Connect with us

Catatan Penulis

Segala Hal tentang Flare dan Smoke Bomb

Published

on

Benda berwarna kuning merah berbentuk tabung itu hanya berukuran kecil. Seukuran dengan ukuran lampu senter yang biasa digunakan para peronda atau pencari kodok di sawah. Namun jangan kaget jika benda tadi mampu menghasilkan sinar yang ratusan kali lebih terang dan bahkan menyilaukan kala dia diaktifkan. Benda itu yang biasa kita sebut sebagai flare, dalam bahasa Indonesia, kita sering menyebutnya sebagai suar. Flare pada dasarmya digunakan sebagai penanda bahaya/permintaan pertolongan di situasi darurat (S.O.S/Save Our Soul). Perlengkapan ini akrab digunakan para pelaut, pekerja kilang lepas pantai, bahkan di dunia militer sebagai pengacau peluru kendali dan pertempuran malam guna mengetahui situasi medan laga.

Dalam aplikasinya, ternyata flare juga sering hadir dalam stadion sepakbola bersama supporternya. Kelompok ultras seringkali disebut-sebut sebagai pemrakarsa awal penggunaan flare di dalam stadion. Tujuannya tak lebih dan tak kurang adalah sebagai show-off, sebuah pertunjukan yang biasa disebut sebagai pyroshows. Mereka ingin menunjukkan kekuatannya, kreatifitasnya dan tentu saja memberikan efek kolosal di dalam stadion. Hal ini juga sebagai sebuah bentuk teror pada kesebelasan lawan. Flare tak hanya sebagai bentuk perayaan namun juga sebagai bentuk protes.

Wydad Cassablanca Pyroshow
Raja Cassablanca Pyroshow

Bonek sudah akrab dengan flare sejak jaman masih berkandang di Stadion Gelora 10 November Tambaksari. Saat berpindah di Gelora Bung Tomo pun sering kita lihat aksi pyroshows menghiasi tribun-tribun. Bahkan hingga kemarin kala laga melawan PSIM Jogja pada pertandingan bertajuk Going Strong Game dalam rangka launching tim, pesta pyroshows justru terlihat semakin meriah. Apakah semua pihak senang dengan aksi-aksi tersebut? Tidak.

Ternyata penyalaan flare memiliki sisi negatif yang selama ini dikumandangkan oleh penyelenggara liga dan kalangan supporter yang menolak penyalaan flare di stadion. Berdasarkan Kode Disiplin PSSI, penyalaan flare akan dikenai sanksi sebagai berikut :

  1. Rp 50 Juta untuk 1x penyalaan;
  2. Rp100 Juta untuk 2-5x penyalaan;
  3. Rp200 Juta untuk diatas 5x penyalaan.

Sebuah nominal denda yang fantastis bukan? Kiranya tak sebanding dengan harga sebuah tabung flare yang terpatok di angka 100-200 ribuan saja. Kita punya pengalaman buruk kala klub didenda hingga ratusan juta rupiah karena aksi penyalaan flare di musim 2018/2019.

Pyroshow di GBT.

Sebenarnya apa sih yang membuat beberapa kalangan sangat anti flare hingga ada regulasi buat melarangnya? Bahkan FA-nya Inggris dan FIFA sendiri juga melarangnya. dari sudut pandang mereka, sisi negatif penggunaan flare adalah :

  1. Berbahaya karena menghasilkan suhu panas hingga lebih dari 2000 derajat celcius, harus ekstra hati-hati dalam menggunakannya karena apabila tersentuh kulit maka akan mengakibatkan luka bakar yang serius.
  2. Bahaya asap yang ditimbulkan. Selain panas dan sinarnya yang menyilaukan, asap flare apabila dinyalakan secara masif bisa berbahaya untuk pernafasan. Tidak hanya penonton di sekitar flare dinyalakan, namun juga para pemain yang berlaga di lapangan. Kemampuan melihat juga akan sangat terbatas apabila asapnya memenuhi stadion. Pastinya para wasit, asisten wasit dan kru tv yang meliput pertandingan juga akan terganggu dengan asap ini.
  3. Beberapa kejadian jatuhnya korban hingga meninggal akibat lemparan flare yang masih menyala panas.

