Connect with us

Catatan Penulis

Setelah 800 Hari, Akhirnya Mbonek Lagi

Published

on

Butuh 800 hari bagi Bonek untuk bisa menonton tim kebanggaannya, Persebaya, berlaga di stadion. Sejak kekalahan 3-4 atas Persipura di Gelora Bung Tomo (GBT) musim 2020, Bonek tak lagi bisa mendampingi Green Force berlaga. Pandemi membuat mereka terpisah dengan tim kesayangannya.

Kerinduan itu terbayar saat Persebaya mengadakan uji coba melawan Persis Solo, Minggu (22/5). Laga bertajuk Surabaya 729 Game itu dipenuhi Bonek. Memang tidak sampai memenuhi seluruh kapasitas GBT. Panpel sengaja mengosongkan beberapa tribun untuk mematuhi protokol kesehatan.

Kick off laga ini rencananya dimulai pukul 16.00 WIB. Namun antusias Bonek hadir di GBT cukup tinggi. Mereka sudah terlihat ada di jalan-jalan menuju GBT beberapa jam sebelum laga dimulai. Setengah jam sebelum kick off, terlihat kemacetan di akses utama masuk stadion. Rupanya, hanya satu jalur yang dibuka. Sementara jalur lain dipakai untuk parkir kendaraan petugas.

Petugas meminta penonton untuk menunjukkan tiket saat masuk akses utama. Namun beberapa Bonek termasuk yang tak bertiket memilih menyusuri jalan-jalan kecil yang ada di tambak sekitar GBT.

Laga belum berjalan meski jam telah menunjukkan pukul 16.00 WIB. Kick off molor. Untung saja ini bukan pertandingan liga. Presiden Persebaya, Azrul Ananda, terlihat menyambut Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming dan Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi.

“Terima kasih sebanyak-banyaknya kepada Mas Eri, Wali Kota Surabaya, tepuk tangan untuk Pemkot Surabaya. Insya Alloh Persebaya, Pemkot, teman-teman Bonek semua akan semakin berkolaborasi untuk semakin melambung lagi,” ucap Azrul sebelum laga.

Kedatangan Eri cukup spesial karena baru di laga ini orang nomor satu di Surabaya mau menghadiri laga Persebaya. Ini tentu berbeda saat Wali Kota Surabaya masih dipegang Tri Rismaharini yang tak pernah hadir di laga-laga Persebaya. Sebuah sinyal cukup positif agar saat liga berjalan nanti sudah tidak ada lagi “keributan” soal venue.

Azrul Ananda diapit Eri Cahyadi dan Gibran Rakabuming. Foto: Jatim.net

Tak lupa, Azrul juga mengucapkan terima kasih kepada Gibran dan suporter Persis serta menyambut kehadiran tim berjuluk Laskar Samber Nyawa itu ke Liga 1.

“Dengan hadirnya Persis Solo (di Liga 1, red), saya rasa Persebaya mendapatkan satu teman yang sama-sama punya visi mengubah sepak bola Indonesia jadi lebih baik,” lanjut Azrul.

Ya, dalam beberapa kesempatan, Azrul sering mengatakan bahwa Liga Indonesia membutuhkan ekosistem yang baik agar semua peserta bisa mengelola timnya dengan baik mulai dari bisnis hingga kompetisi.

Bonek menyambut pidato Azrul dengan tepuk tangan meriah dari kursi-kursi tribun tempat mereka duduk. Ini adalah laga pertama yang dihadiri Bonek usai GBT direnovasi dan dijadikan single seat. Kursi-kursi di tribun VIP tampak penuh. Namun, beberapa Bonek tampak tidak kebagian kursi sehingga memilih duduk di lantai-lantai yang tidak tertutup kursi. Sebuah PR yang harus diselesaikan panpel agar tidak memasukkan penonton yang tidak bertiket saat liga nanti.

Wali Kota Surabaya juga mengajak penonton untuk mengheningkan cipta mengenang tragedi kecelakaan bus di Tol Sumo yang menyebabkan 16 warga Benowo meninggal dunia.

Jalannya Laga

Laga akhirnya dimulai setelah hampir satu jam molor. Persebaya didominasi pemain-pemain muda. Lima pemain berusia 25 tahun ke atas diturunkan Aji Santoso yakni pemain asing Leo Lelis, M. Zaenuri, Alwi Slamat, Muhammad Hidayat, dan Januar Eka.

