Connect with us

Sejarah

Boling Tak Ubahnya Pengkhianat dan Bunglon, Sebuah Catatan Basofi Sudirman

Published

on

Gubernur Jawa Timur periode 1993–1998, Basofi Sudirman, dalam sebuah catatannya di buku “Bonek: Berani Karena Bersama” pernah mengulas fenomena Boling (bondho Maling) yang meresahkan. BWF menayangkan kembali tulisan yang terbit 1997 ini agar kita bisa belajar dari masa lalu.

***

Secara umum, kalau boleh kalau boleh dianalogikan dengan kehidupan manusia, penonton bagi pertandingan sepakbola, misalnya, tak ubahnya dengan jantung bagi kehidupan seorang manusia.

Penonton yang baik akan merupakan “jantung” yang sehat bagi kesebelasan. Karena melalui penonton, ada semangat yang didistribusikan ke tengah lapangan. Akan halnya dengan penonton yang tidak bergairah, ia tak ubahnya dengan “jantung” yang lemah. Berfungsi, namun kemampuannya memompa dan mendistribusikan semangat, relatif lemah. Sebaiknya, penonton yang urakan, dan tidak sejalan dengan “sportifitas” jantung sehat, tak ayal lagi, bisa melahirkan serangan jantung yang bahkan bisa mematikan.

Dari ilustrasi diatas, maka penonton pertandingan olahraga -yang paling populer di dunia, sepakbola- bisa dipilah dalam tiga kalangan.

Pertama, adalah mereka yang dapat diidentifikasi sebagai pecinta murni olahraga yang tahu pula caranya mencintai olahraga. Kalangan ini adalah mereka yang selain suka terhadap olahraga, juga suka terhadap kondusifitas dan “suasana” perolahragaan yang baik.

Kedua, adalah mereka yang sesungguhnya murni mencintai olahraga, dan mencurahkan segala potensinya -terkadang dengan tanpa mempertimbangkan keterbatasan dirinya- demi olahraga yang digemarinya. Tipologi kalangan ini dikenal dengan Bonek. Bondho nekad.

Salah satu yang menonjol dari bonek adalah kekuatan gairah dukungannya yang dengan luar biasa dicurahkan tim andalannya. Kalangan ini bahkan rela mempertaruhkan apa saja. Secara sosiologis, kalangan ini sangat potensial untuk menggairahkan dunia perolahragaan kita.

Bahkan di bidang apa pun, Bonek sesungguhnya menempati posisi yang strategis. Kalau tidak ada “Boneknya” yang berani kamikaze, menyerang sambil nekat, Jepang mungkin tidak terlalu diperhitungkan di perang dunia kedua. Dan kalau boleh jujur, syaratnya, kalau tidak ada Bonek yang berani mencegat moncong NICA, mungkin 10 Nopember akan meninggalkan kisah yang lain buat bangsa Indonesia. Begitulah bonek yang dalam kehidupan bidang apapun itu sesungguhnya dibutuhkan. Sebab Bonek dalam perspektif yang positif, merupakan sebuah simbol bagi kesungguhan yang dahsyat untuk mencapai atau memperjuangkan sebuah kemenangan.

Ketiga, adalah mereka yang pura-pura murni mencintai sepak bola, tapi perilakunya justru murni tidak mencintai sepakbola. “Inilah tipologi Boling (Bondho Maling). Mereka, memanipulasikan dan menghitamkan citra Bonek untuk menciderai olahraga dengan bertamengkan fanatisme: Termasuk dalam kalangan ini juga mereka yang bersih sebagai “mat kipas”, atau “mat bela” yang dengan lagak gayanya yang seolah mencintai sepak bola tapi pikiran justru menghasut dan membela perilaku yang tidak sportif.

Dan bahkan sebagaimana kita saksikan di final Liga Indonesia III, mereka para boling ini menyamar menjadi Bonek, lantas menjambret, merampok, meresahkan, merusuhkan, dan menyusahkan warga masyarakat. Jumlah mereka ya sesungguhnya tidak banyak, tapi karena proses penyamarannya dilakukan di tengah-tengah para bonek, mereka menjadi setetes tinta masuk ke air. Terkesan mewarnai -meskipun dengan warna kemungkaran.

Sepanjang diamati, ternyata penyamarannya, tak hanya dilakukan di event sepak bola saja. Melainkan juga di mana saja. Cara kerjanya bisa dilihat pada waktu kampanye pemilu yang lalu, misalnya. Atau dalam beberapa kerusuhan yang teriadi di masyarakat. Poko’e, selama ada yang bisa ditunggangi, di situ ia jadi bunglonnya.

Maka, dalam bahasa perjuangan, Boling ini tak ubahnya dengan pengkhianat. Yang bukan saja memberi andil negatif bagi setiap event yang positif. Tapi para boling juga sangat berperan dalam melahirkan kerancuan. Untuk merealisasikan peran itu, mereka menerapkan dua format. Pertama, format bunglon. Itulah yang mereka gunakan tatkala menyusup ke tengah Bonek untuk menyebarkan kemungkaran.

