Connect with us

Catatan Bonek

Jika Itu untuk Kemanusiaan, Sehari Menjadi Suporter Rival Pun Saya Terima

Published

on

1 Oktober, malam minggu lalu seperti halnya malam-malam lainnya. Tidak ada yang spesial. Saya sendiri di rumah dan tidak ke mana-mana. Walau sebelumnya saya sempat kepincut untuk mendatangi kegiatan nobar Arema FC vs Persebaya yang diselenggarakan oleh Bonek Jogja. Akhirnya niat itu saya urungkan. Saya memilih menonton Persebaya berlaga di rumah saja.

Seperti yang telah kita ketahui bersama, pertandingan bertajuk “Derby Jatim” itu selalu menyajikan pertandingan sepak bola dengan tensi cukup tinggi. Istri saya yang sejak selesai Isyak sudah melihat saya anteng di depan televisi dan tahu bahwa saya sedang menunggu pertandingan mulai, memutuskan masuk kamar.

Pertandingan dimulai. Di babak pertama, ketika Gol Juninho memecah kebuntuan, saya berteriak dan berlari ke sana ke mari. Gol Juninho membuat dia kesal. Dia sangat paham bahwa pertandingan Persebaya yang biasanya saya saksikan di televisi selalu membuat saya dalam dua kondisi, histeris tak terbendung (jika menang) dan di lain waktu jadi murung. Namun, lain dengan derby kali ini. Saya menghampirinya di dalam kamar lalu mencium pipinya untuk kemudian kembali ke depan televisi.

Satu gol selanjutnya dari Leo Lelis semakin membuat muka saya sumringah, mata saya berbinar. Istri saya keluar dari kamar untuk protes, tapi saya yang dalam kondisi senang langsung menggempurnya dengan cerita-cerita mengenai rekor-rekor yang akan tercipta jika kemenangan pada laga ini jadi milik Persebaya. Termasuk rekor menang di Malang setelah 23 tahun.

Sebelum menikah, istri saya tidak pernah tahu betapa saya mencintai Persebaya (entah saya akhirnya akan disebut Bonek atau sekedar dianggap ngaku-ngaku saja). Saya mengenal Persebaya (dan Bonek) sejak saya di bangku kelas 2 Sekolah Dasar di Wakatobi. Saya lupa kejadian pastinya, karena waktu itu (kalau tidak salah ingat) saya menyaksikan pertandingan Persebaya yang ricuh dan lalu terjadi bentrok antara Bonek dengan warga di sekitar stadion itu di televisi. Momen itu terjadi ketika saya masih bocah ingusan dan langsung menjadi pemicu saya menyukai klub ini sampai ketika saya berusia 32 tahun saat ini.

Momen menyukai Persebaya itu pula yang lalu membawa saya memiliki cita-cita sekolah atau kuliah di Surabaya, dan itu terwujud 12 tahun silam. Rasa senang muncul di hati saya, bahwa akhirnya saya bisa mencintai Persebaya sedekat itu.

Namun takdir berkata lain, kedekatan fisik saya dengan Surabaya dan tentu juga Persebaya tidak lantas membuat saya bergegas menonton pertandingan Persebaya di stadion. Selalu ada saja alasan yang lantas membuat saya ingin sekali melupakan cinta saya kepada Green Force. Beberapa di antara tragedi itu misalnya ketika Bonek mendapat hujan batu di Stasiun Solo Jebres pada awal 2010 ketika melawat ke Bandung. Lalu suasana mencekam ketika Bonek dihadang di Lamongan (dan juga Solo) 2012. Miris sekali hati saya menyaksikan itu semua. Nama Bonek yang hancur, juga Persebaya yang nasibnya terkatung-katung di Liga.

Saya tentu saja punya kesempatan untuk menonton Persebaya berlaga di kandang (saat itu di Gelora Sepuluh November). Tapi sekali lagi, saya yang agak sedikit susah berdamai dengan kondisi sepak bola nasional (terutama liganya) saat itu masih tidak bisa memberanikan diri berangkat ke stadion. Selain itu, beberapa tragedi pada pertandingan di kandang (Tragedi Juni 2012 misalnya), jadi sebab lain bagi saya menahan diri begitu sangat untuk tidak ke stadion.