Babak pertama, Persebaya lebih mendominasi. Dicky Kurniawan tampil cukup bagus. Sayang tidak ada peluang tercipta. Persis malah memiliki beberapa peluang lewat mantan pemain Persebaya, Samsul Arif, yang salah satunya membentur mistar. Skor kacamata menjadi hasil babak pertama.

Persebaya unggul lebih dulu di babak kedua. Penyerang Persebaya Januar Eka mencetak gol lewat sundulan di menit 64. Flare langsung menyala di hampir semua tribun Bonek. Suporter Persis tak mau ketinggalan. Mereka juga menyalakan flare meski timnya kebobolan. MC pertandingan terus meminta Bonek mematikan flare-flare yang dinyalakan.

Wasit memutuskan menghentikan pertandingan karena asap mengganggu jalannya laga. Meski panpel melarang suporter membawa flare, aksi penyalaan flare di dalam stadion sudah bisa diprediksi. Selain karena gairah untuk mbonek cukup tinggi, laga ini berlabel uji coba yang tak ada denda meski flare dinyalakan.

Suporter Persis Solo. Foto: Suara.com

Laga kembali berjalan. Persis tak butuh waktu lama menyamakan kedudukan. Berawal dari serangan balik, Samsul mencetak gol melalui sundulan di menit 71. Bola sempat membentur mistar namun memantul masuk ke gawang. Gol itu sempat diprotes karena pemain Persebaya menganggap bola belum melewati garis gawang. Namun wasit tambahan di tepi gawang tetap dengan keputusannya.

Skor 1-1, giliran suporter Persis menyalakan flare dan disusul oleh suporter Persebaya. Namun laga tetap dilanjutkan. 10 menit kemudian, Samsul kembali mencetak gol. Tendangannya di dalam kotak penalti tidak mampu dihalau kiper Andhika Ramadhani. Papan skor berubah menjadi 2-1 untuk keunggulan tim tamu.

Samsul Arif usai mencetak gol ke gawang Persebaya. Foto: Official Persis

Persebaya terus menekan untuk menyamakan skor. Beberapa pemain pengganti dimasukkan untuk penyegaran. Salah satunya Brylian Aldama. Serangan demi serangan dilancarkan. Namun, Green Force kesulitan menembus jantung pertahanan Persis. Tak satu pun peluang tercipta.

PR yang mesti dikerjakan Aji sangat banyak terutama memadukan para pemain mudanya. Laga ini belum bisa dijadikan gambaran utuh permainan Persebaya musim depan mengingat tiga pemain asing belum datang ke Surabaya.

Hingga akhir laga, skor tetap 2-1 untuk kemenangan Persis. Hasil yang cukup mengecewakan. Namun karena ini laga uji coba, masih ada cukup waktu untuk berbenah. Apalagi kick off Liga 1 masih akan dimulai 23 atau 27 Juli nanti.

Usai Laga Berakhir

“Tujuan uji coba adalah untuk kita evaluasi. Apalagi di latihan-latihan sebelumnya, saya sampaikan kepada jurnalis bahwa saat ini belum tepat untuk uji coba,” ucap Aji usai laga.

Meski begitu, Aji sangat mengapresiasi para pemainnya terutama pemain mudanya dan pemain-pemain trial.

“Saya mencoba beberapa pemain baru tapi sudah menunjukkan permainan yang cukup menarik. Sehingga dia memang butuh pengalaman, jam terbang, dan persiapan lebih matang lagi dan butuh waktu,” lanjutnya.

Aji Santoso dan Brylian Aldama. Foto: Detik.com

Alasan Aji cukup bisa diterima. Persebaya memang belum padu karena baru satu minggu menjalani latihan. Tiga pemain asing kemungkinan baru bergabung akhir Mei ini. Persebaya akan terus menggeber latih. Piala Presiden yang akan digelar Juni nanti akan dipakai Persebaya sebagai persiapan menyongsong Liga 1 sekaligus mencoba komposisi.

“Hari ini semua pemain bermain cukup baik. Apalagi kita baru beberapa hari persiapan. Banyak pemain baru. Tapi kita sudah mengikuti apa yang telah diinstruksikan coach Aji selama latihan,” kata Brylian yang ikut mendampingi Aji di sesi konpers.