Namun rasanya sulit buat melarang atau menghentikan aksi penyalaan flare di stadion, walau dilakukan razia ataupun hukuman denda sekalipun. Pyroshow sudah begitu identik di dunia sepakbola dan bahkan konser musik yang melibatkan banyak penonton. Menghadapi supporter yang didominasi anak-anak muda yang haus menunjukkan eksistensi, identitas komunitas, dan menyalurkan emosi dan kreatifitas memang perlu pendekatan psikologis dan studi sosiologi. Sering kita temui Bonek yang mengedepankan slogan “Dilarang Melarang”, ACAB (All Cop Are Bastards), “No Pyro No Party”, jangan harap bisa bernegosiasi dengan cara represif atau kekerasan. Mereka pasti melawan balik dengan lebih keras.

Pyroshow pada konser Rammstein

Semua pihak harus melakukan pendekatan secara persuasif. Duduk bersama, ngopi bersama, cangkruk’an dan bahkan ‘memutar gelas’ ketika mendiskusikan solusinya. Bagaimana agar pertandingan tidak terganggu, kesehatan pernafasan tidak terancam, namun ekspresi dan kreasi bisa terus dijalankan bersamaan. Kiranya kita bisa meniru langkah yang pernah diambil oleh DFB (federasi sepakbola Jerman) kala menangani masalah pyrotechnic show ini hingga dilegalkan.

Fans Hamburger SV melakukan aksi pyroshow saat bertandang ke kandang St Pauli setelah pyroshow dilegalkan DFB.

DFB melalui sebuah komisi khusus yang dibentuk dalam menangani hal ini melakukan beberapa langkah guna mengakomodir aksi pyroshow di dalam stadion. Langkah-langkah tersebut antara lain:

  1. Memberikan izin untuk menggunakan flare dan smoke bomb secara legal dan dalam lingkungan yang terkendali.
  2. Memberikan izin untuk menyalakan dalam jumlah terbatas flare/smoke bomb di belakang gawang atau area tertentu yang disepakati tim berjalan keluar.
  3. Pertunjukan pyroshow akan dilakukan oleh perwakilan suporter terpilih, tetapi akan diawasi secara keseluruhan oleh ahli pyroshow. Pemadam kebakaran juga akan siap dengan alat pemadam kebakaran dan ember pasir.

Di satu kesempatan, Werder Bremen melakukan ujicoba pada apa yang dinamakan “cold-pyro”, sebuah teknologi baru dimana flare yang dinyalakan bersuhu rendah (bahkan dinyatakan lebih rendah dari suhu tubuh manusia), menghasilkan asap lebih sedikit, namun tetap bisa menyala terang. Uji coba ini masih gagal, namun bisa jadi kemajuan teknologi akan membantu menemukan titik temu bagaimana urusan flare dan pyroshow ini bisa tetap berjalan beriringan dengan regulasi dalam sebuah pertandingan sepakbola.

Persebaya dan Bonek mau mencobanya? Tidak ada salahnya untuk dicoba dan menjadi pionir dalam hal ini. Mengawali terciptanya Green Flare dan Smoke Bomb, suar ramah lingkungan. (*)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Catatan Penulis

Masih Ada PR yang Belum Tuntas, Saatnya Bonek Bentuk Presidium?

Published

on

Bonek bukan sebuah organisasi yang memiliki struktur yang solid. Padahal, Bonek punya banyak tantangan yang mesti dihadapi. Kelompok suporter Persebaya ini seringkali kedodoran dalam menyelesaikan permasalahan. Hingga saat ini, masih ada beberapa pekerjaan rumah yang belum tuntas yang mesti diselesaikan Bonek.

Sebut saja masalah Boling (Bondho Maling). Kehadiran gerombolan yang memakai atribut Persebaya di setiap laga-laga Green Force ini sering berdampak negatif. Aksi-aksi kriminalitas yang mereka lakukan membuat Persebaya kesulitan berlaga terutama di laga away. Eksesnya langsung dirasakan Bonek. Mereka kerap dilarang mendampingi Persebaya berlaga.

Aparat acapkali kesulitan membedakan antara Bonek dan Boling. Mereka menganggap Boling adalah suporter Persebaya. Celakanya, Bonek juga tidak punya mekanisme khusus untuk memisahkan Boling dengan Bonek. Hingga saat ini, menjadi Bonek bukan sesuatu yang sulit. Hanya berbekal atribut Persebaya, semua bisa jadi Bonek.

Kelompok suporter lain yang memiliki badan hukum punya mekanisme yang bisa memisahkan antara anggotanya dengan non anggota. Ada kartu anggota yang mesti dimiliki setiap anggota resmi. Data diri anggota juga tercatat di database organisasi.

