Connect with us

Catatan Penulis

Seni Jalanan adalah Senjata (3)

Published

on

Setelah terhenti karena ada parade tujuh gol Liverpool ke gawang Crystal Palace, maka yuk kita ngobrol lagi tentang seni jalanan.

Tulisan saya yang kedua adalah tentang karakteristik media yang sering muncul dalam seni jalanan. Meski demikian, seni jalanan sebagaimana karya seni lainnya pasti akan mengalami fase perubahan maupun pergeseran. Bagian ketiga ini, kita akan mencoba melihat apa pergeseran yang terjadi dalam seni jalanan? Tulisan ini meski lebih filosofis saya akan coba menyederhanakannya agar bisa dipakai sebagai “bahan bakar” untuk kalian-kalian yang setia di jalan seni jalanan.

Seperti dalam tulisan kedua, salah satu kelompok yang sering memanfaatkan seni jalanan adalah suporter sepak bola. Contohnya tentu saja fans Liverpool di kota Liverpool atau Bonek di kota Surabaya. Pernahkah terpikirkan mengapa supporter sepak bola sering menggunakan media ini? Apakah hanya untuk meluapkan eforia mengenai klub kebanggaan? Ataukah sebenarnya ada hal lain yang ingin disampaikan yang memiliki makna tersembunyi di balik suatu karya seni jalanan? Ini juga yang akan kita bahas terkait strategi dalam seni jalanan.

Mural di kota Liverpool (kiri) dan mural karya BIMS di Surabaya (kanan). Liverpool dan Surabaya adalah “sister city” yang memiliki kemiripan di segala sisi, termasuk budaya sepak bola. Sumber foto kiri: internet. Sumber foto kanan: dokumentasi pribadi.

Sebelum ke strategi itu, maka mari kita bicarakan tentang apa yang berubah dan mengalami pergeseran jika kita bicara seni jalanan kiwari. Kiwari ki artine “terkini; sekarang”, Rek. Ben rada nggaya sithik! Sekalian kita bicarakan tentang spiritnya seni jalanan itu sebenarnya apa? Apa yang ingin dinyatakan oleh para street artist itu?

Pernah ndak kalian tukaran dan eyel-eyelan tentang istilah saat melihat suatu karya seni jalanan? Tipis-tipis seperti artikel kedua kemarin. “Kok graffiti? Itu kan ada gambarnya? Berarti ini namanya mural, Blok!”. Lalu pantun berbalas pantun. “Ini namanya graffiti, soale nggawene nganggo Pylox!”. Begitulah awal persahabatan antar insan sesama jenis kelamin yang diambang kehancuran.

Jadi, kini ada kecenderungan kita tidak bisa secara tegas bilang ini graffiti atau itu mural. Dua media itu memang dominan dipakai dalam seni jalanan. Jadi wajar jika kita menyebutkan dua media itu saja. Media yang lain sangat jelas perbedaannya sehingga jarang menimbulkan pertengkaran di status WA.

Seniman jalanan ki yo mblenger lek nggawene ngono-ngono terus. Makanya ada seni jalanan yang kini mulai menggabungkan banyak unsur. Dibilang graffiti kok ndak cuman tulisan tapi kok ya ada gambarnya? Dibilang seni instalasi kok ada muralnya? Dibilang mural kok tulisannya besar-besar tapi ada gambarnya? dan segala jenis keruwetan yang tidak sengaja dibuat oleh seniman itu sendiri. Seni itu sederhana, yang bikin ruwet itu dosen seni rupa hahahahaha…

Pernah ada suatu gelaran pameran seni jalanan. Banyak yang bingung dan mempertanyakan. “Katanya pameran seni jalanan? Kok ndak di jalanan?”, kata seorang pengunjung pameran yang kedinginan di ruang galeri ber-AC, malam itu.  Ada juga seorang seniman jalanan yang ikut pameran dengan memamerkan karyanya berupa graffiti yang dianimasikan. Karyanya diproyeksikan ke dinding besar di dalam galeri itu. Jika kamu tahu 3D video mapping, nah seperti itulah karyanya. Tentu saja tak ada belepotan cat maupun bau menyengat khas aerosol di dalam ruangan berukuran 4 meter x 4 meter dan tinggi sekitar 4,5 meter itu. “Ini karya apa sih? Mau dibilang graffiti tapi kok animasi?”, Tanya seorang pengunjung yang lain.