Meski kalah, Brylian cukup optimis Persebaya akan mempu berbicara banyak di kompetisi nanti. Semangat inilah yang harus ditunjukkan para pemain saat liga berjalan sehingga bisa memberi kebahagiaan kepada Bonek yang rindu akan kemenangan.

Laga memang telah usai. Namun masih banyak PR yang mesti diselesaikan tim pelatih, pemain, official, panpel, hingga Bonek. Khusus panpel, dua jalur akses keluar stadion hendaknya dibuka agar tidak terjadi kemacetan usai laga.

Bonek mengantri masuk stadion. Foto: Jpnn.com

Satu hal yang menarik dari Bonek, one stadium one chant akhirnya terlaksana di mana Bonek di semua tribun menyanyikan lagu-lagu dukungan untuk Persebaya secara bersamaan. Sesuatu yang wajib dilakukan saat liga berjalan.

Masih cukup waktu untuk menyelesaikan PR-PR itu. Namun dengan semangat Suroboyo, PR-PR itu akan mudah dikerjakan. Ah, senangnya mbonek… (*)

Daftar Susunan Pemain:

Persebaya: Andhika Ramadhani; Koko Ari, Leo Lelis, M. Zaenuri, Alwi Slamat; Muhammad Hidayat, Dicky Kurniawan, Alta Ballah; Rui Ariyanto, Januar Eka, Supriyadi.

Persis: Gianluca Pandeynuwu; Eky Taufik, Fabiano Beltrame, Andri Ibo, Abduh Lestaluhu; Kanu Helmiawan, Chrystna Bagascara, Sutanto Tan; Ferdinand Sinaga, Samsul Arif, Kevin Gomes.

Content creator, digital media watch, public transport enthusiast, die hard Persebaya and Arsenal fans, love to write about life | Anggota BWF

Continue Reading
1 Comment

1 Comment

  1. Pipit

    May 23, 2022 at 3:00 pm

    Pas nyanyi bareng merinding asli

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Catatan Penulis

Masih Ada PR yang Belum Tuntas, Saatnya Bonek Bentuk Presidium?

Published

on

Bonek bukan sebuah organisasi yang memiliki struktur yang solid. Padahal, Bonek punya banyak tantangan yang mesti dihadapi. Kelompok suporter Persebaya ini seringkali kedodoran dalam menyelesaikan permasalahan. Hingga saat ini, masih ada beberapa pekerjaan rumah yang belum tuntas yang mesti diselesaikan Bonek.

Sebut saja masalah Boling (Bondho Maling). Kehadiran gerombolan yang memakai atribut Persebaya di setiap laga-laga Green Force ini sering berdampak negatif. Aksi-aksi kriminalitas yang mereka lakukan membuat Persebaya kesulitan berlaga terutama di laga away. Eksesnya langsung dirasakan Bonek. Mereka kerap dilarang mendampingi Persebaya berlaga.

Aparat acapkali kesulitan membedakan antara Bonek dan Boling. Mereka menganggap Boling adalah suporter Persebaya. Celakanya, Bonek juga tidak punya mekanisme khusus untuk memisahkan Boling dengan Bonek. Hingga saat ini, menjadi Bonek bukan sesuatu yang sulit. Hanya berbekal atribut Persebaya, semua bisa jadi Bonek.

Kelompok suporter lain yang memiliki badan hukum punya mekanisme yang bisa memisahkan antara anggotanya dengan non anggota. Ada kartu anggota yang mesti dimiliki setiap anggota resmi. Data diri anggota juga tercatat di database organisasi.

Bagaimana dengan Bonek?

Bonek dibentuk dengan kesadaran kolektif warga Surabaya untuk mendukung Persebaya. Dukungan ini pada akhirnya meluas tidak hanya datang dari warga Surabaya. Persebaya yang beberapa kali merajai kompetisi era Perserikatan dianggap mewakili Jawa Timur. Banyak suporter berasal dari daerah-daerah lain di Jawa Timur.

