Catatan Penulis
Mengingat Kembali Spanduk sebagai Alat Perlawanan
“Surabaya Melawan” adalah sebuah gerakan yang dilakukan oleh pendukung Persebaya (yang dikenal sebagai Bonek) pada tahun 2016 sebagai bentuk perlawanan pada federasi sepak bola Indonesia, Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), karena dicoretnya keanggotaan Persebaya di PSSI. PSSI lebih memilih Persebaya versi gadungan ketimbang Persebaya yang secara historis dilahirkan pada tahun 1927.
Oleh karena itu, saat Persebaya tidak dapat mengikuti liga karena tidak diakuinya Persebaya sebagai klub resmi di bawah PSSI sebagai akibat pembangkangan pada keputusan federasi yang memaksa Persebaya degradasi dari Liga Super Indonesia pada musim 2009-2010, maka nama Persebaya 1927 dipilih. Nama tersebut dipilih setelah menolak nama yang “diberi” oleh PSSI yaitu Surabaya United untuk bertanding pada laga amal melawan Indo Holland di Gelora 10 November.
Rupanya hal tersebut meluas. Bonek melakukan perlawanan. Sejak itu nama Persebaya 1927 selain menjadi identitas klub juga identitas perlawanan. Aksi perlawanan tersebut misalnya saat Bonek berunjuk rasa di depan kantor PSSI dan KONI di Jakarta, kemudian melakukan aksi tanda tangan dan cap jempol darah yang dilakukan di Surabaya, hingga Bonek berunjukrasa dan menyampaikan pernyatan sikap ke markas FIFA di Swiss yang berisi keluhan mengenai karut-marutnya sepakbola nasional secara umum di bawah kepemimpinan Nurdin Halid (Wirawan, 2016:13). Cak Andi Peci sebagai juru bicara Arek Bonek 1927 bahkan hingga mengancam akan melumpuhkan Jawa Timur jika Persebaya tidak dikembalikan kepada yang berhak.
Pada perkembangannya, perjuangan Bonek mulai masuk ke wilayah seni. Lagu-lagu mulai diciptakan sendiri, tidak hanya sekadar melakukan penggantian syair di lagu yang sudah ada seperti suporter pada umumnya. Lagu ini bukan hanya chant yang biasa mengiringi klub bertanding, namun lagu ini bagi mereka menjadi identitas keberadaan Bonek. Selain lagu, banyak bertebaran t-shirt bertemakan Bonek maupun Persebaya. Dilihat dari teks yang ada di t-shirt tersebut aroma perlawanan kepada PSSI yang dinilai bersikap tak adil buat mereka begitu mendominasi.
Momentum 10 November 2018 yang bertepatan pula dengan Hari Pahlawan menjadi menarik untuk mengingat perlawanan Bonek pada PSSI. Dua tahun lalu, tepatnya pada bulan November 2016, secara serentak semua komunitas Bonek di Surabaya dan sekitarnya meluapkan kemarahannya melalui spanduk. Surabaya yang sudah penuh dengan mural dan graffiti, saat itu ditambah lagi dengan spanduk yang bertebaran bertemakan membela Persebaya maupun luapan kemarahan hati Bonek pada PSSI.
Spanduk dalam artikel ini saya golongkan ke street graphics (desain grafis jalanan). Istilah ini bisa dianggap netral untuk tidak saja menyebutnya sebagai wujud seni jalanan. Spanduk, meskipun penerapannya ada di jalanan, secara fungsional medium spanduk untuk menyampaikan komunikasi. Dalam hal ini saya menempatkan spanduk sebagai medium yang memiliki nilai fungsional.
Spanduk dalam “Surabaya Melawan” menjadi media yang dipakai untuk menyuarakan perlawanan. Jangan dibayangkan bahwa mereka memakai jenis kain baru untuk dijadikan spanduk. Bahan yang dipakai selain adalah bahan yang baru juga dengan cara mencopot spanduk berbahan vynil yang telah terpasang sebelumnya di jalanan. Lantas bagian belakang yang kosong itulah yang kemudian menjadi medium untuk menuliskan dukungan pada Persebaya dan sebaliknya menuliskan caci maki pada PSSI. Teknis membuat spanduknya pun bermacam-macam. Ada yang menuliskan dengan cara manual maupun digital.
