Cerpen
Rete di Bawah Naungan Kepak Sayap Elang Jawa
Suasana halaman rentalan mobil Surya Sembada jelang sore itu terasa teduh. Pohon-pohon trembesi dan sukun nan tinggi memayungi deretan mobil yang baru saja masuk halaman. Beberapa orang duduk-duduk di teras rumah lik Danu, pemilik rentalan. Tiba-tiba kegayengan obrolan mereka terpecah.
“Mas, iki lho konco-kancamu dho njarah toko ning Paingan,” seru lik Danu kepadaku saat aku masih membersihkan unit mobil rentalan miliknya.
“Oh, inggih to lik? Kula kok nembe mireng nggih,” jawabku singkat.
“Lha iki lo delengen, ono ning video rekaman CCTV, wes kesebar ning grup RT,” jelas lik Danu sambil menunjukkan rekaman video di hapenya.
“Welah, pancet ae bonek-bonek kuwi…wong dasare maling, ning ngendi-endi yo tetep gawe kisruh,” Pak Muji yang turut melihat rekaman tersebut turut mengomentari.
“Lek terus ruwet ngene, mbesuk rausah diolehi mlebu Sleman wae. Ojo salah mengko lek sampek kecekel dho dimassa karo warga,” Pak Ferdy yang pensiunan polisi berkomentar dengan nada nyinyir dan pedas.
“Lha iyo to, slogan Wani kae kuwi maksude opo Wani Nyolong, Wani Nyopet, Wani ngrampok? Ngono kok suporter bal, kuwi wes kriminal cah,” tukas mbah Tjokro, pak dukuh kampung ini.
“Dhek wingi ono bonek sing meninggal ning Sragen, beritane tibo soko truk. Kok yo pancet ae yo, saben ono bal-balan kok mesti ono kecelakaan model koyo ngene iki. Sampek kapan ngene terus?” Pakdhe Wakijan menambahkan kabar yang sebenarnya sudah kudengar sehari sebelumnya (alfatihah buat almarhum Zainuri Al Yusak).
Kebetulan aku mengenakan kaos hitam dengan logo Persebaya, hari ini Persebaya Day, sisa-sisa kemarin. Meski aku tak bisa menonton langsung ke stadion karena masih harus bekerja, setiapkali Persebaya bertanding aku pasti mengenakan atribut Persebaya atau Bonek, minimal kaoslah.
Semua mata kemudian memandangku. Ada tatapan yang sinis, ada yang seperti guyon namun senyumannya terasa mengejek, ada yang hanya diam namun memandang dengan tajam. Seolah semuanya menyalahkanku karena semua kejadian tersebut hanya karena aku menjadi bagian dari Bonek.
“Wes, rasah baper nemen-nemen mas … biasa wae, wong yo njenengan masiyo Bonek tapi kan ora koyo ngono kuwi. Tapi pancen kejadian ngene iki yo raiso dijarke terus-menerus,” Pak RT yang mungkin melihat kegelisahanku, sambil menghisap tembakau kreteknya dalam-dalam, mencoba mencairkan suasana.
“Injih kok pak RT, aku teko konco-konco suporter PSS Sleman nggih wes paham lek sakjane pelakune niku cah-cah kriminal tapi gawe atribut Bonek Persebaya,” Mas Seto tiba-tiba menepuk pundakku, berusaha membuatku lebih tenang. Mas Seto adalah rekanku, sesama driver di rentalan mobil milik lik Danu. Beberapa tahun sebelumnya dia aktif di BCS, firm terbesar pendukung PSS Sleman. Kini setelah berkeluarga, kecintaannya tak pernah luntur meski kegiatan nyetadion atau bedhol kabupaten mulai dikurangi intensitasnya.
Mas Seto dan mungkin rekan-rekan suporter bisa memahami bahwa ada perbedaan antara Bonek selaku suporter Persebaya dengan gerombolan kriminal yang menyaru menjadi Bonek hanya karena menggunakan atribut Persebaya. Namun, bapak-bapak warga kampung tempat dimana saya bekerja dan tinggal seperti tadi, apakah mereka mau mengerti? Apakah mereka mau memahami? Semuanya nampak sama saja. Bonek.
“JANCOOOK!” kata batinku berteriak.