Bonek tidak terikat dalam sebuah organisasi. Sifat massanya cair dengan slogan No Leader Just Together. Slogan ini terlihat sangat egaliter. Sayangnya, banyak masalah yang tak tertangani dengan baik. Dalam kasus Boling, setiap ekses negatif yang dilakukan orang-orang beratribut Persebaya seringkali dimaklumi. Tak heran jika masalah Boling selalu muncul dari musim ke musim.

Namun, gelora perlawanan di kalangan Bonek terus bermunculan. Suara-suara menentang eksistensi Boling kerap mencuat di linimasa media sosial. Sayangnya, suara-suara itu biasanya hanya berhenti di sana.

Bonek tidak punya mekanisme cepat yang diamini mayoritas Bonek dalam menyikapi sebuah permasalahan. Mekanisme itu biasanya diserahkan ke masing-masing tribun Bonek (Tribun Kidul, Tribun Timur, Green Nord, dan Gate 21). Namun, sikap masing-masing tribun terkadang berbeda. Masalah lain, suara mereka tidak bisa dianggap sebagai representasi Bonek.

Jaman yang Selalu Menghadirkan Tantangan Baru

Setiap jaman punya tantangan sendiri-sendiri. Masalah-masalah yang dihadapi Bonek semakin kompleks. Gerakan perlawanan di setiap jaman membutuhkan strategi yang berbeda. Saat Persebaya dimatisurikan federasi, gerakan perlawanan dengan slogan No Leader Just Together tentu masih relevan. Namun, apakah strategi gerakan perlawanan itu masih efektif saat ini?

Bonek membutuhkan mekanisme organisasi agar setiap keputusan bisa merepresentasikan suara mayoritas Bonek. Meski begitu, Bonek tak harus membuat sebuah organisasi berbadan hukum.

Saya mengusulkan pembentukan Presidium Bonek.

Secara de facto, empat tribun dianggap mewakili suara Bonek. Manajemen Persebaya juga mengakui keberadaan mereka. Komunitas-komunitas Bonek banyak yang mengasosiasikan diri dengan tribun pilihannya. Anggota komunitas biasanya menempati tribun Stadion GBT di mana komunitasnya mengasosiasikannya.

Empat tribun sebaiknya mulai memikirkan pembentukan Presidium Bonek. Presidium bertugas menjalankan roda organisasi dalam jangka waktu tertentu. Pengurus presidium termasuk ketuanya dipilih oleh empat tribun ditambah Bonek non tribun seperti Bonek luar kota atau Bonek liar yang tidak terafiliasi dengan tribun. Mekanisme Bonek non tribun bisa diatur kemudian.

Ketua presidium bisa dijabat secara bergiliran. Ketua dan pengurus presidium tidak memiliki kekuatan absolut. Kekuasaan tertinggi ada di tangan empat tribun dan Bonek non tribun. Jika sudah terpilih, ketua presidium dan pengurusnya bisa menjalankan roda organisasi sesuai visi dan misi yang disepakati empat tribun dan Bonek non tribun.

Presidium Bonek harus memiliki program kerja. Salah satu yang saya usulkan adalah pembentukan koperasi yang berbadan hukum. Anggota koperasi adalah semua Bonek. Sementara pengurus koperasi bisa diambil dari profesional. Tugas pokok Koperasi Bonek adalah menyejahterakan anggotanya. Hasil dari koperasi nantinya juga digunakan untuk memutar roda organisasi Presidium Bonek.

Presidium Bonek juga harus memastikan agar suaranya didengar manajemen Persebaya. Organisasi ini juga harus aktif berjuang saat Persebaya dirugikan federasi. Tugas lain presidium adalah membina hubungan dengan kelompok suporter lain.

***

Usulan pembentukan Presidium Bonek terlihat sederhana. Namun dibutuhkan kelegowoan masing-masing tribun dan mayoritas Bonek untuk menyerahkan mandat kepada presidium. Tentu saja empat tribun dan Bonek non tribun masih punya kekuasaan untuk mengawasi presidium. Namun yang perlu diingat adalah suara presidium adalah representasi suara mayoritas Bonek sejak presidium dibentuk.

Presidium Bonek memang bukan satu-satunya cara untuk menyelesaikan tantangan jaman. Namun, usulan pembentukan presidium menarik untuk dikaji. Tantangan ke depan yang semakin kompleks membutuhkan langkah luar biasa. Bonek membutuhkan mekanisme dalam menyelesaikan semua pekerjaan rumahnya dengan elegan. Bonek harus mulai bergerak secara terstruktur dan sistematis.