Lur, pergeseran-pergeseran itulah yang disebut sebagai post-graffiti. Jadi daripada pusing melihat pembedaan-pembedaan yang makin tipis saja antar seni jalanan, paling gampang jika ditanya ya bilang saja: “Oh, kalo itu namanya post-graffiti, Say!”. Dia pasti akan lebih terkesima dan bangga jalan bareng kamu.

Bentuk media itu kini marak sekali dalam dunia seni jalanan. Jalanan akhirnya bukan lagi bicara tentang “ruang publik” yang kerap bikin hubungan panas dingin dengan pemerintah kota. Jalanan juga bukan lagi bicara tentang territorial, karena beberapa karakter post-graffiti memungkinkan karya yang sama dipindah ke ruang publik yang lain dalam waktu cepat. Seni jalanan pun juga bukan dominasi cat tembok atau cat aerosol. Seni jalanan dalam post-graffiti sangat terbuka dalam melibatkan teknologi.

Nah, jika agak filosofis sedikit, maka apa yang ada dalam post-graffiti merupakan bentuk negosiasi atas palsunya ruang publik. Apa maksudnya?

Begini.

Ruang publik seringkali diidentifikasikan sebagai ruang terbuka yang tidak di”kuasai” oleh siapapun. Semua boleh merespon apa yang dinamakan ruang publik.

Ada seorang filsuf namanya Jurgen Habermas. Dia orang Jerman. Tahu Jurgen Klopp, kan? Nah, Klopp itu manajer Liverpool yang baru saja diberi penghargaan sebagai The Best FIFA Men’s Coach 2020. Jadi Jurgen Habermas itu bukan saudaranya Jurgen Klopp. Habermas bilang, bahwa ruang publik itu suatu ruang yang diperlukan dalam demokrasi. Menurutnya, ruang publik adalah ruang yang mandiri, bebas dari kekuasaan, serta bersifat setara. Yakin?

Seandainya ruang publik memiliki karakter demokratis seperti itu, maka kenapa ada “pembuangan” anak-anak seni jalanan yang tertangkap Satpol PP ke Liponsos tahun 2012 yang lalu? Atau kenapa ada pemutihan mural Gate17 di Jl. Embong Malang dan Jl. Rajawali? Yang terbaru, kenapa ada “perusakan” graffiti Bonek di Gunung Sari?

Foto yang tersebar di grup WA Bonek Writer Forum.

Nah, oleh orang-orang kritis semacam Ranciere (sopo maneh iki?), retorika ruang publik-nya Habermas tersebut dianggap palsu. Ndak sesuai kenyataan di lapangan.

Makanya kemudian Ranciere menawarkan konsep yang disebutnya sebagai “an-arche”. An-arche ini kurang lebih seperti sikap “sepakat untuk tidak sepakat” atau “memilih untuk tidak memilih”, begitulah. Disagreement, begitu Ranciere menyebutnya pula. Oh, iya Ranciere itu filsuf yang berasal dari Prancis. Negara sepak bola-nya Diego Maradona. Ho’oh!

Pandangan Ranciere ini melandasi pada perjuangan atau perlawanan bagi orang-orang yang tak dianggap. Kayak kamu di depan mata cewek yang kamu taksir, gitu. Ndak dianggap. “Orang-orang yang tak dianggap” atau mereka yang tak ikut dihitung (kayak kamu!) dianggap nggak penting bagi kekuasaan yang dominan.

Jadi lur, politik itu sebenarnya ada di sekitar kita sendiri. Bahkan kita sendiri berpolitik. Kalo partai-partai politik itu namanya politik praktis. Beda dengan politik yang saya maksud. Tapi sekumpulan ide, cara kita mikir, dan konsep-konsep yang kita pegang teguh itulah namanya politik. Nah, bagi Ranciere, politik itu seharusnya juga mengikutsertakan mereka yang tak dianggap atau tak dihitung itu. Intinya, kamu punya peluang sebelum janur kuning melengkung buat menikung di belokan, lur! Yakin!