Namun, selayaknya pendukung sepak bola, saya mengoleksi beberapa baju Persebaya (yang saya yakini adalah KW), kaos kasual, serta juga menghafal chant-chant yang biasa dinyanyikan di stadion ketika Persebaya berlaga. Termasuk di antaranya beberapa chant cacian untuk Arema serta pendukungnya. Mengapa Arema?

Saya pernah membaca beberapa literatur yang menceritakan perselisihan Bonek dengan Aremania adalah yang paling masuk akal untuk dipelihara dibandingkan dengan The Jak (pendukung Persija), LA Mania (pendukung Persela Lamongan), hingga Pasopati (pendukung Persis Solo). Selain memperebutkan status penguasa Jawa Timur, rivalitas keduanya juga sudah menjadi bumbu yang menyebabkan banyaknya nyawa melayang. Rivalitas Bonek dan Aremania dianggap sebagai rivalitas “Gunung” dan “Pesisir” selayaknya Bandung dan Jakarta.

Maka ketika Sho Yamamoto membuat Arema meradang di babak kedua pada pertandingan Sabtu malam lalu (1/10), saya histeris, walau dalam hati tetap saja degdegan karena babak pertama baru saja dimulai. Sampai babak kedua usai dan Persebaya memastikan kemenangan, was-was justru muncul di kepala saya karena ada cuitan dari Twitter Persebaya yang mengatakan bahwa para pemain dan ofisial Persebaya sementara tertahan di sekitar Stasion Kanjuruhan oleh massa pendukung Arema FC. Walau begitu, kemenangan tetap saja kemenangan dan wajib dirayakan. Maka malam itu saya sampaikan kepada istri saya bahwa saya sedang full senyum, bahkan berencana mentraktirnya boba keesokan harinya.

Hingga kemudian Subuh menjelang, ketika saya membuka Twitter dan mendapati kabar tentang tragedi kemanusiaan yang merenggut lebih dari 100 nyawa. Jika digeneralisasi sebabnya, tentu saja kejadian malam sebelumnya, ketika Persebaya yang berstatus tim tamu menjadi pemenang pertandingan. Lalu beberapa Aremania tidak terima lantas menginvasi lapangan yang ditanggapi dengan represif oleh aparat pengaman pertandingan. Termasuk menembakkan gas air mata ke arah tribun yang sebenarnya justru tidak terjadi ricuh.

Berita itu membuat air mata saya menggenang. Beberapa kesaksian bahkan mampu membuat saya tidak kuasa untuk menutup mata agar air mata dan tangis saya tidak pecah. Sedih sekali rasanya. Saya mengingat-ingat lagi, betapa kejadian tersebut seperti halnya yang terjadi pada beberapa Bonek dan para pendukung klub sepak bola lain, namun kali ini dengan jumlah yang berkali-kali lipat. Otak dan hati saya tidak lagi mau membedakan bahwa seratus sekian itu adalah Aremania, yang di waktu-waktu yang lalu begitu sangat saya benci entah karena apa dan entah untuk apa.

Saya menutup kacamata Bonek saya untuk Tragedi Kanjuruhan. Menggunakan kemampuan saya menyebar tweet mengenai kejadian sebenarnya. Juga menyebar tweet ucapan bela sungkawa dari banyak sekali orang. Akun Twitter saya di hari Minggu itu hanya untuk kejadian di Malang, malam sebelumnya. Saya bahkan rela jika sehari itu saya dianggap sebagai Aremania. Saya merasa bahwa saya adalah satu dari sekian orang yang juga harus bertanggung jawab atas tragedi itu. Permusuhan yang berlangsung selama bertahun-tahun adalah salah satu implikasi dari rivalitas buta yang saya pelihara dalam diri dan kelompok saya. Juga tragedi-tragedi serupa yang pernah terjadi sebelumnya di sepak bola nasioanl.

Saya tentu tidak bisa memaksakan ini kepada Bonek lainnya. Namun ini menjadi tekad saya. Bahwa ketika berbicara kemanusiaan, saya akan melupakan rivalitas saya dengan Aremania, The Jak, atau kelompok suporter lainnya. Karena seperti quote yang sudah banyak kita dengarkan dan kita sebarkan, “Tidak ada yang seharga dengan nyawa manusia, bahkan sepak bola itu sendiri.”