Bagi saya, Presidium Bonek adalah jawaban terbaik untuk saat ini. (*)

Continue Reading

Catatan Penulis

Patah Hati Melihat Liga Indonesia

Published

on

Liga Indonesia sejatinya memiliki potensi menjadi liga terhebat di Asia bahkan dunia. Indonesia memiliki 275 juta penduduk yang menjadikan sepakbola olahraga nomor 1. Jutaan suporter fanatik yang rela mendukung timnya dengan segenap hati. Ribuan klub bola di seantero negeri. Ratusan perusahaan dan investor yang siap menggelontorkan dana. 

Sayang, potensi itu lenyap karena PSSI tidak becus mengelola liga. Liga Indonesia gagal menjadi liga yang layak tonton bagi keluarga-keluarga di Indonesia. Banyak laga yang jauh dari kata sportivitas. Belum lagi keributan-keributan di luar lapangan yang membuat siapa saja muak membahas liga PSSI.

Mengapa bisa begitu? Jawabannya karena keserakahan, kerakusan, rasa tidak tahu malu yang dimiliki mayoritas pengurus PSSI.

Kita mulai dari jabatan Ketua Umum PSSI.

Sudah menjadi rahasia umum jika jabatan orang nomor 1 di federasi ini adalah jabatan seksi. Banyak figur yang tertarik menduduki singgasana PSSI 1. Bukan untuk memajukan sepakbola tanah air. Namun sebagai batu loncatan menduduki jabatan-jabatan publik hingga tujuan-tujuan pribadi atau golongan.

Eddy Rahmayadi sukses menjadi Gubernur Sumatera Utara saat masih menjabat Ketum PSSI. Iwan Bule, Ketum PSSI sekarang, getol membuat baliho kampanye Gubernur Jawa Barat. Hingga usia 92 tahun, Ketum-Ketum PSSI terpilih seperti tidak mengerti sepakbola. Dan lebih aneh lagi, para pemilik suara PSSI terus memilih orang-orang yang tidak kompeten menduduki singgasana orang nomor 1 federasi dan para pengurusnya.

Namun jika kita menilik komposisi pemilik suara, kepentingan PSSI lebih terakomodasi ketimbang kepentingan pemilik klub. Pada kongres tahunan PSSI 2019, terdapat 85 anggota PSSI yang menjandi pemilik suara. Dari jumlah itu, 40 persen atau 34 suara dikuasai Asprov PSSI daerah. Sisanya 18 klub Liga 1, 6 klub Liga 2, 16 klub Liga 3, dan 1 Asosiasi Futsal.

Jika Asprov adalah kepanjangan tangan PSSI, butuh tambahan suara 10 persen + 1 agar status quo bisa tetap menang. Dalam statuta PSSI juga ditetapkan aturan yang bisa menghalangi orang-orang dengan kompetensi tinggi untuk menjadi pengurus.

Di Kongres Pemilihan PSSI 2019-2024, calon ketum harus punya riwayat aktif mengurus sepak bola di lingkungan PSSI alias bukan sekadar aktif di kegiatan sepak bola.

Sistem ini tentu saja melanggengkan posisi orang-orang lama di PSSI. Tak heran, dari periode ke periode, wajah-wajah PSSI selalu dipenuhi muka-muka lama. Meski prestasi sepakbola Indonesia di kancah internasional buruk, para pengurusnya dengan tanpa malu tak mau mengundurkan diri.

Dengan tetap bercokolnya muka-muka lama, tak banyak perubahan hadir di sepakbola kita. Liga Indonesia dari musim ke musim kualitasnya semakin menukik tajam. Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang adalah bom waktu yang meledak akibat bobroknya liga.

Mirisnya, tragedi yang seharusnya menjadi momen mereformasi sepakbola hanya dianggap business as usual. Mungkin juga karena peristiwa tewasnya suporter di stadion bukanlah yang pertama. Menurut data Save Our Soccer (SOS), sebelum Tragedi Kanjuruhan, 78 suporter tewas baik di stadion maupun luar stadion selama Liga Indonesia berlangsung. Tragedi kematian suporter sudah dianggap peristiwa lumrah. Saking biasanya, PSSI seperti kehilangan akal untuk menghentikannya.