Ranciere bilang inilah yang disebut sebagai anarki (asal katanya ya an-arche itu tadi). Jadi fix ya Rek, anarki itu bukan perusakan. Bukan kriminalitas. Anarki itu cara berpikir yang berbeda. Jadi jika kamu menulis sesuatu, please, jangan pernah menulis lagi “anarki” atau “anarkistis” untuk maksud mengenai tindak kriminal merusak fasilitas kota. Dampak pemikiran yang berbeda memang dahsyat. Kamu yang tak sepaham mungkin akan berpikir: orang aneh; arek rame ae!; rewel!. Karena maksud mereka adalah untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan. Sederhananya maksud “anarki” itu ya gitu itu. Btw, Ranciere itulah yang kemudian disebut sebagai salah satu filsuf anarkisme.

Ujung dari pemikiran Ranciere itu sebenarnya menuju pada kesetaraan dan emansipasi. Jadi, seni jalanan akan terus ada sebagai usaha dalam mewujudkan kesetaraan itu. Jika di jalan pengadilan kita seakan-akan terus coba “dikalahkan”, maka tak ada pilihan lain, kecuali melawan di jalan seni jalanan! Nah itulah spirit seni jalanan.

————

Sumber foto: internet.

Ingat lagunya Iwan Fals berjudul “Coretan Dinding” yang diciptakan pada tahun 1992? Jika belum tahu putar lagu itu di Youtube. Dengarkan liriknya:

Coretan di dinding membuat resah / Resah hati pencoret /… / Tapi lebih resah pembaca coretannya / Sebab coretan di dinding / Adalah pemberontakan kucing hitam / Yang terpojok ditiap tempat sampah, ditiap kota / … / Musuhnya adalah penindas / …

 Mungkin secara kebetulan, Iwan Fals ingin menohok lagu “Tangan-Tangan Setan” (1985) ciptaan Ian Antono dan dinyanyikan lady rocker, Nicky Astria. Bandingkan lirik lagunya:

Tangan-tangan setan telah mulai menuliskan kata asal jadi / di setiap dinding dan di jalanan / menghilangkan keindahan wajah kota / jadi ternoda penuh coret-coretan tangan setan / … / ayo pelihara kotamu / hentikanlah tangan setanmu / …

Bagaimana? beda banget ya? Mungkin, Iwan Fals mewakili mereka yang nggak dianggap sehingga bersuara lewat grafiti, sementara Nicky Astria mewakili golongan mapan yang nyaman dengan keadaan. Lagian aneh ya tumben-tumbennya rocker jiwanya nganu…ah sudahlah!

Pantun berbalas pantun. Lagu dibalas lagu. Jika tidak terima dengan pemikiran orang lain ya balaslah dengan caranya. Itu kira-kira yang dilakukan Iwan Fals pada Ian Antono hehehe…Jadi jika aparatus ideologi negara tidak suka dengan grafitinya Bonek ya bikinlah grafiti juga di tempat yang sama. Asik kayaknya, kan? Lebih demokratis.

Dalam pandangan kekuasaan, kata “indah”, “bagus”, “menarik”, “potensial”, “estetika kota”, dan lain-lain ada dalam kamus mereka. Jadi, itulah kenapa setiap kali ada orang yang bikin mural selalu ada pertanyaan: “sudah ada ijinnya, belum?” atau pernyataan: “gambarmu merusak estetika kota, mbak!”. Nah, bentuk pertanyaan dan pernyataan itulah yang disebut sebagai konsensus. Seakan-akan estetika dan keindahan itu yang boleh membicarakan adalah mereka yang berkuasa. Arek-arek nggedibal kayak kita seolah-olah ndak punya hak bicara seperti itu. Bagi mereka, biarlah yang berkuasa yang menentukan aturan main, kita hanyalah diminta nggambar saja sesuai aturan main itu.