Aku berusaha tenang, meski begitu peluh keringat dingin mulai bercucuran di keningku. Rasa malu dan geram bercampur aduk hampir tak mampu kukendalikan. Rasa malu karena bagaimanapun juga nama baik Bonek dan Persebaya ikut terseret insiden-insiden berbau kriminalitas seperti ini. Sedangkan rasa geramnya adalah karena sekali lagi perbaikan dan tindakan-tindakan baik yang sudah dilakukan Bonek selama ini, seperti musnah dalam sekejap hanya karena kalah dengan berita vandalisme dan kriminal seperti ini. Aku tahu, dan memang hal seperti ini sering terjadi kala Persebaya bermain di luar kandangnya. Cerita-cerita lama soal penjarahan warung, pencopetan, sartok (pemerasan dengan kekerasan), jatuh dari kendaraan saat nggandhol truk hingga meninggal dunia selalu mengiringi kemanapun Persebaya melakoni laga away.
Dalam hati, saya ingin mengajak bapak-bapak tadi untuk duduk bersama, setidaknya kuberikan kuliah tujuh menit tentang perbedaan Bonek selaku suporter Persebaya dengan gerombolan kriminal tukang bikin kerusuhan yang menyaru sebagai Bonek. Saya teringat buku yang ditulis oleh almarhum Pak Basofi Sudirman saat beliau menjabat sebagai Gubernur Jawa Timur kala itu yang berjudul “BONEK: Berani Karena Bersama” . Ada bagian yang secara tegas menyebutkan bahwa ada kelompok yang pura-pura murni mencintai sepakbola, pura-pura mencintai Persebaya, tapi perilakunya justru murni tidak mencintai sepakbola dan Persebaya. Inilah yang disebut sebagai Boling (Bondho Maling). Sekali lagi, ini adalah BOLING dan BOLING bukanlah Bonek Maling, tetapi Bondho Maling! Mereka adalah organisasi kriminal yang memanfaatkan keberadaan Bonek. Yang perlu kita garis bawahi adalah pemisahan BOLING sebagai pelaku kriminal (mereka bisa menyaru sebagai suporter mana saja, tidak hanya Bonek) dan BONEK selaku suporter Persebaya.
Sementara terminologi BONEK yang merupakan akronim dari Bodho Nekat, sebuah julukan yang tercetus kala pendukung Persebaya melakukan Tret tet tet (istilah awaydays di jaman itu) di final perserikatan musim 1987-88. Ada yang berpendapat bahwa akronim tersebut dicetuskan oleh abah Dahlan Iskan, ada juga yang berpendapat bahwa julukan tersebut dari almarhum Walikota Surabaya sekaligus Ketua Umum Persebaya kala itu, Poernomo Kasidi (PorKas). Apapun itu, julukan Bonek hanyalah menunjukkan sifat keberanian dan kenekatan suporter Persebaya guna mendukung tim kebanggaannya berlaga di manapun. Tidak ada unsur negatif atau kriminal sama sekali kala itu.
Di sini, terdapat juga Bonek Korwil Jogja (BKJ), sebuah wadah berkumpulnya Bonek yang sedang merantau di wilayah DIY dan sekitarnya. Ada yang bersekolah atau kuliah, ada juga yang bekerja mencari nafkah. Berada di tanah rantau, membuat paseduluran antar mereka terjalin begitu kuat. Dengan berbekal slogan “di Bumi Mataram, di Langit Indonesia, di Hati Persebaya”, BKJ sering mengadakan kegiatan yang positif. Salah satunya adalah menghadirkan BDRT (Bonek Disaster Response Team), sebuah divisi sosial kemanusiaan yang memiliki regu penyelamat, tim kesehatan, dan mobil ambulans kala laga di Stadion Maguwoharjo kemarin. Mereka juga turut menerima dan mengarahkan rekan-rekan Bonek yang away ke Sleman. Bahkan mereka juga turut membantu “membersihkan” area di sekitar stadion dari kawanan Boling.
Meski begitu, berita kedatangan Bonek ke Sleman yang tertib menggunakan bus dan mobil pribadi, memborong laris dagangan pedagang di sekitaran stadion , tertib baik saat sebelum masuk-berada di dalam-hingga keluar stadion dan pulang, membersihkan sampah yang berada di tribun tempat mereka ditempatkan, hingga menghadirkan BDRT tadi, semuanya menjadi tak berarti oleh berita penjarahan toko, pencopetan, sartok (pemerasan dengan kekerasan) yang dilakukan oleh Boling.