Akhir kata, saya ucapkan bela sungkawa sedalam-dalamnya kepada Aremania dan Aremanita yang menjadi korban pada Tragedi Kanjuruhan 1 Oktober lalu. Semoga ini adalah duka terakhir dalam sepak bola kita!

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Catatan Bonek

Menyesalkan Tak Berimbangnya Media dalam Memberitakan Tragedi Kanjuruhan

Published

on

Sebelum uneg-uneg ini saya tuangkan dalam tulisan, pertama-tama saya mengucapkan bela sungkawa atas terjadinya tragedi yang ada di Stadion Kanjuruhan, Malang. Semoga almarhum dan almarhumah diampuni dosanya dan diterima amal ibadahnya oleh Tuhan yang Maha Kuasa. Semoga menjadi pelajaran yang berharga bagi semua elemen suporter dari tingkat bawah sampai atas, serta pelajaran bagi federasi dan elemen yang menaungi di dalamnya.

Serta tak ketinggalan kepada para pengaman pertandingan baik dari pihak Kepolisian dan TNI dengan segala hormat. Tolong intropeksi semuanya bagi insan pecinta bola indonesia tanpa terkecuali. Dan tanamkan kepribadian yang bermartabat. Jika benar katakan benar, dan jika memang salah harus berani meminta maaf dan mengakui kesalahannya.

Sudah genap seminggu lebih Tragedi Kanjuruhan terjadi. Tentu masih ada luka untuk para keluarga korban yang ditinggalkan. Dan tentunya nyawa tidak akan bisa diganti dengan apapun dengan besaran apapun juga.

Banyak media elektronik (media sosial, televisi, radio) memberitakan Tragedi Kanjuruhan karena tembakan gas air mata ke arah tribun secara membabi buta mengakibatkan kepanikan para suporter Arema yang ingin membebaskan dirinya dari asap yang memedihkan mata dan menyesakkan itu. Dan momentum itu juga dibarengi dengan tertutupnya gate atau pintu yang terkunci dari luar.

Kurangnya dan keterbatasan penanganan pada saat kejadian ikut turut andil sehingga banyak korban yang terpapar luka ringan atau berat. Semua media sepakat akan pemberitaan yang sudah beredar hingga saat ini. Seluruh masyarakat Indonesia, baik pecinta sepak bola atau tidak, ikut berbela sungkawa atas tragedi itu. Akibatnya, pihak keamanan (Polisi dan TNI) disudutkan atas tragedi ini. Sampai-sampai tragedi ini masuk perhatian Presiden Jokowi yang menjadikan awal terbentuknya tim khusus penanganan Tragedi Kanjuruhan.

Satu sisi pemberitaan inilah yang menurut saya kurang pas. Sehingga pemberitaan kurang berimbang dan terkesan tidak objektif. Kenapa tidak menampilkan usaha polisi yang mau mengamankan pemain Persebaya? Atau polisi-polisi yang ikut membantu evakuasi korban yang berjatuhan? Padahal kala itu banyak pihak kepolisian juga yang terluka dan ada pula yang menjadi korban jiwa.

Bukankah polisi juga manusia yang juga punya keluarga? Tapi sampai saat ini belum ada kabar pemberitaan akan polisi yang meninggal dunia akibat tragedi itu. Tidak sampai situ saja, apa kabar polisi-polisi yang berhasil mengawal pemain Persebaya mulai dari berangkat hingga pulang kembali ke Surabaya? Apakah ada pemberitaan itu di media? Padahal kala itu mereka juga bertaruh nyawa mengawal dari ruang ganti, ke mobil rantis, hingga kembali ke Surabaya.

Apakah ada yang memberitakan banyaknya serangan dari oknum suporter kepada pemain kami? Lantas bagaimana kejadian pembakaran mobil polisi dan TNI yang di dalam dan luar stadion? Apakah ada media yang menayangkan berita-berita itu? Bahkan yang saya tahu, Kapolres Malang saat itu ikut membantu para pemain Persebaya naik ke mobil rantis agar terhindar dari amukan suporter Malang malah dicopot dari jabatannya.