Bagaimana dengan Bonek?

Bonek dibentuk dengan kesadaran kolektif warga Surabaya untuk mendukung Persebaya. Dukungan ini pada akhirnya meluas tidak hanya datang dari warga Surabaya. Persebaya yang beberapa kali merajai kompetisi era Perserikatan dianggap mewakili Jawa Timur. Banyak suporter berasal dari daerah-daerah lain di Jawa Timur.

Bonek tidak terikat dalam sebuah organisasi. Sifat massanya cair dengan slogan No Leader Just Together. Slogan ini terlihat sangat egaliter. Sayangnya, banyak masalah yang tak tertangani dengan baik. Dalam kasus Boling, setiap ekses negatif yang dilakukan orang-orang beratribut Persebaya seringkali dimaklumi. Tak heran jika masalah Boling selalu muncul dari musim ke musim.

Namun, gelora perlawanan di kalangan Bonek terus bermunculan. Suara-suara menentang eksistensi Boling kerap mencuat di linimasa media sosial. Sayangnya, suara-suara itu biasanya hanya berhenti di sana.

Bonek tidak punya mekanisme cepat yang diamini mayoritas Bonek dalam menyikapi sebuah permasalahan. Mekanisme itu biasanya diserahkan ke masing-masing tribun Bonek (Tribun Kidul, Tribun Timur, Green Nord, dan Gate 21). Namun, sikap masing-masing tribun terkadang berbeda. Masalah lain, suara mereka tidak bisa dianggap sebagai representasi Bonek.

Jaman yang Selalu Menghadirkan Tantangan Baru

Setiap jaman punya tantangan sendiri-sendiri. Masalah-masalah yang dihadapi Bonek semakin kompleks. Gerakan perlawanan di setiap jaman membutuhkan strategi yang berbeda. Saat Persebaya dimatisurikan federasi, gerakan perlawanan dengan slogan No Leader Just Together tentu masih relevan. Namun, apakah strategi gerakan perlawanan itu masih efektif saat ini?

Bonek membutuhkan mekanisme organisasi agar setiap keputusan bisa merepresentasikan suara mayoritas Bonek. Meski begitu, Bonek tak harus membuat sebuah organisasi berbadan hukum.

Saya mengusulkan pembentukan Presidium Bonek.

Secara de facto, empat tribun dianggap mewakili suara Bonek. Manajemen Persebaya juga mengakui keberadaan mereka. Komunitas-komunitas Bonek banyak yang mengasosiasikan diri dengan tribun pilihannya. Anggota komunitas biasanya menempati tribun Stadion GBT di mana komunitasnya mengasosiasikannya.

Empat tribun sebaiknya mulai memikirkan pembentukan Presidium Bonek. Presidium bertugas menjalankan roda organisasi dalam jangka waktu tertentu. Pengurus presidium termasuk ketuanya dipilih oleh empat tribun ditambah Bonek non tribun seperti Bonek luar kota atau Bonek liar yang tidak terafiliasi dengan tribun. Mekanisme Bonek non tribun bisa diatur kemudian.

Ketua presidium bisa dijabat secara bergiliran. Ketua dan pengurus presidium tidak memiliki kekuatan absolut. Kekuasaan tertinggi ada di tangan empat tribun dan Bonek non tribun. Jika sudah terpilih, ketua presidium dan pengurusnya bisa menjalankan roda organisasi sesuai visi dan misi yang disepakati empat tribun dan Bonek non tribun.

Presidium Bonek harus memiliki program kerja. Salah satu yang saya usulkan adalah pembentukan koperasi yang berbadan hukum. Anggota koperasi adalah semua Bonek. Sementara pengurus koperasi bisa diambil dari profesional. Tugas pokok Koperasi Bonek adalah menyejahterakan anggotanya. Hasil dari koperasi nantinya juga digunakan untuk memutar roda organisasi Presidium Bonek.

Presidium Bonek juga harus memastikan agar suaranya didengar manajemen Persebaya. Organisasi ini juga harus aktif berjuang saat Persebaya dirugikan federasi. Tugas lain presidium adalah membina hubungan dengan kelompok suporter lain.

***

Usulan pembentukan Presidium Bonek terlihat sederhana. Namun dibutuhkan kelegowoan masing-masing tribun dan mayoritas Bonek untuk menyerahkan mandat kepada presidium. Tentu saja empat tribun dan Bonek non tribun masih punya kekuasaan untuk mengawasi presidium. Namun yang perlu diingat adalah suara presidium adalah representasi suara mayoritas Bonek sejak presidium dibentuk.