Politik Identitas
Ada dua pola yang dipakai dalam menamai suporter sepak bola yang ternyata juga berkaitan dengan pembentukan komunitas (Junaedi, 2017: 88). Pola pertama adalah suporter yang berkembang karena faktor kultural. Bonek dan Aremania adalah contohnya. Suporter ini mendapatkan nama berdasarkan interaksi simbolik yang terbentuk secara kultural. Sejak awal suporter ini tidak mengidentifikasi dirinya dalam satu organisasi yang diatur secara ketat dan mengatur secara ketat pula untuk anggotanya. Mereka berkembang karena memiliki kesamaan dalam mendukung klub yang sama.
Penyebutan Bonek sendiri adalah hasil interaksi simbolik antara fans Persebaya dengan koran Jawa Pos yang banyak memberitakan Persebaya. Bagi Jawa Pos, audiens mereka adalah fans Persebaya. Keberhasilan Persebaya menjadi juara di tahun 1988 menjadikan klub ini memiliki nilai berita yang tinggi. Jawa Pos menyebut suporter Persebaya ini sebagai suporter yang nekat. Dalam diri fans Persebaya pun menyambut hangat istilah “nekat” yang disematkan pada mereka.
Penyebutan Bonek pada diri mereka sendiri adalah sebuah kebanggaan. Meski di kemudian hari muncul pernyataan “dadi bonek kuwi gak gampang” atau yang berarti menjadi Bonek itu tidaklah mudah. Istilah ini pun akhirnya berkembang menjadi peyoratif yang bertujuan untuk menyerang karakter seseorang yang dianggap liar.
Pola kedua adalah suporter yang dikembangkan dengan struktur organisasi. The Jak (supporter Persija Jakarta), Pasoepati (supporter Persis Solo), Panser Biru (supporter PSIS Semarang), atau Brajamusti (supporter PSIM Yogyakarta) adalah contoh-contoh dalam pola tersebut. Mereka terbentuk dalam AD/ART yang dibuat secara jelas termasuk aturan ketat buat anggotanya. Pola ini juga memungkinkan adanya jabatan ketua supporter.
Dalam konteks spanduk Bonek, identifikasi diri mereka tergambarkan melalui perilaku kultural dan artefak budayanya. Pertama adalah selalu memunculkan simbol wong mangap atau gambar orang yang mulutnya menganga atau seperti berteriak. Simbol “wong mangap” ini lebih populer di kalangan Bonek menjadi penanda bagi kelompok suporter. Setiap ada simbol tersebut maka akan selalu diidentikkan dengan Bonek. Ada kebanggaan dan keberanian lebih jika menyematkan simbol ini dalam berbagai atribut.
Kedua, Bonek teridentifikasi melalui gerakan yang spontan. Kultur mendukung tim saat pertandingan tandang (awaydays) selalu mereka ikuti. Bonek akan berangkat tanpa menunggu instruksi senior-senior mereka atau koordinator wilayah masing-masing. Kultur ini juga melahirkan istilah yang namanya ‘estafet’ yaitu dengan cara nggandhol atau menjadi penumpang gelap truk agar sampai ke kandang lawan Persebaya. Mereka harus berganti-ganti tumpangan. Kultur ini menjadikan mereka memiliki ikatan kultural yang dekat.
Gerakan spontan inilah yang dalam perlawanan melalui spanduk mereka lakukan. Gerakan yang nekat, karena berhubungan dengan sistem tata kota maupun tata wilayah. Kemarahan atas keputusan PSSI menyulut Bonek memasang spanduk dengan berbagai gaya dan bahasa. Oleh karena gerakan spontan, maka Satpol PP harus menertibkan spanduk-spanduk yang tumbuh secara sporadis berikut juga kata-kata yang dianggap tak pantas dipertunjukkan di tempat publik. Sebagai operator penataan kota, mereka berhak melakukannya.
Di sinilah maka Bonek menjadi komunitas yang sangat berani berhadapan dengan sistem yang kaku tersebut. Istilah yang kemudian mengemuka adalah jika satu spanduk diturunkan, maka puluhan spanduk siap dipasang. Benar saja, ketika Satpol PP mencomoti spanduk Bonek satu persatu, Bonek menggeruduk kantor Satpol PP di belakang Balai Kota Surabaya. Hingga akhirnya “memaksa” Satpol PP memberikan titik-titik di kota yang diperbolehkan memasang spanduk.