Bahkan ada salah satu media online bernama portalyogya.com mengeluarkan berita bertajuk “Kronologi Suporter PSS Sleman Meninggal, Diduga Akibat Oknum Suporter Bonek, Kerusuhan di Jogja Terulang” yang mengabarkan meninggalnya Aditya Eka Putranda (alfatihah buat beliau), salah satu anggota BCS, pasca pertandingan antara PSS Sleman melawan Persebaya. Seperti aji mumpung, semua pihak menuding Bonek menjadi biang semua kerusuhan dan kejahatan. Setelah diprotes keras dan diklarifikasi, akhirnya pihak portalyogya.com meminta maaf secara terbuka dan mengganti tajuk yang mendiskreditkan Bonek. Kabar resminya, pihak kepolisian sudah menangkap para pelaku penganiayaan dan pembunuhan, dan tak satupun dari mereka adalah Bonek.
Di sini dapat kita lihat betapa rentannya Bonek menjadi sasaran tudingan akan kejahatan dan kerusuhan yang terjadi. Semua iktikad baik maupun tindakan positif dan perbaikan yang dilakukan oleh Bonek seakan menjadi sirna dalam sekejap. Sebagai reaksinya, Bonek berintrospeksi untuk #puasaaway (menghentikan semua awaydays Bonek dalam mendukung Persebaya hingga akhir musim) dan #stopestafet (menghentikan cara-cara estafetan untuk menuju stadion) sebagai langkah menghindari terjadinya kejadian serupa di kemudian hari. Sebelum kota-kota lain dan aparat keamanan menolak kehadiran kita di sana, lebih baik untuk sementara menahan diri dulu dan mencari solusi bersama.
***
“Mas, …kok nglamun njenengan? Kene ayo ngopi karo udut sik, ben ra spaneng pikirane,” Mas Seto menepuk pundakku dengan tiba-tiba. Kulihat senyumnya tulus penuh persahabatan. Sambil duduk di samping rekan kerja sekaligus sahabatku itu, aku bersyukur Tuhan masih menciptakan orang-orang baik semacam dia. Mas Seto masih dengan sabar mendengar semua kabar ini, timnya kalah di kandang, kotanya dijarah Boling, sementara saudara suporternya meninggal karena penganiayaan (korban jiwa kedua dalam kurun waktu sebulan dengan kasus yang sama, penganiayaan hingga berujung pada kematian).
Kusesap kopi hitamku yang terasa pahit, kuhirup udutku dalam-dalam dan kuhembuskan. Mas Seto benar, aku harus belajar banyak darinya tentang arti kesabaran. Di sini aku merantau, bagaikan rete (rete-anak buaya) kecil di bawah naungan kepak sayap elang Jawa. Harus bisa pandai membawa diri sebagai warga pendatang dan perantau. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.
Seperti slogan Bonek Jogja, “di Bumi Mataram, di Langit Indonesia, di Hati Persebaya”. (*)
*** tulisan ini pernah dimuat di esai mojok.co dengan judul Selamatkan Awaydays Persebaya, Bonek Basmi Boling Bersama-sama
Cerpen
Kopi untuk Persebaya
Siang itu, Surabaya begitu panas, namun Joyo tetap memacu sepedanya. Seperti diburu waktu, Joyo terus saja mengayuh agar dapat sampai ke Tambaksari sebelum ashar. Sore itu, ada pertandingan kandang Persebaya, dan Joyo tak pernah ketinggalan untuk melihatnya. Meskipun rumah Joyo jauh, namun tak satupun pertandingan kandang Persebaya dilewatkan.
Rutinitas Joyo dalam mendukung Persebaya di kandangnya, hampir tak pernah berubah. Selepas dzuhur, Joyo mengayuh sepedanya dari rumahnya yang berada di barat Surabaya. Sebelum ashar, Joyo sudah mengantre tiket pertandingan, dan sebelum masuk ke stadion, selalu menyempatkan untuk bersilaturahmi dengan Bonek yang lain di sebuah warung giras yang berada di Stadion Gelora 10 November.