Presidium Bonek memang bukan satu-satunya cara untuk menyelesaikan tantangan jaman. Namun, usulan pembentukan presidium menarik untuk dikaji. Tantangan ke depan yang semakin kompleks membutuhkan langkah luar biasa. Bonek membutuhkan mekanisme dalam menyelesaikan semua pekerjaan rumahnya dengan elegan. Bonek harus mulai bergerak secara terstruktur dan sistematis.

Bagi saya, Presidium Bonek adalah jawaban terbaik untuk saat ini. (*)

Continue Reading

Catatan Penulis

Patah Hati Melihat Liga Indonesia

Published

on

Liga Indonesia sejatinya memiliki potensi menjadi liga terhebat di Asia bahkan dunia. Indonesia memiliki 275 juta penduduk yang menjadikan sepakbola olahraga nomor 1. Jutaan suporter fanatik yang rela mendukung timnya dengan segenap hati. Ribuan klub bola di seantero negeri. Ratusan perusahaan dan investor yang siap menggelontorkan dana. 

Sayang, potensi itu lenyap karena PSSI tidak becus mengelola liga. Liga Indonesia gagal menjadi liga yang layak tonton bagi keluarga-keluarga di Indonesia. Banyak laga yang jauh dari kata sportivitas. Belum lagi keributan-keributan di luar lapangan yang membuat siapa saja muak membahas liga PSSI.

Mengapa bisa begitu? Jawabannya karena keserakahan, kerakusan, rasa tidak tahu malu yang dimiliki mayoritas pengurus PSSI.

Kita mulai dari jabatan Ketua Umum PSSI.

Sudah menjadi rahasia umum jika jabatan orang nomor 1 di federasi ini adalah jabatan seksi. Banyak figur yang tertarik menduduki singgasana PSSI 1. Bukan untuk memajukan sepakbola tanah air. Namun sebagai batu loncatan menduduki jabatan-jabatan publik hingga tujuan-tujuan pribadi atau golongan.

Eddy Rahmayadi sukses menjadi Gubernur Sumatera Utara saat masih menjabat Ketum PSSI. Iwan Bule, Ketum PSSI sekarang, getol membuat baliho kampanye Gubernur Jawa Barat. Hingga usia 92 tahun, Ketum-Ketum PSSI terpilih seperti tidak mengerti sepakbola. Dan lebih aneh lagi, para pemilik suara PSSI terus memilih orang-orang yang tidak kompeten menduduki singgasana orang nomor 1 federasi dan para pengurusnya.

Namun jika kita menilik komposisi pemilik suara, kepentingan PSSI lebih terakomodasi ketimbang kepentingan pemilik klub. Pada kongres tahunan PSSI 2019, terdapat 85 anggota PSSI yang menjandi pemilik suara. Dari jumlah itu, 40 persen atau 34 suara dikuasai Asprov PSSI daerah. Sisanya 18 klub Liga 1, 6 klub Liga 2, 16 klub Liga 3, dan 1 Asosiasi Futsal.

Jika Asprov adalah kepanjangan tangan PSSI, butuh tambahan suara 10 persen + 1 agar status quo bisa tetap menang. Dalam statuta PSSI juga ditetapkan aturan yang bisa menghalangi orang-orang dengan kompetensi tinggi untuk menjadi pengurus.

Di Kongres Pemilihan PSSI 2019-2024, calon ketum harus punya riwayat aktif mengurus sepak bola di lingkungan PSSI alias bukan sekadar aktif di kegiatan sepak bola.

Sistem ini tentu saja melanggengkan posisi orang-orang lama di PSSI. Tak heran, dari periode ke periode, wajah-wajah PSSI selalu dipenuhi muka-muka lama. Meski prestasi sepakbola Indonesia di kancah internasional buruk, para pengurusnya dengan tanpa malu tak mau mengundurkan diri.

Dengan tetap bercokolnya muka-muka lama, tak banyak perubahan hadir di sepakbola kita. Liga Indonesia dari musim ke musim kualitasnya semakin menukik tajam. Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang adalah bom waktu yang meledak akibat bobroknya liga.