Itulah yang menjadi “perlawanan” bagi Ranciere. Bentuk relasi seperti itu dianggap tidak setara. Jadi jika ditanya apakah spirit seni jalanan itu? Ya, kesetaraan! Egaliter! Perlawanan menjadi jalan. Perlawanan itu tidak harus antem-anteman, kan? Mereka punya konsensus (tatanan), kita punya disensus (yang tidak harus sesuai kesepakatan berdasarkan tatanan).

Makanya, saya juga sering ditanya begini: “Jadi, harusnya minta ijin ataukah tidak, untuk bikin mural?”. Saya sering menjawab demikian: “ Jika pengen nggarapnya ndak ndredeg dan kayak dikejar setan ya berijinlah, toh pesan yang ingin disampaikan sama-sama nyampainya ke orang yang lihat kan? Itu bentuk negosiasi. Gak usah mikir keren atau ndak keren jika meminta ijin. Toh sama saja kok. Tapi jika kamu ndak ingin ribet-ribet dengan aturan dan stempel sana-sini, ya ndak usah pakai ijin. Toh jika pun ketahuan dan disuruh memutihkan lagi ya sudah, putihkan lagi saja. Nanti baru cari strategi lagi buat bikin tanpa harus minta ijin. Gitu saja!”.

Yang bergetar mendengar saya bicara begitu biasanya mereka lapar. Tapi tak jarang ada juga yang nyambung bilang begini: “Ah, capek, kak! Iya kalo diijinin! Kalo ndak diijinin, gimana?”. Jawab saya biasanya kembali ke jawaban di awal. Gitu terus. Mbulet. Nah daripada pertanyaan itu-itu lagi hingga saya menua menunggu Timnas Indonesia masuk Piala Dunia, saya akhirnya menjawab: “Yo wis…turuo! hehehe…”. (habis)

Minggu yang ceria | 20/12/2020 | 17.30

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Catatan Penulis

Masih Ada PR yang Belum Tuntas, Saatnya Bonek Bentuk Presidium?

Published

on

Bonek bukan sebuah organisasi yang memiliki struktur yang solid. Padahal, Bonek punya banyak tantangan yang mesti dihadapi. Kelompok suporter Persebaya ini seringkali kedodoran dalam menyelesaikan permasalahan. Hingga saat ini, masih ada beberapa pekerjaan rumah yang belum tuntas yang mesti diselesaikan Bonek.

Sebut saja masalah Boling (Bondho Maling). Kehadiran gerombolan yang memakai atribut Persebaya di setiap laga-laga Green Force ini sering berdampak negatif. Aksi-aksi kriminalitas yang mereka lakukan membuat Persebaya kesulitan berlaga terutama di laga away. Eksesnya langsung dirasakan Bonek. Mereka kerap dilarang mendampingi Persebaya berlaga.

Aparat acapkali kesulitan membedakan antara Bonek dan Boling. Mereka menganggap Boling adalah suporter Persebaya. Celakanya, Bonek juga tidak punya mekanisme khusus untuk memisahkan Boling dengan Bonek. Hingga saat ini, menjadi Bonek bukan sesuatu yang sulit. Hanya berbekal atribut Persebaya, semua bisa jadi Bonek.

Kelompok suporter lain yang memiliki badan hukum punya mekanisme yang bisa memisahkan antara anggotanya dengan non anggota. Ada kartu anggota yang mesti dimiliki setiap anggota resmi. Data diri anggota juga tercatat di database organisasi.

Bagaimana dengan Bonek?

Bonek dibentuk dengan kesadaran kolektif warga Surabaya untuk mendukung Persebaya. Dukungan ini pada akhirnya meluas tidak hanya datang dari warga Surabaya. Persebaya yang beberapa kali merajai kompetisi era Perserikatan dianggap mewakili Jawa Timur. Banyak suporter berasal dari daerah-daerah lain di Jawa Timur.

Bonek tidak terikat dalam sebuah organisasi. Sifat massanya cair dengan slogan No Leader Just Together. Slogan ini terlihat sangat egaliter. Sayangnya, banyak masalah yang tak tertangani dengan baik. Dalam kasus Boling, setiap ekses negatif yang dilakukan orang-orang beratribut Persebaya seringkali dimaklumi. Tak heran jika masalah Boling selalu muncul dari musim ke musim.