Pada periode November 2016 hingga awal Januari 2017 itulah Surabaya benar-benar dikepung oleh spanduk Bonek. Hal ini masih belum terhitung dengan spanduk-spanduk yang dipasang di wilayah kampus. Bonek Campus, sebagai wadah untuk mengumpulkan komunitas-komunitas Bonek berbasis mahasiswa pun juga memasang spanduk di kampusnya masing-masing. Pihak pejabat kampus tentu saja berhak untuk menertibkan spanduk-spanduk yang terpasang tersebut. Meski demikian menurut Ujang, koordinator Bonek Campus (2016), kampus Universitas Muhamadiyah Surabaya adalah kampus di Surabaya yang mendukung penuh pemasangan spanduk di wilayah kampus. Sementara di kampus lain, Bonek-Bonek ini harus bergerilya untuk memasang spanduk di kampus mereka masing-masing.
Ketiga, Bonek teridentifikasi melalui salamnya yang khas yaitu “Salam satu nyali, wani!”. Salam ini berfungsi untuk membedakan dengan suporter lain. Bonek, menggunakan salam ini dengan mengedepankan semangat keberanian. “Wani” yang diambil dari bahasa Jawa berarti berani. Spanduk-spanduk yang dipasang oleh Bonek telah memenuhi unsur keberanian tersebut. Konotasi-konotasi yang termaknai dari bunyi-bunyi spanduk merujuk kepada mental keberanian Bonek yang merupakan representasi dari klub Persebaya itu sendiri.
Menurut penuturan salah satu dirijen Bonek, salam ini mulai muncul setelah suporter Persebaya mendukung Persebaya dalam pertandingan tandang melawan PSIM Yogyakarta tahun 2008. Interaksi dan proses sosial yang terjadi di kalangan Bonek inilah yang menjadikan salam ini cepat menyebar. Beberapa spanduk dan seni jalanan lain acap kali menuliskan salam ini dalam bentuk hashtag (#) seperti halnya di media sosial. Di sisi lain dalam hal keberanian, Bonek ini memulai dalam hal menerabas jarak kandang lawan. Mereka tidak berhitung seandainya suporter garis keras lawan menyerang atau mengintimidasi Bonek. Prinsip Bonek adalah asal tidak diserang duluan, mereka tidak akan menyerang. Bagi Bonek saat menyatakan diri mendukung Persebaya maka saat itulah mereka telah bersiap segalanya, baik modal maupun tekad.
Spanduk Bonek: Anti Kaidah Desain
Saat desain grafis menjadi komoditas, maka konsekuensinya adalah munculnya mistifikasi komoditas, seperti pada pemikiran Karl Marx. Mistifikasi dalam praktik sosial terjadi ketika suatu obyek diputuskan dari pembuatnya. Hal tersebut berimbas pada justifikasi obyek. Dalam praktik desain grafis wujud dari justifikasi adalah munculnya kemudian “strata sosial”.
Strata ini mewujud pada penilaian “baik” dan “buruk” sebuah obyek desain. Penilaian semacam ini merujuk pada wujud desain yang dibuat oleh desainer sekolahan ataukah desainer non sekolahan (amatiran; karya rakyat jelata). Gaya elegan karya desainer grafis sekolahan yang sarat dengan prinsip dan aturan desain modern dan desain bergaya naif karya rakyat jelata yang sering dinilai ‘buruk’.
Street graphics bukan monopoli desain modern, selain desain karya kelompok akademis, ada pula desainer non akademis atau desainer jalanan. Desainer semacam ini membuat desain berdasarkan pengalaman, intuisi, dan tradisi. Oleh karenanya mereka bekerja tanpa perencanaan dan sketsa. Spanduk Bonek yang tersebar di Surabaya dua tahun yang lalu ini bagai menginterupsi “tatanan sosial” dalam kaidah desain grafis. Jika pun ada spanduk yang dikerjakan dengan digital, maka Bonek ini tetap saja dimasukkan dalam kelompok yang suka mendesain dan mau belajar ilmu desain secara praktis. Termasuk juga dalam golongan ini adalah mereka yang merasa bisa mendesain karena kemudahan teknologi digital.
Jika pun spanduk juga banyak dikerjakan secara manual, kelompok ini sudah merasa puas jika telah bisa menulis (tipografi) di ruang publik serta mengatur komposisi sedemikian rupa. Teknologi digital berperan memperkenalkan publik kepada berbagai bidang komunikasi visual yang sebelumnya hanya bisa diakses para ahli. Sekarang setiap orang dapat mengomposisikan dokumen bertampilan profesional dengan menggunakan template software mutakhir.