Mirisnya, tragedi yang seharusnya menjadi momen mereformasi sepakbola hanya dianggap business as usual. Mungkin juga karena peristiwa tewasnya suporter di stadion bukanlah yang pertama. Menurut data Save Our Soccer (SOS), sebelum Tragedi Kanjuruhan, 78 suporter tewas baik di stadion maupun luar stadion selama Liga Indonesia berlangsung. Tragedi kematian suporter sudah dianggap peristiwa lumrah. Saking biasanya, PSSI seperti kehilangan akal untuk menghentikannya.

Liga 1  Bergulir di Tengah Skeptisme Publik

Di tengah skeptisme publik akan adanya perubahan sepakbola di negeri ini, Liga 1 kembali bergulir. Tuntutan suporter untuk menghentikan sementara liga hingga ada perubahan dalam sepakbola ternyata tidak diindahkan.

Seperti layaknya template, insiden-insiden yang melibatkan wasit kembali terlihat di laga-laga Liga 1. Banyak keputusan wasit yang kontroversial yang menguntungkan atau merugikan beberapa klub. Hal ini memicu suporter saling menyalahkan dan akhirnya menjadi bahan bakar untuk “berkelahi” di medsos.

Persebaya beberapa kali dirugikan dengan keputusan wasit. Saya juga melihat klub-klub lain juga ada yang dirugikan. Di Liga Indonesia, klub apapun bisa jadi korban keputusan buruk wasit. Dan seperti biasa, PSSI tidak bisa berbuat banyak mengatasi permasalahan yang sudah seperti kanker ini.

Kondisi yang telah bertahun-tahun tak pernah berubah ini membuat saya menjadi patah hati melihat Liga Indonesia. Jika sebelumnya saya menulis Patah Hati Melihat Bonek dan Persebaya, kini saya menulis hal yang sama tentang Liga Indonesia. Saya tak lagi bergairah menyaksikannya. Rasanya, dukungan yang saya berikan untuk liga ini tak ada manfaatnya. Tak ada kegembiraan seperti yang saya rasakan saat saya masih menaruh harapan agar liga kita menjadi lebih baik. Kini harapan itu sudah saya buang jauh-jauh.

Meski Persebaya masih berkompetisi, saya tak punya semangat lagi menontonnya. Saya masih tetap sedih saat Persebaya kalah, namun kesedihan itu tidak berlarut-larut. Di liga yang tak lagi menjunjung tinggi sportivitas, kemenangan atau kekalahan tak lagi ada artinya.

Para petinggi PSSI yang telah terbukti gagal membawa prestasi juga tak pernah mengeluarkan pernyataan untuk mundur. Mereka malah sudah ancang-ancang menjabat lagi di kongres PSSI yang digelar tahun depan.

Sikap pesimis akan berubahnya Liga Indonesia membuat saya apatis dan antipati. Melihat potensi yang diabaikan segelintir orang-orang yang memanfaatkan liga ini untuk kepentingan pribadinya membuat saya muak.

Kapan Liga Indonesia bisa memberikan kegembiraan dan kebahagiaan kepada para suporter? Kapan sportivitas yang menjadi roh kompetisi dijunjung tinggi? Kapan PSSI menjadi federasi yang waras?

Rasanya pertanyaan-pertanyaan ini mustahil ada jawabannya. (*)

Continue Reading

Catatan Penulis

Pentingnya Merawat Sejarah Persebaya, Agar Bonek Tidak Mudah Pindah Sebelah

Published

on

Apa pentingnya sejarah? Banyak yang bilang pelajaran sejarah itu membosankan. Beberapa lirik lagu menyiratkan jika kita sebaiknya melupakan masa lalu.

“Yang lalu biarlah berlalu.”

Sepotong lirik lagu “Lamunan” milik Andromeda ini menyiratkan peristiwa di masa lalu tidak penting untuk dibahas. Namun bagi saya, peristiwa di masa lalu yang seringkali disebut sejarah itu sangat penting untuk dibicarakan.

Saya baru mengerti pentingnya sejarah setelah masalah dualisme Persebaya terselesaikan dengan baik. Persebaya yang sempat mati suri kembali dibangkitkan dan mengikuti kompetisi resmi di bawah PSSI.

Dan pahlawan yang membuat Persebaya berdiri kokoh adalah Bonek.

Namun, membangkitkan Persebaya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Bonek sempat terpecah antara mendukung Persebaya asli yang sarat masalah atau Persebaya sebelah yang penuh bintang.

Pada akhirnya, suara mayoritas Bonek tetap keukeuh mendukung Persebaya yang asli. Lem perekat yang membuat Bonek mantap memilih Persebaya yang bermarkas di Karanggayam adalah sejarah yang mesti dirawat.