Kopi pahit adalah minuman yang selalu dipesan oleh Joyo. Oleh Joyo, kopi tersebut ditemani oleh beberapa ote-ote sebagai pengisi kembali staminanya yang habis karena perjalanan jauh dari rumahnya. Sebelum masuk ke stadion, Joyo dihadapan Bonek lainnya, selalu mempersembahkan tegukan terakhir kepada Persebaya, disertai dengan doa semoga Persebaya menang.
Namun siang ini lain, Joyo tak terlihat di sekitar stadion. Pemilik warung giras pun juga heran, karena tak biasanya Joyo tak mampir ke warungnya jika Persebaya bermain kandang. Gelas berisi kopi pun telah disiapkan pemilik warung karena kebiasaan Joyo selama ini, beberapa buah ote-ote pun oleh pemilik warung telah disisihkan untuk Joyo, karena Joyo hanya suka makan ote-ote tidak gorengan lainnya. Bonek yang biasa berkumpul dengan Joyo di warung tersebut pun juga tak tahu di mana Joyo berada. Sore itu tak ada tegukan kopi terakhir untuk Persebaya.
Persebaya sore itu bermain tidak setrengginas seperti biasanya, padahal lawan yang dihadapi hanya tim papan tengah yang dalam kalkulasi pengamat, Persebaya akan mudah untuk menaklukkannya. Sampai peluit panjang berbunyi, Persebaya hanya bermain imbang. Di sepakbola Indonesia, imbang di kandang adalah kekalahan, karena itu Bonek keluar ke stadion dengan muram, tak semeriah jika Persebaya menang apalagi dengan selisih gol yang besar.
Bonek yang biasa berkumpul dengan Joyo, seusai pertandingan dengan berjalan kaki lewat di depan warung giras di mana mereka biasa berkumpul. Pemilik warung memanggil mereka, ketika semua sudah berkumpul, pemilik warung bercerita, bahwa siang tadi Joyo mengalami kecelakaan, yang membuatnya tak sadarkan diri dan dibawa ke Puskesmas, namun dalam perjalanan nyawanya tak tertolong.
Ironinya, Joyo ditabrak oleh Bonek yang ugal-ugalan di jalanan. Joyo yang melaju dengan sepeda anginnya ditabrak oleh Bonek yang kebut-kebutan dan tak menghiraukan rambu lalu lintas. Mendengar hal tersebut, teman-teman Joyo pun menangis. Sosok menyenangkan, telah meninggalkan mereka karena perilaku ugal-ugalan di jalanan. Tak ada lagi senyum Joyo, dan tak ada lagi tegukan kopi terakhir untuk Persebaya. (*)
Catatan dari penulis: Ini hanya fiksi belaka, cerpen ringan yang saya tulis untuk mengisi waktu luang dan mengingatkan semuanya bahwa perilaku ugal-ugalan di jalan berpotensi untuk merugikan orang lain bahkan mungkin kawan atau orang-orang terdekat kita sendiri.
Cerpen
Cintaku Kandas di Gelora Bung Tomo
Debur jantungku mengeras. Jam digital di papan skor menunjukkan angka delapan puluh lima. Lima menit lagi waktu tersisa. Sorak sorai di tribun seberang yang dihuni suporter lawan bersaing dengan wajah-wajah tertekan di sebelah tempatku berdiri. Mulut-mulut yang sedang tidak menyuarakan teriak semangat berkecumik bersama melantunkan doa. Klub kesayangan kami sedang dalam tekanan. Kalah dalam laga ini akan membuat langkah kami terseok-seok di laga berikutnya.
Aura ketegangan di Gelora Bung Tomo semakin memanas. Sambil mengepalkan kedua tangan kupaksa tenggorokan meneriakkan yel-yel pemberi semangat, sementara hatiku berucap harapan. Lima menit berlalu. Seiring peluit melengking, asa dan harapan kami terganjal. Tuhan sedang tidak ingin berpihak pada kami. Klub kesayanganku kalah.
Udin, Rendi, Badrun, dan teman-teman Bonek lain bergerak cepat mendekati para pemain. Walau kalah, tidak sedikit pun rasa bangga dan cinta kami meluntur. Kalah dan menang biasa dalam permainan. Kami pun berjalan beriringan keluar dari stadion.
Saat mendekati area parkiran kubuka ponsel. Kucari tempat yang tidak terlalu ramai, kubiarkan sahabat-sahabat mbonek-ku berlalu mendahului menuju area parkiran motor. Mataku nanar saat layar ponsel menunjukkan notifikasi yang membuatku membeku. Tidak salah lagi. Nama cewek cantik yang beberapa hari ini kurindukan muncul di ponsel. Tujuh kali panggilan tak terjawab. Kusiapkan gendang telinga kiri mendapat ocehannya. Anggap saja radio rusak.