Dalam street graphic design, Juan Carlos Meno, seorang penulis buku Mexican Street Graphics menyatakan bahwa kelompok desainer jalanan (amatiran; non sekolahan) ini memiliki sikap yaitu mereka tidak belajar aturan desain akademis, konvensi seni rupa, ataupun tren desain mutakhir. Mereka hanya terikat pada suatu persaudaraan, tradisi vernakular dan inilah yang membuat karya mereka bergaya unik. Mereka belajar secara otodidak dan memakai peralatan yang sederhana untuk membuat desain. Prinsip desain mereka adalah intuitif, imitatif, naif, dan unik.
Spanduk Bonek yang tersebar itu merupakan desain grafis vernakular yang dilahirkan dari prinsip desain di atas. Tidak peduli “grid”, tak peduli bikin copywriting yang menye-menye, begitu pula tak peduli dengan prinsip estetika yang sering kali orang tautkan dengan prinsip etika. Justru vernakularnya spanduk Bonek bagi saya lebih memiliki jiwa, keunikan, humoris, dan bersahaja daripada spanduk yang memenuhi kaidah desain sekolahan. (*)
Sumber Pustaka:
Junaedi, Fajar. 2017. Merayakan Sepak Bola: Fans, Identitas, dan Media. Yogyakarta: Buku Litera.
Mena, Juan Carlos dan Oscar Reyes Mena. 2002. Sensacional! Mexican Street Graphics. New York: Princeton Architectural Press.
Wirawan, Oryza A. 2016. Imagined Persebaya. Yogyakarta: Buku Litera.
*Artikel ini pernah diterbitkan di Majalah Mata Jendela Vol. XIII No. 4 Tahun 2018 dengan judul “Desain dalam Bal-Balan: 2 Tahun Jejak Perlawanan Bonek melalui Spanduk”.
Catatan Penulis
Masih Ada PR yang Belum Tuntas, Saatnya Bonek Bentuk Presidium?
Bonek bukan sebuah organisasi yang memiliki struktur yang solid. Padahal, Bonek punya banyak tantangan yang mesti dihadapi. Kelompok suporter Persebaya ini seringkali kedodoran dalam menyelesaikan permasalahan. Hingga saat ini, masih ada beberapa pekerjaan rumah yang belum tuntas yang mesti diselesaikan Bonek.
Sebut saja masalah Boling (Bondho Maling). Kehadiran gerombolan yang memakai atribut Persebaya di setiap laga-laga Green Force ini sering berdampak negatif. Aksi-aksi kriminalitas yang mereka lakukan membuat Persebaya kesulitan berlaga terutama di laga away. Eksesnya langsung dirasakan Bonek. Mereka kerap dilarang mendampingi Persebaya berlaga.
Aparat acapkali kesulitan membedakan antara Bonek dan Boling. Mereka menganggap Boling adalah suporter Persebaya. Celakanya, Bonek juga tidak punya mekanisme khusus untuk memisahkan Boling dengan Bonek. Hingga saat ini, menjadi Bonek bukan sesuatu yang sulit. Hanya berbekal atribut Persebaya, semua bisa jadi Bonek.
Kelompok suporter lain yang memiliki badan hukum punya mekanisme yang bisa memisahkan antara anggotanya dengan non anggota. Ada kartu anggota yang mesti dimiliki setiap anggota resmi. Data diri anggota juga tercatat di database organisasi.
Bagaimana dengan Bonek?
Bonek dibentuk dengan kesadaran kolektif warga Surabaya untuk mendukung Persebaya. Dukungan ini pada akhirnya meluas tidak hanya datang dari warga Surabaya. Persebaya yang beberapa kali merajai kompetisi era Perserikatan dianggap mewakili Jawa Timur. Banyak suporter berasal dari daerah-daerah lain di Jawa Timur.
Bonek tidak terikat dalam sebuah organisasi. Sifat massanya cair dengan slogan No Leader Just Together. Slogan ini terlihat sangat egaliter. Sayangnya, banyak masalah yang tak tertangani dengan baik. Dalam kasus Boling, setiap ekses negatif yang dilakukan orang-orang beratribut Persebaya seringkali dimaklumi. Tak heran jika masalah Boling selalu muncul dari musim ke musim.