Namun, gelora perlawanan di kalangan Bonek terus bermunculan. Suara-suara menentang eksistensi Boling kerap mencuat di linimasa media sosial. Sayangnya, suara-suara itu biasanya hanya berhenti di sana.

Bonek tidak punya mekanisme cepat yang diamini mayoritas Bonek dalam menyikapi sebuah permasalahan. Mekanisme itu biasanya diserahkan ke masing-masing tribun Bonek (Tribun Kidul, Tribun Timur, Green Nord, dan Gate 21). Namun, sikap masing-masing tribun terkadang berbeda. Masalah lain, suara mereka tidak bisa dianggap sebagai representasi Bonek.

Jaman yang Selalu Menghadirkan Tantangan Baru

Setiap jaman punya tantangan sendiri-sendiri. Masalah-masalah yang dihadapi Bonek semakin kompleks. Gerakan perlawanan di setiap jaman membutuhkan strategi yang berbeda. Saat Persebaya dimatisurikan federasi, gerakan perlawanan dengan slogan No Leader Just Together tentu masih relevan. Namun, apakah strategi gerakan perlawanan itu masih efektif saat ini?

Bonek membutuhkan mekanisme organisasi agar setiap keputusan bisa merepresentasikan suara mayoritas Bonek. Meski begitu, Bonek tak harus membuat sebuah organisasi berbadan hukum.

Saya mengusulkan pembentukan Presidium Bonek.

Secara de facto, empat tribun dianggap mewakili suara Bonek. Manajemen Persebaya juga mengakui keberadaan mereka. Komunitas-komunitas Bonek banyak yang mengasosiasikan diri dengan tribun pilihannya. Anggota komunitas biasanya menempati tribun Stadion GBT di mana komunitasnya mengasosiasikannya.

Empat tribun sebaiknya mulai memikirkan pembentukan Presidium Bonek. Presidium bertugas menjalankan roda organisasi dalam jangka waktu tertentu. Pengurus presidium termasuk ketuanya dipilih oleh empat tribun ditambah Bonek non tribun seperti Bonek luar kota atau Bonek liar yang tidak terafiliasi dengan tribun. Mekanisme Bonek non tribun bisa diatur kemudian.

Ketua presidium bisa dijabat secara bergiliran. Ketua dan pengurus presidium tidak memiliki kekuatan absolut. Kekuasaan tertinggi ada di tangan empat tribun dan Bonek non tribun. Jika sudah terpilih, ketua presidium dan pengurusnya bisa menjalankan roda organisasi sesuai visi dan misi yang disepakati empat tribun dan Bonek non tribun.

Presidium Bonek harus memiliki program kerja. Salah satu yang saya usulkan adalah pembentukan koperasi yang berbadan hukum. Anggota koperasi adalah semua Bonek. Sementara pengurus koperasi bisa diambil dari profesional. Tugas pokok Koperasi Bonek adalah menyejahterakan anggotanya. Hasil dari koperasi nantinya juga digunakan untuk memutar roda organisasi Presidium Bonek.

Presidium Bonek juga harus memastikan agar suaranya didengar manajemen Persebaya. Organisasi ini juga harus aktif berjuang saat Persebaya dirugikan federasi. Tugas lain presidium adalah membina hubungan dengan kelompok suporter lain.

***

Usulan pembentukan Presidium Bonek terlihat sederhana. Namun dibutuhkan kelegowoan masing-masing tribun dan mayoritas Bonek untuk menyerahkan mandat kepada presidium. Tentu saja empat tribun dan Bonek non tribun masih punya kekuasaan untuk mengawasi presidium. Namun yang perlu diingat adalah suara presidium adalah representasi suara mayoritas Bonek sejak presidium dibentuk.

Presidium Bonek memang bukan satu-satunya cara untuk menyelesaikan tantangan jaman. Namun, usulan pembentukan presidium menarik untuk dikaji. Tantangan ke depan yang semakin kompleks membutuhkan langkah luar biasa. Bonek membutuhkan mekanisme dalam menyelesaikan semua pekerjaan rumahnya dengan elegan. Bonek harus mulai bergerak secara terstruktur dan sistematis.