Saya sebagai Bonek biasa, banyak mengucapkan terima kasih kepada jajaran kepolisian Polrestabes Surabaya dan Malang yang sudah banyak membantu mengamankan pemain kami dengan selamat. Kami para Bonek tetap respek atas Tragedi kanjuruhan. Tapi kami juga meminta keadilan atas penyerangan terhadap pemain kami pada saat di luar stadion. Sehingga suporter yang terlibat juga mempertanggungjawabkan kelakuannya. Suporter lain juga bisa belajar bahwa anarki jelas tidak diperbolehkan. Sewajarnya harus mau mengakui dan intropeksi dari kalangan suporter Malang saat ini. “Apik ngomong apik, elek yo ngomong elek”. Sama dengan kejadian GDS kala itu. Harus berlapang dada minta maaf dan bertanggung jawab atas perilakunya.

Tanpa mengurangi rasa hormat saya, meski Arema yang notabene adalah rival Persebaya, tapi seluruh elemen pecinta Persebaya tidak mau ketinggalan untuk berbela sungkawa dan mengadakan doa bersama untuk suporter Arema yang meninggal dunia. Bahkan ada beberapa perwakilan bonek yang sengaja untuk datang ke Malang untuk mendoakan korban secara langsung di Kanjuruhan. Dan teman-teman Bonek aman selama di sana bersebelahan dengan suporter Malang.

Saya pribadi respek dan angkat topi untuk itu. Sekali lagi, tanpa mengurangi rasa hormat saya dengan sesama suporter khususnya suporter Arema, tolong berbesar hati untuk meminta maaf jika memang ada yang salah. Hilangkan gengsi meski harus meminta maaf kepada rival kalian sekalipun.

Untuk Bonek sejagat raya, kita memang bukan suporter terbaik se-Indonesia, tapi setidaknya kita semua tetap terus berproses yang lebih baik ke depannya. Banyak PR yang harus kita benahi dalam dapur kita sendiri di musim depan dan selanjutnya. Semoga kita semua masih menjadi suporter yang bermartabat. Teruslah berprinsip bahwa “apik ngomong apik, elek ngomong elek”.

Sampai kapan pun aku bangga dadi Bonek. (*)

Continue Reading

Catatan Bonek

Never Give Up, Persebaya!

Published

on

Remuk redam hati masih terasa hingga saat ini. Saya sebagai bonek biasa hanya bisa meratapi bagaimana keadaan Persebaya esok dan di kemudian hari. Hal ini dikarenakan mundurnya seorang presiden klub Persebaya, Azrul Ananda, yang biasa saya sebut Pak Pres. Keputusan itu diambil secara matang, Jumat (16/9) lalu buntut dari aksi kekecewaan bonek atas hasil minor saat berlaga melawan Rans Nusantara.

Bagi saya, ini adalah pukulan telak bagi tim secara luar dan dalam. Pastinya akan mengubah mental dan akan ada kegaduhan dalam internal tim dan manajemen, manakala di sisi eksternal masih harus ditambahi dengan menata ulang kembali para suporter.

Persebaya memang pernah dimatikan paksa oleh federasi. Dan kita semua harus tirakat
cukup lama untuk melihat sang kebanggaan kembali berlaga. Tetapi yang sebenarnya harus teman-teman ingat adalah ada banyak kekuatan yang bisa membatu Persebaya kembali bangun dari mati surinya dan mampu kembali berprestasi.

Di samping kekuatan luar biasa dari perjuangan bonek sejagat raya yang tak kenal lelah berjuang. Ada juga peran kekuatan itu dari seorang adalah Azrul Ananda, yang kala itu men-take over Persebaya dan menjadi presiden klub. Dari beberapa kanal YouTube, Azrul selalu mengatakan ketika ditawari menjadi Presiden Persebaya selalu menolak. Hingga pada suatu waktu dengan adanya banyak pihak yang menguatkannya, seketika Azrul menerima.

Di sisi lain, bonek juga berjuang ke Jakarta hingga Bandung untuk merebut kembali nama dan marwah Persebaya bisa kembali ke pangkuan kota Surabaya. Momentum inilah yang menurut saya merupakan titik balik dan berkembangnya Persebaya. Azrul adalah sosok muda yang visioner, asli Surabaya yang abahnya dulu juga pernah menjadi Presiden Persebaya, serta mau berkorban mengeluarkan dana untuk membayar hutang-hutang Persebaya yang ditunggak kala itu. Serta masih banyak lagi jasanya dan jajarannya untuk berusaha mengubah wajah Persebaya.