Liga 1  Bergulir di Tengah Skeptisme Publik

Di tengah skeptisme publik akan adanya perubahan sepakbola di negeri ini, Liga 1 kembali bergulir. Tuntutan suporter untuk menghentikan sementara liga hingga ada perubahan dalam sepakbola ternyata tidak diindahkan.

Seperti layaknya template, insiden-insiden yang melibatkan wasit kembali terlihat di laga-laga Liga 1. Banyak keputusan wasit yang kontroversial yang menguntungkan atau merugikan beberapa klub. Hal ini memicu suporter saling menyalahkan dan akhirnya menjadi bahan bakar untuk “berkelahi” di medsos.

Persebaya beberapa kali dirugikan dengan keputusan wasit. Saya juga melihat klub-klub lain juga ada yang dirugikan. Di Liga Indonesia, klub apapun bisa jadi korban keputusan buruk wasit. Dan seperti biasa, PSSI tidak bisa berbuat banyak mengatasi permasalahan yang sudah seperti kanker ini.

Kondisi yang telah bertahun-tahun tak pernah berubah ini membuat saya menjadi patah hati melihat Liga Indonesia. Jika sebelumnya saya menulis Patah Hati Melihat Bonek dan Persebaya, kini saya menulis hal yang sama tentang Liga Indonesia. Saya tak lagi bergairah menyaksikannya. Rasanya, dukungan yang saya berikan untuk liga ini tak ada manfaatnya. Tak ada kegembiraan seperti yang saya rasakan saat saya masih menaruh harapan agar liga kita menjadi lebih baik. Kini harapan itu sudah saya buang jauh-jauh.

Meski Persebaya masih berkompetisi, saya tak punya semangat lagi menontonnya. Saya masih tetap sedih saat Persebaya kalah, namun kesedihan itu tidak berlarut-larut. Di liga yang tak lagi menjunjung tinggi sportivitas, kemenangan atau kekalahan tak lagi ada artinya.

Para petinggi PSSI yang telah terbukti gagal membawa prestasi juga tak pernah mengeluarkan pernyataan untuk mundur. Mereka malah sudah ancang-ancang menjabat lagi di kongres PSSI yang digelar tahun depan.

Sikap pesimis akan berubahnya Liga Indonesia membuat saya apatis dan antipati. Melihat potensi yang diabaikan segelintir orang-orang yang memanfaatkan liga ini untuk kepentingan pribadinya membuat saya muak.

Kapan Liga Indonesia bisa memberikan kegembiraan dan kebahagiaan kepada para suporter? Kapan sportivitas yang menjadi roh kompetisi dijunjung tinggi? Kapan PSSI menjadi federasi yang waras?

Rasanya pertanyaan-pertanyaan ini mustahil ada jawabannya. (*)

Continue Reading

Catatan Penulis

Pentingnya Merawat Sejarah Persebaya, Agar Bonek Tidak Mudah Pindah Sebelah

Published

on

Apa pentingnya sejarah? Banyak yang bilang pelajaran sejarah itu membosankan. Beberapa lirik lagu menyiratkan jika kita sebaiknya melupakan masa lalu.

“Yang lalu biarlah berlalu.”

Sepotong lirik lagu “Lamunan” milik Andromeda ini menyiratkan peristiwa di masa lalu tidak penting untuk dibahas. Namun bagi saya, peristiwa di masa lalu yang seringkali disebut sejarah itu sangat penting untuk dibicarakan.

Saya baru mengerti pentingnya sejarah setelah masalah dualisme Persebaya terselesaikan dengan baik. Persebaya yang sempat mati suri kembali dibangkitkan dan mengikuti kompetisi resmi di bawah PSSI.

Dan pahlawan yang membuat Persebaya berdiri kokoh adalah Bonek.

Namun, membangkitkan Persebaya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Bonek sempat terpecah antara mendukung Persebaya asli yang sarat masalah atau Persebaya sebelah yang penuh bintang.

Pada akhirnya, suara mayoritas Bonek tetap keukeuh mendukung Persebaya yang asli. Lem perekat yang membuat Bonek mantap memilih Persebaya yang bermarkas di Karanggayam adalah sejarah yang mesti dirawat.