Bagi saya, Presidium Bonek adalah jawaban terbaik untuk saat ini. (*)

Continue Reading

Catatan Penulis

Patah Hati Melihat Liga Indonesia

Published

on

Liga Indonesia sejatinya memiliki potensi menjadi liga terhebat di Asia bahkan dunia. Indonesia memiliki 275 juta penduduk yang menjadikan sepakbola olahraga nomor 1. Jutaan suporter fanatik yang rela mendukung timnya dengan segenap hati. Ribuan klub bola di seantero negeri. Ratusan perusahaan dan investor yang siap menggelontorkan dana. 

Sayang, potensi itu lenyap karena PSSI tidak becus mengelola liga. Liga Indonesia gagal menjadi liga yang layak tonton bagi keluarga-keluarga di Indonesia. Banyak laga yang jauh dari kata sportivitas. Belum lagi keributan-keributan di luar lapangan yang membuat siapa saja muak membahas liga PSSI.

Mengapa bisa begitu? Jawabannya karena keserakahan, kerakusan, rasa tidak tahu malu yang dimiliki mayoritas pengurus PSSI.

Kita mulai dari jabatan Ketua Umum PSSI.

Sudah menjadi rahasia umum jika jabatan orang nomor 1 di federasi ini adalah jabatan seksi. Banyak figur yang tertarik menduduki singgasana PSSI 1. Bukan untuk memajukan sepakbola tanah air. Namun sebagai batu loncatan menduduki jabatan-jabatan publik hingga tujuan-tujuan pribadi atau golongan.

Eddy Rahmayadi sukses menjadi Gubernur Sumatera Utara saat masih menjabat Ketum PSSI. Iwan Bule, Ketum PSSI sekarang, getol membuat baliho kampanye Gubernur Jawa Barat. Hingga usia 92 tahun, Ketum-Ketum PSSI terpilih seperti tidak mengerti sepakbola. Dan lebih aneh lagi, para pemilik suara PSSI terus memilih orang-orang yang tidak kompeten menduduki singgasana orang nomor 1 federasi dan para pengurusnya.

Namun jika kita menilik komposisi pemilik suara, kepentingan PSSI lebih terakomodasi ketimbang kepentingan pemilik klub. Pada kongres tahunan PSSI 2019, terdapat 85 anggota PSSI yang menjandi pemilik suara. Dari jumlah itu, 40 persen atau 34 suara dikuasai Asprov PSSI daerah. Sisanya 18 klub Liga 1, 6 klub Liga 2, 16 klub Liga 3, dan 1 Asosiasi Futsal.

Jika Asprov adalah kepanjangan tangan PSSI, butuh tambahan suara 10 persen + 1 agar status quo bisa tetap menang. Dalam statuta PSSI juga ditetapkan aturan yang bisa menghalangi orang-orang dengan kompetensi tinggi untuk menjadi pengurus.

Di Kongres Pemilihan PSSI 2019-2024, calon ketum harus punya riwayat aktif mengurus sepak bola di lingkungan PSSI alias bukan sekadar aktif di kegiatan sepak bola.

Sistem ini tentu saja melanggengkan posisi orang-orang lama di PSSI. Tak heran, dari periode ke periode, wajah-wajah PSSI selalu dipenuhi muka-muka lama. Meski prestasi sepakbola Indonesia di kancah internasional buruk, para pengurusnya dengan tanpa malu tak mau mengundurkan diri.

Dengan tetap bercokolnya muka-muka lama, tak banyak perubahan hadir di sepakbola kita. Liga Indonesia dari musim ke musim kualitasnya semakin menukik tajam. Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang adalah bom waktu yang meledak akibat bobroknya liga.

Mirisnya, tragedi yang seharusnya menjadi momen mereformasi sepakbola hanya dianggap business as usual. Mungkin juga karena peristiwa tewasnya suporter di stadion bukanlah yang pertama. Menurut data Save Our Soccer (SOS), sebelum Tragedi Kanjuruhan, 78 suporter tewas baik di stadion maupun luar stadion selama Liga Indonesia berlangsung. Tragedi kematian suporter sudah dianggap peristiwa lumrah. Saking biasanya, PSSI seperti kehilangan akal untuk menghentikannya.