Saya sebagai bonek biasa, hanya berpendapat bahwa Pak Pres saat ini mungkin sudah lelah
dengan tekanan yang bertubi-tubi baik itu dari dalam dan di luar lapangan. Hingga terjadilah tragedi GDS tersebut. Mungkin sudah saatnya Pak Pres menepi untuk menenangkan pikiran dan meluruskan kembali timeline hidup serta bisnisnya. Kita semua tak pernah mengerti seperti apa berkecamuk hatinya saat ini. Untuk Persebaya, kita semua tidak tahu dapurnya kini seperti apa. Adakah bumbu tersembuyi lain yang akan mengubah wajah Persebaya di putaran kedua? Saya harap para suporter pun juga ikut sabar dalam proses ini. Setidaknya hargai jasa pak pres dengan jajarannya hingga akhir musim ini, karena kita semua pernah bersatu padu membangunkan kembali Persebaya dari tidur panjangnya.

Musim depan, para penikmat belum tahu akan dibawa kemana Persebaya oleh CEO baru. Saya berharap sakit ini bisa diobati dan pulih secepatnya, bangkit lebih kuat serta menambah kesolidan dari sebelumnya. Sejatinya kami para bonek selalu ingat akan potongan kalimat akhir pada bait Song For Pride “Kuselalu Mendukungmu Persebaya”.

Never up give up, Persebaya!

Continue Reading

Catatan Bonek

Menit Akhir, Kuda Binal Persebaya

Published

on

Menurut KBBI Online, binal artinya adalah bengal atau tidak menurut. Jika dilanjutkan, kata binal sering juga disematkan pada anak yang nakal serta kurang mendapat perharian orang tuanya.

Tiba-tiba ingatan saya terseret pada sebuah film nasional berjudul “Kuda-kuda Binal”. Sebuah film rilisan tahun1978, yang disutradarai oleh Frans Totok Ars. Film tersebut yang dibintangi oleh Doris Callebaute dan Eva Arnaz, dua artis film panas yang memang moncer di tahun 70-an karena wes ayu, body-ne semlohai, pinter membangun suasana syahdu pisan. Ibarat pemain bola, duet Doris Callebaute dan Eva Arnaz adalah David Alaba dengan Ruud Gullit yang siap di tempatkan di berbagai posisi.

David Alaba, bek kiri dari Bayern Munchen pernah turun ke lapangan sebagai bek
tengah hingga menempati posisi gelandang serang, sedang Ruud Gullit adalah
gelandang asal Belanda yang juga mumpuni jika ditempatkan sebagai winger kanan
dan bek tengah.

Tapi menonton film jelas berbeda dengan menonton sepakbola, apalagi Liga
Indonesia, lebih-lebih lagi Persebaya. Jika menonton film diperlukan fokus sepanjang
dialog, setting tempat maupun kronik-kronik apa yang terjadi dalam tiap adegannya,
menonton liga Indonesia tidak secapek itu. Belakangan, kita memang cukup melihat menit-
menit injury time saja sudah bisa memastikan siapa yang akan memenangkan pertandingan atau pertandingan yang sukses dengan berbagi poin imbang.

Persebaya misalnya, yang beberapa pekan terakhir sering kehilangan poin penuh
akibat binalnya menit akhir. Saat melawan Madura United di menit akhir Brylian Aldama
membawa bola ke tengah kotak pertahanan lawan tapi terlalu lama melepas bola, hingga bola akhirnya jatuh dikaki pemain Madura United yang cepat naik menyusun serangan balik. Dari serangan balik tersebut, berbuahlah sebuah tendangan sudut yang selanjutnya lahir gol penyeimbang kedudukan. Hilang 3 poin utuh di depan mata.

Di pertandingan berikutnya, Persebaya dijamu oleh Borneo FC. Satu poin seharusnya bisa diraih Persebaya, tapi musnah begitu saja akibat petaka pinalti di menit akhir.
Arif Catur yang dalam tayangan ulang terlihat menggunting pemain Borneo FC di dalam kotak yang seharusnya suci dari pelanggaran. Alexander Pato yang mengeksekusi bola pinalti berhasil menambah pundi golnya karena bola ekseskusinya tak sanggup ditepis oleh Satria Tama. Kita kalah dan tertunduk lesu. Zero point.