Perlawanan atas ketidakadilan tidak harus memakai senjata, namun bisa dengan kata-kata. Dan bisa kita lihat saat Persebaya dalam periode mati suri, banyak Bonek menuliskan curahan hatinya di akun-akun Facebook pribadinya. Banyak Bonek yang menulis tentang sejarah Persebaya. Tulisan-tulisan itu menunjukkan dukungan mereka kepada tim kebanggaannya. Meski saat itu banyak hujatan dan makian dari pendukung Persebaya sebelah, mereka tetap teguh pendirian.

Ingatan saya akan dualisme Persebaya dan pentingnya merawat sejarah kembali hadir saat saya datang ke acara Mahakarya Bonek Campus #4. Bonek Campus mengundang pelatih Persebaya saat juara 2004, Jacksen F Tiago dan dua pemain skuad 2004, Uston Nawawi dan Chairil “Pace” Anwar. Acara yang diadakan di Kayoon Heritage, Minggu (18/11) ini memang mengusung tema “Spirit 2004”.

Riswan Lauhin dan Atta Ballah mengamati kliping perjalanan Persebaya saat juara 2004.

Dua pemain Persebaya saat ini, Atta Ballah dan Riswan Lauhin, juga dihadirkan. Tema yang diangkat Bonek Campus bukan tanpa alasan. Prestasi Persebaya musim ini kurang bagus. Meski di laga terakhir menorehkan sejarah dengan mengalahkan Arema FC di Kanjuruhan, Persebaya masih berada di papan tengah. Target 3 besar yang dicanangkan manajemen tampaknya susah diwujudkan. “Spirit 2004” memberikan pesan agar semangat juara tertanam di dada skuad Persebaya sekarang.

Acara yang berisi talkshow, pameran dokumentasi perjalanan Persebaya juara 2004, dan pertunjukan musik ini cukup ramai dihadiri Bonek. Mereka antusias mengikuti acara demi acara. Tak hanya Bonek lawas, Bonek muda pun datang ke acara yang lebih banyak membahas sejarah Persebaya itu.

Lewat acara-acara yang mengulas sejarah terjadi transfer pengetahuan sejarah.

Kehadiran Bonek di acara-acara seperti ini patut diapresiasi. Bonek telah sadar pentingnya merawat sejarah Persebaya. Merawat sejarah sangat penting karena bisa memperkuat akar Persebaya. Semakin kuat akar, Persebaya akan tetap berdiri kokoh meski ada banyak masalah menghadang.

Klub adalah representasi para pendukungnya. Setiap klub memiliki karakteristik tertentu yang mewakili suporternya. Bisa dikatakan, klub adalah cermin pendukungnya. Seperti Persebaya yang mengusung karakter kota Surabaya yang Wani dan Ngeyel, jati diri itulah yang selalu diperjuangkan Bonek. Sejarah selalu mengingatkan pentingnya menjaga karakter-karakter itu karena membawa memori Persebaya dari jaman ke jaman.

Persebaya yang lahir sejak 1927 mengusung karakter Surabaya yang selalu konsisten dijalankan stakeholder Persebaya dari tahun ke tahun. Penelitian-penelitian sejarah tentang Persebaya di masa lalu menjadi pelajaran generasi sekarang agar mereka terus memperjuangkan semangat para pendahulunya.

Jacksen F Tiago dan Uston Nawawi.

Sejarah juga bisa menjadi refleksi jika di masa mendatang terjadi konflik yang mengancam eksistensi Persebaya. Kita juga bisa belajar untuk tidak mengulangi kesalahan di masa lalu. Karena sejarah akan terus berulang sehingga kita dituntut tetap waspada. Dengan melek sejarah Persebaya, Bonek akan selalu membawa semangat timnya dan tak akan mudah tergoda untuk berpaling.

Di sinilah pentingnya sejarah karena mampu menghubungkan generasi sekarang dengan generasi pendahulu.

Acara-acara seperti ini harus selalu digelar di masa-masa mendatang. Agar Bonek tidak putus hubungan dan konsisten memperjuangkan apa yang diperjuangkan para pendahulunya. Saya yakin, Bonek akan amanah dalam memperjuangkan Persebaya hingga kapan pun. Dan itu sangat membanggakan.

Jika bukan Bonek, siapa yang akan merawat sejarah Persebaya? (*)

Continue Reading

Trending