Liga 1  Bergulir di Tengah Skeptisme Publik

Di tengah skeptisme publik akan adanya perubahan sepakbola di negeri ini, Liga 1 kembali bergulir. Tuntutan suporter untuk menghentikan sementara liga hingga ada perubahan dalam sepakbola ternyata tidak diindahkan.

Seperti layaknya template, insiden-insiden yang melibatkan wasit kembali terlihat di laga-laga Liga 1. Banyak keputusan wasit yang kontroversial yang menguntungkan atau merugikan beberapa klub. Hal ini memicu suporter saling menyalahkan dan akhirnya menjadi bahan bakar untuk “berkelahi” di medsos.

Persebaya beberapa kali dirugikan dengan keputusan wasit. Saya juga melihat klub-klub lain juga ada yang dirugikan. Di Liga Indonesia, klub apapun bisa jadi korban keputusan buruk wasit. Dan seperti biasa, PSSI tidak bisa berbuat banyak mengatasi permasalahan yang sudah seperti kanker ini.

Kondisi yang telah bertahun-tahun tak pernah berubah ini membuat saya menjadi patah hati melihat Liga Indonesia. Jika sebelumnya saya menulis Patah Hati Melihat Bonek dan Persebaya, kini saya menulis hal yang sama tentang Liga Indonesia. Saya tak lagi bergairah menyaksikannya. Rasanya, dukungan yang saya berikan untuk liga ini tak ada manfaatnya. Tak ada kegembiraan seperti yang saya rasakan saat saya masih menaruh harapan agar liga kita menjadi lebih baik. Kini harapan itu sudah saya buang jauh-jauh.

Meski Persebaya masih berkompetisi, saya tak punya semangat lagi menontonnya. Saya masih tetap sedih saat Persebaya kalah, namun kesedihan itu tidak berlarut-larut. Di liga yang tak lagi menjunjung tinggi sportivitas, kemenangan atau kekalahan tak lagi ada artinya.

Para petinggi PSSI yang telah terbukti gagal membawa prestasi juga tak pernah mengeluarkan pernyataan untuk mundur. Mereka malah sudah ancang-ancang menjabat lagi di kongres PSSI yang digelar tahun depan.

Sikap pesimis akan berubahnya Liga Indonesia membuat saya apatis dan antipati. Melihat potensi yang diabaikan segelintir orang-orang yang memanfaatkan liga ini untuk kepentingan pribadinya membuat saya muak.

Kapan Liga Indonesia bisa memberikan kegembiraan dan kebahagiaan kepada para suporter? Kapan sportivitas yang menjadi roh kompetisi dijunjung tinggi? Kapan PSSI menjadi federasi yang waras?

Rasanya pertanyaan-pertanyaan ini mustahil ada jawabannya. (*)

Continue Reading

Catatan Penulis

Pentingnya Merawat Sejarah Persebaya, Agar Bonek Tidak Mudah Pindah Sebelah

Published

on

Apa pentingnya sejarah? Banyak yang bilang pelajaran sejarah itu membosankan. Beberapa lirik lagu menyiratkan jika kita sebaiknya melupakan masa lalu.

“Yang lalu biarlah berlalu.”

Sepotong lirik lagu “Lamunan” milik Andromeda ini menyiratkan peristiwa di masa lalu tidak penting untuk dibahas. Namun bagi saya, peristiwa di masa lalu yang seringkali disebut sejarah itu sangat penting untuk dibicarakan.

Saya baru mengerti pentingnya sejarah setelah masalah dualisme Persebaya terselesaikan dengan baik. Persebaya yang sempat mati suri kembali dibangkitkan dan mengikuti kompetisi resmi di bawah PSSI.

Dan pahlawan yang membuat Persebaya berdiri kokoh adalah Bonek.

Namun, membangkitkan Persebaya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Bonek sempat terpecah antara mendukung Persebaya asli yang sarat masalah atau Persebaya sebelah yang penuh bintang.