Namun, gelora perlawanan di kalangan Bonek terus bermunculan. Suara-suara menentang eksistensi Boling kerap mencuat di linimasa media sosial. Sayangnya, suara-suara itu biasanya hanya berhenti di sana.
Bonek tidak punya mekanisme cepat yang diamini mayoritas Bonek dalam menyikapi sebuah permasalahan. Mekanisme itu biasanya diserahkan ke masing-masing tribun Bonek (Tribun Kidul, Tribun Timur, Green Nord, dan Gate 21). Namun, sikap masing-masing tribun terkadang berbeda. Masalah lain, suara mereka tidak bisa dianggap sebagai representasi Bonek.
Jaman yang Selalu Menghadirkan Tantangan Baru
Setiap jaman punya tantangan sendiri-sendiri. Masalah-masalah yang dihadapi Bonek semakin kompleks. Gerakan perlawanan di setiap jaman membutuhkan strategi yang berbeda. Saat Persebaya dimatisurikan federasi, gerakan perlawanan dengan slogan No Leader Just Together tentu masih relevan. Namun, apakah strategi gerakan perlawanan itu masih efektif saat ini?
Bonek membutuhkan mekanisme organisasi agar setiap keputusan bisa merepresentasikan suara mayoritas Bonek. Meski begitu, Bonek tak harus membuat sebuah organisasi berbadan hukum.
Saya mengusulkan pembentukan Presidium Bonek.
Secara de facto, empat tribun dianggap mewakili suara Bonek. Manajemen Persebaya juga mengakui keberadaan mereka. Komunitas-komunitas Bonek banyak yang mengasosiasikan diri dengan tribun pilihannya. Anggota komunitas biasanya menempati tribun Stadion GBT di mana komunitasnya mengasosiasikannya.
Empat tribun sebaiknya mulai memikirkan pembentukan Presidium Bonek. Presidium bertugas menjalankan roda organisasi dalam jangka waktu tertentu. Pengurus presidium termasuk ketuanya dipilih oleh empat tribun ditambah Bonek non tribun seperti Bonek luar kota atau Bonek liar yang tidak terafiliasi dengan tribun. Mekanisme Bonek non tribun bisa diatur kemudian.
Ketua presidium bisa dijabat secara bergiliran. Ketua dan pengurus presidium tidak memiliki kekuatan absolut. Kekuasaan tertinggi ada di tangan empat tribun dan Bonek non tribun. Jika sudah terpilih, ketua presidium dan pengurusnya bisa menjalankan roda organisasi sesuai visi dan misi yang disepakati empat tribun dan Bonek non tribun.
Presidium Bonek harus memiliki program kerja. Salah satu yang saya usulkan adalah pembentukan koperasi yang berbadan hukum. Anggota koperasi adalah semua Bonek. Sementara pengurus koperasi bisa diambil dari profesional. Tugas pokok Koperasi Bonek adalah menyejahterakan anggotanya. Hasil dari koperasi nantinya juga digunakan untuk memutar roda organisasi Presidium Bonek.
Presidium Bonek juga harus memastikan agar suaranya didengar manajemen Persebaya. Organisasi ini juga harus aktif berjuang saat Persebaya dirugikan federasi. Tugas lain presidium adalah membina hubungan dengan kelompok suporter lain.
***
Usulan pembentukan Presidium Bonek terlihat sederhana. Namun dibutuhkan kelegowoan masing-masing tribun dan mayoritas Bonek untuk menyerahkan mandat kepada presidium. Tentu saja empat tribun dan Bonek non tribun masih punya kekuasaan untuk mengawasi presidium. Namun yang perlu diingat adalah suara presidium adalah representasi suara mayoritas Bonek sejak presidium dibentuk.
Presidium Bonek memang bukan satu-satunya cara untuk menyelesaikan tantangan jaman. Namun, usulan pembentukan presidium menarik untuk dikaji. Tantangan ke depan yang semakin kompleks membutuhkan langkah luar biasa. Bonek membutuhkan mekanisme dalam menyelesaikan semua pekerjaan rumahnya dengan elegan. Bonek harus mulai bergerak secara terstruktur dan sistematis.
