak Gol Monumental Persebaya di Liga 1 (Grafis #StatsRawon)

Persebaya menang besar dengan skor 0-5 di pekan ke-19 BRI Liga 1 2022/23 atas tuan rumah Persita Tangerang di Indomilk Arena, Tangerang (18/01). Gol pembuka Tim Bajul Ijo dicetak oleh Marselino Ferdinan pada menit ke-27.

Gol ini dicetak melalui tendangan roket dari anak muda yang identik dengan jersey bernomor punggung tujuh. Tendangan khas seorang Marselino Ferdinan yang masih berusia 18 tahun. Disini mentalitas dan pengalaman berbicara. Selain proses gol yang indah, gol ini merupakan gol ke-200 Persebaya Surabaya sejak promosi dan berkompetisi di Liga 1 musim 2018. (dpp)

Continue Reading

Sejarah

Boling Tak Ubahnya Pengkhianat dan Bunglon, Sebuah Catatan Basofi Sudirman

Published

on

Gubernur Jawa Timur periode 1993–1998, Basofi Sudirman, dalam sebuah catatannya di buku “Bonek: Berani Karena Bersama” pernah mengulas fenomena Boling (bondho Maling) yang meresahkan. BWF menayangkan kembali tulisan yang terbit 1997 ini agar kita bisa belajar dari masa lalu.

***

Secara umum, kalau boleh kalau boleh dianalogikan dengan kehidupan manusia, penonton bagi pertandingan sepakbola, misalnya, tak ubahnya dengan jantung bagi kehidupan seorang manusia.

Penonton yang baik akan merupakan “jantung” yang sehat bagi kesebelasan. Karena melalui penonton, ada semangat yang didistribusikan ke tengah lapangan. Akan halnya dengan penonton yang tidak bergairah, ia tak ubahnya dengan “jantung” yang lemah. Berfungsi, namun kemampuannya memompa dan mendistribusikan semangat, relatif lemah. Sebaiknya, penonton yang urakan, dan tidak sejalan dengan “sportifitas” jantung sehat, tak ayal lagi, bisa melahirkan serangan jantung yang bahkan bisa mematikan.

Dari ilustrasi diatas, maka penonton pertandingan olahraga -yang paling populer di dunia, sepakbola- bisa dipilah dalam tiga kalangan.

Pertama, adalah mereka yang dapat diidentifikasi sebagai pecinta murni olahraga yang tahu pula caranya mencintai olahraga. Kalangan ini adalah mereka yang selain suka terhadap olahraga, juga suka terhadap kondusifitas dan “suasana” perolahragaan yang baik.

Kedua, adalah mereka yang sesungguhnya murni mencintai olahraga, dan mencurahkan segala potensinya -terkadang dengan tanpa mempertimbangkan keterbatasan dirinya- demi olahraga yang digemarinya. Tipologi kalangan ini dikenal dengan Bonek. Bondho nekad.

Salah satu yang menonjol dari bonek adalah kekuatan gairah dukungannya yang dengan luar biasa dicurahkan tim andalannya. Kalangan ini bahkan rela mempertaruhkan apa saja. Secara sosiologis, kalangan ini sangat potensial untuk menggairahkan dunia perolahragaan kita.

Bahkan di bidang apa pun, Bonek sesungguhnya menempati posisi yang strategis. Kalau tidak ada “Boneknya” yang berani kamikaze, menyerang sambil nekat, Jepang mungkin tidak terlalu diperhitungkan di perang dunia kedua. Dan kalau boleh jujur, syaratnya, kalau tidak ada Bonek yang berani mencegat moncong NICA, mungkin 10 Nopember akan meninggalkan kisah yang lain buat bangsa Indonesia. Begitulah bonek yang dalam kehidupan bidang apapun itu sesungguhnya dibutuhkan. Sebab Bonek dalam perspektif yang positif, merupakan sebuah simbol bagi kesungguhan yang dahsyat untuk mencapai atau memperjuangkan sebuah kemenangan.

Ketiga, adalah mereka yang pura-pura murni mencintai sepak bola, tapi perilakunya justru murni tidak mencintai sepakbola. “Inilah tipologi Boling (Bondho Maling). Mereka, memanipulasikan dan menghitamkan citra Bonek untuk menciderai olahraga dengan bertamengkan fanatisme: Termasuk dalam kalangan ini juga mereka yang bersih sebagai “mat kipas”, atau “mat bela” yang dengan lagak gayanya yang seolah mencintai sepak bola tapi pikiran justru menghasut dan membela perilaku yang tidak sportif.

Dan bahkan sebagaimana kita saksikan di final Liga Indonesia III, mereka para boling ini menyamar menjadi Bonek, lantas menjambret, merampok, meresahkan, merusuhkan, dan menyusahkan warga masyarakat. Jumlah mereka ya sesungguhnya tidak banyak, tapi karena proses penyamarannya dilakukan di tengah-tengah para bonek, mereka menjadi setetes tinta masuk ke air. Terkesan mewarnai -meskipun dengan warna kemungkaran.

Sepanjang diamati, ternyata penyamarannya, tak hanya dilakukan di event sepak bola saja. Melainkan juga di mana saja. Cara kerjanya bisa dilihat pada waktu kampanye pemilu yang lalu, misalnya. Atau dalam beberapa kerusuhan yang teriadi di masyarakat. Poko’e, selama ada yang bisa ditunggangi, di situ ia jadi bunglonnya.

Maka, dalam bahasa perjuangan, Boling ini tak ubahnya dengan pengkhianat. Yang bukan saja memberi andil negatif bagi setiap event yang positif. Tapi para boling juga sangat berperan dalam melahirkan kerancuan. Untuk merealisasikan peran itu, mereka menerapkan dua format. Pertama, format bunglon. Itulah yang mereka gunakan tatkala menyusup ke tengah Bonek untuk menyebarkan kemungkaran.

Kedua, tampil dengan format yang “antitesa”. Yang ini boling intelektual namanya. Cara kerjanya ditujukan untuk mem-back up rekannya di lapangan dengan menggunakan opini dan dalil-dalil sosial. Sehingga tatkala para boling tadi berbuat kemungkaran di masyarakat, orang-orang ini lantas mencari kambing hitamnya, atau mencarikan dasar legitimasinya. Agar kemungkaran para Boling terhapus mudharat-nya (kejelekannya).

Oleh karenanya, mumpung masih belum terlalu jauh, mari kita bertimbang pada kepentingan nasional. Kita hadapi Boling ini bersama-sama. Dan untuk itu, mesti ada gairah untuk bersatu-padu menghalau mereka.

Lebih-lebih lagi bagi para Bonek. Rasanya karena mereka yang ditunggangi dan diperalat untuk kemungkaran, merekalah yang mestinya lebih jelas, lebih tahu dan lebih jeli melihat Boling-Boling yang menyusup ke tubuhnya. Sebab kesukaan Boling itu memang membuat keruh. Setelah itu baru mereka mengail. Tinggallah para bonek yang menanggung beban psikologisnya. Lha herannya, kok Bonek yang diperalat iku adem ayem thok? Yo opo rek? (*)

Continue Reading

Trending