Kedua, tampil dengan format yang “antitesa”. Yang ini boling intelektual namanya. Cara kerjanya ditujukan untuk mem-back up rekannya di lapangan dengan menggunakan opini dan dalil-dalil sosial. Sehingga tatkala para boling tadi berbuat kemungkaran di masyarakat, orang-orang ini lantas mencari kambing hitamnya, atau mencarikan dasar legitimasinya. Agar kemungkaran para Boling terhapus mudharat-nya (kejelekannya).

Oleh karenanya, mumpung masih belum terlalu jauh, mari kita bertimbang pada kepentingan nasional. Kita hadapi Boling ini bersama-sama. Dan untuk itu, mesti ada gairah untuk bersatu-padu menghalau mereka.

Lebih-lebih lagi bagi para Bonek. Rasanya karena mereka yang ditunggangi dan diperalat untuk kemungkaran, merekalah yang mestinya lebih jelas, lebih tahu dan lebih jeli melihat Boling-Boling yang menyusup ke tubuhnya. Sebab kesukaan Boling itu memang membuat keruh. Setelah itu baru mereka mengail. Tinggallah para bonek yang menanggung beban psikologisnya. Lha herannya, kok Bonek yang diperalat iku adem ayem thok? Yo opo rek? (*)

Forum pencinta Persebaya yang menggeluti dan menyukai dunia literasi sepak bola.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Sejarah

11 Detik: Gol Tercepat Persebaya di Liga Indonesia

Published

on

Muhammad Iqbal mencetak gol cepat di detik ke-11 saat Persebaya menang 2-1 atas PSS Sleman di Stadion Gelora Bung Tomo, Surabaya pada lanjutan BRI Liga 1 2023/24 pada tanggal 3 Maret 2024. Gol ini sangat indah karena dicetak melalui tendangan keras kaki kiri Iqbal dari sisi kanan luar kotak penalti lawan.

Gol ini sekaligus menandai runtuhnya 29 tahun rekor pencetak gol tercepat Persebaya Surabaya di Liga Indonesia. Sebelumnya rekor pencetak gol tercepat sepanjang masa Persebaya Surabaya di Liga Indonesia dicatatkan oleh Winarno di detik ke-25 saat mengalahkan Persipura Jayapura dengan skor akhir 3-5 di Stadion Mandala, Jayapura di putaran kedua Liga Dunhill I 1994/95 pada tanggal 14 Agustus 1995. (dpp)

Continue Reading

Sejarah

Wildan Ramdhani: Pencetak Gol Ke-1.000 Persebaya

Published

on

Persebaya Surabaya pada akhirnya menelan kekalahan kandang perdana dengan skor 1-2 atas Persikabo 1973 di pekan ke-tujuh BRI Liga 1 2023/24 pada tanggal 4 Agustus 2023. Kekalahan ini berujung diistirahatkannya Aji Santoso menjadi pelatih Persebaya dan pada akhirnya memberhentikan pria asal Kepanjen ini sebagai pelatih kepala.

Namun ada sebuah catatan milestone yang ditorehkan di laga ini. Wildan Ramdhani mencatatkan namanya kedalam buku sejarah Klub Persebaya Surabaya. Sontekannya di menit ke-90+1 membawa namanya tercatat sebagai pencetak gol ke-1.000 bagi Tim Bajul Ijo sejak berkompetisi di Liga Indonesia 1994/95.

BRI Liga 1: Lagi Berduka, Wildan Ramdani Absen saat Persebaya Bersua RANS  Nusantara? - Indonesia Bola.com

Data ini diolah dan disajikan oleh #StatsRawon untuk Persebaya Surabaya dan Bonek.(dpp)

Continue Reading

Sejarah

Gol Ke-200 Persebaya Di Liga 1

Published

on

Daftar Pencetak Gol Monumental Persebaya di Liga 1 (Grafis #StatsRawon)

Persebaya menang besar dengan skor 0-5 di pekan ke-19 BRI Liga 1 2022/23 atas tuan rumah Persita Tangerang di Indomilk Arena, Tangerang (18/01). Gol pembuka Tim Bajul Ijo dicetak oleh Marselino Ferdinan pada menit ke-27.

Gol ini dicetak melalui tendangan roket dari anak muda yang identik dengan jersey bernomor punggung tujuh. Tendangan khas seorang Marselino Ferdinan yang masih berusia 18 tahun. Disini mentalitas dan pengalaman berbicara. Selain proses gol yang indah, gol ini merupakan gol ke-200 Persebaya Surabaya sejak promosi dan berkompetisi di Liga 1 musim 2018. (dpp)

Continue Reading

Trending