Bagi saya, Presidium Bonek adalah jawaban terbaik untuk saat ini. (*)
Catatan Penulis
Patah Hati Melihat Liga Indonesia
Liga Indonesia sejatinya memiliki potensi menjadi liga terhebat di Asia bahkan dunia. Indonesia memiliki 275 juta penduduk yang menjadikan sepakbola olahraga nomor 1. Jutaan suporter fanatik yang rela mendukung timnya dengan segenap hati. Ribuan klub bola di seantero negeri. Ratusan perusahaan dan investor yang siap menggelontorkan dana.
Sayang, potensi itu lenyap karena PSSI tidak becus mengelola liga. Liga Indonesia gagal menjadi liga yang layak tonton bagi keluarga-keluarga di Indonesia. Banyak laga yang jauh dari kata sportivitas. Belum lagi keributan-keributan di luar lapangan yang membuat siapa saja muak membahas liga PSSI.
Mengapa bisa begitu? Jawabannya karena keserakahan, kerakusan, rasa tidak tahu malu yang dimiliki mayoritas pengurus PSSI.
Kita mulai dari jabatan Ketua Umum PSSI.
Sudah menjadi rahasia umum jika jabatan orang nomor 1 di federasi ini adalah jabatan seksi. Banyak figur yang tertarik menduduki singgasana PSSI 1. Bukan untuk memajukan sepakbola tanah air. Namun sebagai batu loncatan menduduki jabatan-jabatan publik hingga tujuan-tujuan pribadi atau golongan.
Eddy Rahmayadi sukses menjadi Gubernur Sumatera Utara saat masih menjabat Ketum PSSI. Iwan Bule, Ketum PSSI sekarang, getol membuat baliho kampanye Gubernur Jawa Barat. Hingga usia 92 tahun, Ketum-Ketum PSSI terpilih seperti tidak mengerti sepakbola. Dan lebih aneh lagi, para pemilik suara PSSI terus memilih orang-orang yang tidak kompeten menduduki singgasana orang nomor 1 federasi dan para pengurusnya.
Namun jika kita menilik komposisi pemilik suara, kepentingan PSSI lebih terakomodasi ketimbang kepentingan pemilik klub. Pada kongres tahunan PSSI 2019, terdapat 85 anggota PSSI yang menjandi pemilik suara. Dari jumlah itu, 40 persen atau 34 suara dikuasai Asprov PSSI daerah. Sisanya 18 klub Liga 1, 6 klub Liga 2, 16 klub Liga 3, dan 1 Asosiasi Futsal.
Jika Asprov adalah kepanjangan tangan PSSI, butuh tambahan suara 10 persen + 1 agar status quo bisa tetap menang. Dalam statuta PSSI juga ditetapkan aturan yang bisa menghalangi orang-orang dengan kompetensi tinggi untuk menjadi pengurus.
Di Kongres Pemilihan PSSI 2019-2024, calon ketum harus punya riwayat aktif mengurus sepak bola di lingkungan PSSI alias bukan sekadar aktif di kegiatan sepak bola.
Sistem ini tentu saja melanggengkan posisi orang-orang lama di PSSI. Tak heran, dari periode ke periode, wajah-wajah PSSI selalu dipenuhi muka-muka lama. Meski prestasi sepakbola Indonesia di kancah internasional buruk, para pengurusnya dengan tanpa malu tak mau mengundurkan diri.
Dengan tetap bercokolnya muka-muka lama, tak banyak perubahan hadir di sepakbola kita. Liga Indonesia dari musim ke musim kualitasnya semakin menukik tajam. Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang adalah bom waktu yang meledak akibat bobroknya liga.
Mirisnya, tragedi yang seharusnya menjadi momen mereformasi sepakbola hanya dianggap business as usual. Mungkin juga karena peristiwa tewasnya suporter di stadion bukanlah yang pertama. Menurut data Save Our Soccer (SOS), sebelum Tragedi Kanjuruhan, 78 suporter tewas baik di stadion maupun luar stadion selama Liga Indonesia berlangsung. Tragedi kematian suporter sudah dianggap peristiwa lumrah. Saking biasanya, PSSI seperti kehilangan akal untuk menghentikannya.
Liga 1 Bergulir di Tengah Skeptisme Publik
Di tengah skeptisme publik akan adanya perubahan sepakbola di negeri ini, Liga 1 kembali bergulir. Tuntutan suporter untuk menghentikan sementara liga hingga ada perubahan dalam sepakbola ternyata tidak diindahkan.