Perlawanan atas ketidakadilan tidak harus memakai senjata, namun bisa dengan kata-kata. Dan bisa kita lihat saat Persebaya dalam periode mati suri, banyak Bonek menuliskan curahan hatinya di akun-akun Facebook pribadinya. Banyak Bonek yang menulis tentang sejarah Persebaya. Tulisan-tulisan itu menunjukkan dukungan mereka kepada tim kebanggaannya. Meski saat itu banyak hujatan dan makian dari pendukung Persebaya sebelah, mereka tetap teguh pendirian.

Ingatan saya akan dualisme Persebaya dan pentingnya merawat sejarah kembali hadir saat saya datang ke acara Mahakarya Bonek Campus #4. Bonek Campus mengundang pelatih Persebaya saat juara 2004, Jacksen F Tiago dan dua pemain skuad 2004, Uston Nawawi dan Chairil “Pace” Anwar. Acara yang diadakan di Kayoon Heritage, Minggu (18/11) ini memang mengusung tema “Spirit 2004”.

Riswan Lauhin dan Atta Ballah mengamati kliping perjalanan Persebaya saat juara 2004.

Dua pemain Persebaya saat ini, Atta Ballah dan Riswan Lauhin, juga dihadirkan. Tema yang diangkat Bonek Campus bukan tanpa alasan. Prestasi Persebaya musim ini kurang bagus. Meski di laga terakhir menorehkan sejarah dengan mengalahkan Arema FC di Kanjuruhan, Persebaya masih berada di papan tengah. Target 3 besar yang dicanangkan manajemen tampaknya susah diwujudkan. “Spirit 2004” memberikan pesan agar semangat juara tertanam di dada skuad Persebaya sekarang.

Acara yang berisi talkshow, pameran dokumentasi perjalanan Persebaya juara 2004, dan pertunjukan musik ini cukup ramai dihadiri Bonek. Mereka antusias mengikuti acara demi acara. Tak hanya Bonek lawas, Bonek muda pun datang ke acara yang lebih banyak membahas sejarah Persebaya itu.

Lewat acara-acara yang mengulas sejarah terjadi transfer pengetahuan sejarah.

Kehadiran Bonek di acara-acara seperti ini patut diapresiasi. Bonek telah sadar pentingnya merawat sejarah Persebaya. Merawat sejarah sangat penting karena bisa memperkuat akar Persebaya. Semakin kuat akar, Persebaya akan tetap berdiri kokoh meski ada banyak masalah menghadang.

Klub adalah representasi para pendukungnya. Setiap klub memiliki karakteristik tertentu yang mewakili suporternya. Bisa dikatakan, klub adalah cermin pendukungnya. Seperti Persebaya yang mengusung karakter kota Surabaya yang Wani dan Ngeyel, jati diri itulah yang selalu diperjuangkan Bonek. Sejarah selalu mengingatkan pentingnya menjaga karakter-karakter itu karena membawa memori Persebaya dari jaman ke jaman.

Persebaya yang lahir sejak 1927 mengusung karakter Surabaya yang selalu konsisten dijalankan stakeholder Persebaya dari tahun ke tahun. Penelitian-penelitian sejarah tentang Persebaya di masa lalu menjadi pelajaran generasi sekarang agar mereka terus memperjuangkan semangat para pendahulunya.

Jacksen F Tiago dan Uston Nawawi.

Sejarah juga bisa menjadi refleksi jika di masa mendatang terjadi konflik yang mengancam eksistensi Persebaya. Kita juga bisa belajar untuk tidak mengulangi kesalahan di masa lalu. Karena sejarah akan terus berulang sehingga kita dituntut tetap waspada. Dengan melek sejarah Persebaya, Bonek akan selalu membawa semangat timnya dan tak akan mudah tergoda untuk berpaling.

Di sinilah pentingnya sejarah karena mampu menghubungkan generasi sekarang dengan generasi pendahulu.

Acara-acara seperti ini harus selalu digelar di masa-masa mendatang. Agar Bonek tidak putus hubungan dan konsisten memperjuangkan apa yang diperjuangkan para pendahulunya. Saya yakin, Bonek akan amanah dalam memperjuangkan Persebaya hingga kapan pun. Dan itu sangat membanggakan.

Jika bukan Bonek, siapa yang akan merawat sejarah Persebaya? (*)

Continue Reading

Trending