“Sorry, Say. Nggak dengar. Tahu sendiri kan, di stadion susah sinyal,” teriakku di sela hingar-bingar gerutu akibat kekalahan dan teriak kemenangan.
“Selalu begitu! Entah sudah berapa kali kamu selalu mengabaikan teleponku! Aku sudah berusaha bersabar, berusaha memahami kesukaanmu, tapi, tidak sedikit pun kamu mau mengerti! Apa sih…”
Cepat kupotong ocehannya, “Halo! Halo! Nggak dengar, Sayang … Halo!”
Suara di seberang terputus.
Sebuah tangan menarik lenganku. Udin menyeringai. Di belakangnya, Rendi dan Badrun memperlihatkan wajah tidak sabar.
“Ayo, Cuk!”
Kukibaskan perlahan tangan Udin. “Sek ta…”
Kucari tempat lain yang lebih sepi. Kembali kutekan nomor cewek tadi. Tidak dihiraukan. Kutekan kembali. Kali ini diangkat.
“Babe… Maaf… Aku berjanji…”
Belum juga kuselesaikan kalimatku, suara di seberang terdengar ketus. “Capek aku mendengar janji-janjimu! Kamu lebih menyayangi Persebaya daripada aku.”
“Nggak juga, Sayang … Aku mencintaimu! Hanya saja kali ini pertandingan penting.”
Suara di dalam ponsel terdengar melenguh. “Kamu tahu hari apa sekarang?”
Keningku mengerut.
“Busyet! Hari ini adalah hari jadi kami ketiga. Bagaimana aku lupa?!” bisikku dalam hati.
“Maaf, Say…” Tekanan suaraku melemah.
“Apa sih keistimewaan Persebayamu itu dibanding aku? Klub sering kalah, kurang prestasi, terancam degradasi lagi!”
“Jangan begitu donk, Say.”
“Memang begitu kan?”
“Iya, tapi aku…”
Tekanan kalimat di ponsel meningkat tajam. “Sudahlah! Aku tidak mau kamu menomorduakan aku. Pilih aku atau Persebayamu itu! Kutunggu jawabanmu sekarang!”
Belum juga kalimat sanggahan keluar dari mulutku, suara di seberang menghilang.
“Pilih Persebaya atau dia?” batinku nelangsa.
Suasana hatiku kacau tak terkira. Sudah klub kesayangan kalah, gadis tercinta di ujung bumi Surabaya memberiku ultimatum bak seruan Jendral Robert Mansergh agar rakyat dan pejuang Surabaya menyerah dan meletakkan senjata.
Bayang wajah tirus dengan kulit bersih diimbangi hidung mancung dan bibir tipis nan indah berkelindan dengan kekalahan demi kekalahan yang diderita Persebaya. Setahun aku berjibaku meluluhkan hati gadis itu di antara puluhan lelaki yang mengelilinginya. Hambatan dan rintangan kuterebas. Kini setelah kudapatkan cintanya, dia memberiku buah simalakama. Kumakan gadis impianku menghilang, tidak kumakan terpisah dengan klub kesayangan.
Jemariku bergetar. Kubuka aplikasi. Kuketik pesan. “Cintaku padamu sedalam Palung Mariana, tapi, cintaku pada Persebaya tidak terukur kedalamannya!” (*)
-
Catatan Penulis2 years ago
Terima Kasih AZA!
-
Catatan Penulis2 years ago
Saya Bertanya kepada Bonek tentang Arti Kemenangan Persebaya Atas Arema
-
In Memoriam Legend2 years ago
PSIM, Eri Irianto, dan Duka Persebaya
-
Statistik2 years ago
Bedah Strategi Pergantian Pemain Coach Aji Berdasarkan Data
-
Catatan Penulis2 years ago
Patah Hati Melihat Bonek dan Persebaya
-
Catatan Penulis2 years ago
Mengapa Azrul Mundur, Sebuah Perspektif
-
Musim4 years ago
Dualisme Persebaya, Era Kegelapan Dalam Sejarah Persebaya
-
Statistik2 years ago
Sho Me Your Guts!