Seperti layaknya template, insiden-insiden yang melibatkan wasit kembali terlihat di laga-laga Liga 1. Banyak keputusan wasit yang kontroversial yang menguntungkan atau merugikan beberapa klub. Hal ini memicu suporter saling menyalahkan dan akhirnya menjadi bahan bakar untuk “berkelahi” di medsos.
Persebaya beberapa kali dirugikan dengan keputusan wasit. Saya juga melihat klub-klub lain juga ada yang dirugikan. Di Liga Indonesia, klub apapun bisa jadi korban keputusan buruk wasit. Dan seperti biasa, PSSI tidak bisa berbuat banyak mengatasi permasalahan yang sudah seperti kanker ini.
Kondisi yang telah bertahun-tahun tak pernah berubah ini membuat saya menjadi patah hati melihat Liga Indonesia. Jika sebelumnya saya menulis Patah Hati Melihat Bonek dan Persebaya, kini saya menulis hal yang sama tentang Liga Indonesia. Saya tak lagi bergairah menyaksikannya. Rasanya, dukungan yang saya berikan untuk liga ini tak ada manfaatnya. Tak ada kegembiraan seperti yang saya rasakan saat saya masih menaruh harapan agar liga kita menjadi lebih baik. Kini harapan itu sudah saya buang jauh-jauh.
Meski Persebaya masih berkompetisi, saya tak punya semangat lagi menontonnya. Saya masih tetap sedih saat Persebaya kalah, namun kesedihan itu tidak berlarut-larut. Di liga yang tak lagi menjunjung tinggi sportivitas, kemenangan atau kekalahan tak lagi ada artinya.
Para petinggi PSSI yang telah terbukti gagal membawa prestasi juga tak pernah mengeluarkan pernyataan untuk mundur. Mereka malah sudah ancang-ancang menjabat lagi di kongres PSSI yang digelar tahun depan.
Sikap pesimis akan berubahnya Liga Indonesia membuat saya apatis dan antipati. Melihat potensi yang diabaikan segelintir orang-orang yang memanfaatkan liga ini untuk kepentingan pribadinya membuat saya muak.
Kapan Liga Indonesia bisa memberikan kegembiraan dan kebahagiaan kepada para suporter? Kapan sportivitas yang menjadi roh kompetisi dijunjung tinggi? Kapan PSSI menjadi federasi yang waras?
Rasanya pertanyaan-pertanyaan ini mustahil ada jawabannya. (*)
Catatan Penulis
Pentingnya Merawat Sejarah Persebaya, Agar Bonek Tidak Mudah Pindah Sebelah
Apa pentingnya sejarah? Banyak yang bilang pelajaran sejarah itu membosankan. Beberapa lirik lagu menyiratkan jika kita sebaiknya melupakan masa lalu.
“Yang lalu biarlah berlalu.”
Sepotong lirik lagu “Lamunan” milik Andromeda ini menyiratkan peristiwa di masa lalu tidak penting untuk dibahas. Namun bagi saya, peristiwa di masa lalu yang seringkali disebut sejarah itu sangat penting untuk dibicarakan.
Saya baru mengerti pentingnya sejarah setelah masalah dualisme Persebaya terselesaikan dengan baik. Persebaya yang sempat mati suri kembali dibangkitkan dan mengikuti kompetisi resmi di bawah PSSI.
Dan pahlawan yang membuat Persebaya berdiri kokoh adalah Bonek.
Namun, membangkitkan Persebaya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Bonek sempat terpecah antara mendukung Persebaya asli yang sarat masalah atau Persebaya sebelah yang penuh bintang.
Pada akhirnya, suara mayoritas Bonek tetap keukeuh mendukung Persebaya yang asli. Lem perekat yang membuat Bonek mantap memilih Persebaya yang bermarkas di Karanggayam adalah sejarah yang mesti dirawat.
Perlawanan atas ketidakadilan tidak harus memakai senjata, namun bisa dengan kata-kata. Dan bisa kita lihat saat Persebaya dalam periode mati suri, banyak Bonek menuliskan curahan hatinya di akun-akun Facebook pribadinya. Banyak Bonek yang menulis tentang sejarah Persebaya. Tulisan-tulisan itu menunjukkan dukungan mereka kepada tim kebanggaannya. Meski saat itu banyak hujatan dan makian dari pendukung Persebaya sebelah, mereka tetap teguh pendirian.