Kejadian semacam itu bukan hal baru bagi Persebaya, kesalahan di menit akhir, lengah dan
ceroboh, menganggap permainan sudah berakhir terlalu dini. Padahal, jika ada kesalahan yang dibuat dalam detik-detik terakhir pun, wasit bisa saja menghukum dengan berbagai hukuman fatal macam tendangan sudut, tendangan bebas di dekat kotak penalti atau bahkan malah terkena hukuman penalti.

Di musim lalu, setali tiga uang, sama saja. Persebaya kontra Persija di Stadion I Wayan Dipta Gianyar. Persebaya yang sudah unggul 3-1,tentu saja bermain nyantai, merasa di atas angin hingga mungkin karena fly yang yang terlalu tinggi, tak sadar dengan bola sepakan Konate telah melewati garis gawang Persebaya. Yang menyedihkan tentu saja sudah unggul dua gol, unggul pemain karena satu pemain Persija terkena kartu merah, tapi Persebaya tak jauh dari
drama menit akhir. Saat itu Reva Adi menjatuhkan Konate dalam kotak penalti sendiri,
lagi-lagi poin kemenangan itu hilang tersapu ombak penalti di menit akhir.

Ada apa dengan menit akhir? Kenapa Persebaya kesulitan menjinakkan bom di menit akhir?

Coach Aji, pemain yang sarat pengalaman dalam Liga Indonesia, juga pernah menjadi kapten Persebaya yang kaki kanannya pernah mencatatkan sebuah gol dari titik pinalti saat partai final melawan Bandung Raya pastinya tahu benar untuk menganalisa dan menemukan jawaban atas segala kejadian di menit akhir setiap pertandingan Persebaya.

Juga coach Bejo, yang bertahun-tahun menjadi batu karang di posisi center back
Persebaya kala itu. Kita punya dua sosok mantan pemain Persebaya yang sekarang berada dalam jajaran tim pelatih. Seperti ikan yang mati ditengah lautan kalau lini tengah Persebaya
sering kecolongan gol, sementara dua pelatihnya adalah mantan pemain-pemain yang
kokoh menjaga pertahanan.

Senada dengan hal itu, presiden Persebaya juga pernah menyampaikan bahwa ada dua hal yang akan menjadi bahan evaluasi tim pelatih yakni set piece dan manajemen permainan pada menit-menit akhir. Menit akhir menjadi sorotan penting bagi Persebaya bahkan masuk dalam bahan evaluasi tim pelatih, hal ini jelas tidak main-main, Persebaya tidak boleh kecolongan poin di menit akhir karena kondisi pemain menurun , baiik secara fisik ataupun konsentrasi, kecolongan gol di menit akhir berakibat pada kekalahan atau seri. Hal ini akan menentukan kondisi psikologis pemain di pertandingan berikutnya.

Hasil evaluasi tim pelatih itu akhirnya nampak di pertandingan ke 6 saat laga home
melawan PSIS Semarang. Di hadapan tekanan publik Surabaya sendiri, di tengah krisis
kemenangan di lima laga terakhir, laga kali ini adalah pembuktian bahwa Green Force
memang layak bercita-cita untuk finish di tiga besar klasemen nantinya.

Persebaya deras menggempur pertahanan PSIS, tercatat ada empat tendangan yang diblok oleh kiper PSIS dan statistik juga menunjukan ada dua belas shot on target. Hasilnya, satu tendangan pamungkas dari Marselino berhasil membobol gawang PSIS, membawa Persebaya unggul hingga pertandingan berakhir. Yang menarik bukan soal kemenangan yang akhirnya diraih Persebaya, tapi terjadinya gol pada menit injury time pertandingan, hal ini seolah membalik fakta yang sering terjadi, membongkar kebisingingan media massa yang ramai mencuitkan bahwa Persebaya selalu lemah di menit akhir pertandingan.

Koboi penjinak kuda binal itu bernama Marselino Ferdinan, arek nom yang berlari membawa tali laso dan melemparkannya ke leher si kuda, dinaikinya kini kuda tersebut. Marselino dengan bangga melepas jersey menuju ke arah tribun Bonek Mania.

Terima kasih Persebaya, terima kasih Marselino, Kuda Binal itu sudah kita taklukkan. (*)

*) Ditulis sambil mesem, seandainya kuda itu pemain film “Kuda-kuda Binal”

Continue Reading

Trending