Ingatan saya akan dualisme Persebaya dan pentingnya merawat sejarah kembali hadir saat saya datang ke acara Mahakarya Bonek Campus #4. Bonek Campus mengundang pelatih Persebaya saat juara 2004, Jacksen F Tiago dan dua pemain skuad 2004, Uston Nawawi dan Chairil “Pace” Anwar. Acara yang diadakan di Kayoon Heritage, Minggu (18/11) ini memang mengusung tema “Spirit 2004”.
Dua pemain Persebaya saat ini, Atta Ballah dan Riswan Lauhin, juga dihadirkan. Tema yang diangkat Bonek Campus bukan tanpa alasan. Prestasi Persebaya musim ini kurang bagus. Meski di laga terakhir menorehkan sejarah dengan mengalahkan Arema FC di Kanjuruhan, Persebaya masih berada di papan tengah. Target 3 besar yang dicanangkan manajemen tampaknya susah diwujudkan. “Spirit 2004” memberikan pesan agar semangat juara tertanam di dada skuad Persebaya sekarang.
Acara yang berisi talkshow, pameran dokumentasi perjalanan Persebaya juara 2004, dan pertunjukan musik ini cukup ramai dihadiri Bonek. Mereka antusias mengikuti acara demi acara. Tak hanya Bonek lawas, Bonek muda pun datang ke acara yang lebih banyak membahas sejarah Persebaya itu.
Kehadiran Bonek di acara-acara seperti ini patut diapresiasi. Bonek telah sadar pentingnya merawat sejarah Persebaya. Merawat sejarah sangat penting karena bisa memperkuat akar Persebaya. Semakin kuat akar, Persebaya akan tetap berdiri kokoh meski ada banyak masalah menghadang.
Klub adalah representasi para pendukungnya. Setiap klub memiliki karakteristik tertentu yang mewakili suporternya. Bisa dikatakan, klub adalah cermin pendukungnya. Seperti Persebaya yang mengusung karakter kota Surabaya yang Wani dan Ngeyel, jati diri itulah yang selalu diperjuangkan Bonek. Sejarah selalu mengingatkan pentingnya menjaga karakter-karakter itu karena membawa memori Persebaya dari jaman ke jaman.
Persebaya yang lahir sejak 1927 mengusung karakter Surabaya yang selalu konsisten dijalankan stakeholder Persebaya dari tahun ke tahun. Penelitian-penelitian sejarah tentang Persebaya di masa lalu menjadi pelajaran generasi sekarang agar mereka terus memperjuangkan semangat para pendahulunya.
Sejarah juga bisa menjadi refleksi jika di masa mendatang terjadi konflik yang mengancam eksistensi Persebaya. Kita juga bisa belajar untuk tidak mengulangi kesalahan di masa lalu. Karena sejarah akan terus berulang sehingga kita dituntut tetap waspada. Dengan melek sejarah Persebaya, Bonek akan selalu membawa semangat timnya dan tak akan mudah tergoda untuk berpaling.
Di sinilah pentingnya sejarah karena mampu menghubungkan generasi sekarang dengan generasi pendahulu.
Acara-acara seperti ini harus selalu digelar di masa-masa mendatang. Agar Bonek tidak putus hubungan dan konsisten memperjuangkan apa yang diperjuangkan para pendahulunya. Saya yakin, Bonek akan amanah dalam memperjuangkan Persebaya hingga kapan pun. Dan itu sangat membanggakan.
Jika bukan Bonek, siapa yang akan merawat sejarah Persebaya? (*)
-
Catatan Penulis2 years ago
Terima Kasih AZA!
-
Catatan Penulis2 years ago
Saya Bertanya kepada Bonek tentang Arti Kemenangan Persebaya Atas Arema
-
In Memoriam Legend2 years ago
PSIM, Eri Irianto, dan Duka Persebaya
-
Statistik2 years ago
Bedah Strategi Pergantian Pemain Coach Aji Berdasarkan Data
-
Catatan Penulis2 years ago
Patah Hati Melihat Bonek dan Persebaya
-
Catatan Penulis2 years ago
Mengapa Azrul Mundur, Sebuah Perspektif
-
Musim4 years ago
Dualisme Persebaya, Era Kegelapan Dalam Sejarah Persebaya
-
Statistik2 years ago
Sho Me Your Guts!