Pada akhirnya, suara mayoritas Bonek tetap keukeuh mendukung Persebaya yang asli. Lem perekat yang membuat Bonek mantap memilih Persebaya yang bermarkas di Karanggayam adalah sejarah yang mesti dirawat.

Perlawanan atas ketidakadilan tidak harus memakai senjata, namun bisa dengan kata-kata. Dan bisa kita lihat saat Persebaya dalam periode mati suri, banyak Bonek menuliskan curahan hatinya di akun-akun Facebook pribadinya. Banyak Bonek yang menulis tentang sejarah Persebaya. Tulisan-tulisan itu menunjukkan dukungan mereka kepada tim kebanggaannya. Meski saat itu banyak hujatan dan makian dari pendukung Persebaya sebelah, mereka tetap teguh pendirian.

Ingatan saya akan dualisme Persebaya dan pentingnya merawat sejarah kembali hadir saat saya datang ke acara Mahakarya Bonek Campus #4. Bonek Campus mengundang pelatih Persebaya saat juara 2004, Jacksen F Tiago dan dua pemain skuad 2004, Uston Nawawi dan Chairil “Pace” Anwar. Acara yang diadakan di Kayoon Heritage, Minggu (18/11) ini memang mengusung tema “Spirit 2004”.

Riswan Lauhin dan Atta Ballah mengamati kliping perjalanan Persebaya saat juara 2004.

Dua pemain Persebaya saat ini, Atta Ballah dan Riswan Lauhin, juga dihadirkan. Tema yang diangkat Bonek Campus bukan tanpa alasan. Prestasi Persebaya musim ini kurang bagus. Meski di laga terakhir menorehkan sejarah dengan mengalahkan Arema FC di Kanjuruhan, Persebaya masih berada di papan tengah. Target 3 besar yang dicanangkan manajemen tampaknya susah diwujudkan. “Spirit 2004” memberikan pesan agar semangat juara tertanam di dada skuad Persebaya sekarang.

Acara yang berisi talkshow, pameran dokumentasi perjalanan Persebaya juara 2004, dan pertunjukan musik ini cukup ramai dihadiri Bonek. Mereka antusias mengikuti acara demi acara. Tak hanya Bonek lawas, Bonek muda pun datang ke acara yang lebih banyak membahas sejarah Persebaya itu.

Lewat acara-acara yang mengulas sejarah terjadi transfer pengetahuan sejarah.

Kehadiran Bonek di acara-acara seperti ini patut diapresiasi. Bonek telah sadar pentingnya merawat sejarah Persebaya. Merawat sejarah sangat penting karena bisa memperkuat akar Persebaya. Semakin kuat akar, Persebaya akan tetap berdiri kokoh meski ada banyak masalah menghadang.

Klub adalah representasi para pendukungnya. Setiap klub memiliki karakteristik tertentu yang mewakili suporternya. Bisa dikatakan, klub adalah cermin pendukungnya. Seperti Persebaya yang mengusung karakter kota Surabaya yang Wani dan Ngeyel, jati diri itulah yang selalu diperjuangkan Bonek. Sejarah selalu mengingatkan pentingnya menjaga karakter-karakter itu karena membawa memori Persebaya dari jaman ke jaman.

Persebaya yang lahir sejak 1927 mengusung karakter Surabaya yang selalu konsisten dijalankan stakeholder Persebaya dari tahun ke tahun. Penelitian-penelitian sejarah tentang Persebaya di masa lalu menjadi pelajaran generasi sekarang agar mereka terus memperjuangkan semangat para pendahulunya.

Jacksen F Tiago dan Uston Nawawi.

Sejarah juga bisa menjadi refleksi jika di masa mendatang terjadi konflik yang mengancam eksistensi Persebaya. Kita juga bisa belajar untuk tidak mengulangi kesalahan di masa lalu. Karena sejarah akan terus berulang sehingga kita dituntut tetap waspada. Dengan melek sejarah Persebaya, Bonek akan selalu membawa semangat timnya dan tak akan mudah tergoda untuk berpaling.

Di sinilah pentingnya sejarah karena mampu menghubungkan generasi sekarang dengan generasi pendahulu.

Acara-acara seperti ini harus selalu digelar di masa-masa mendatang. Agar Bonek tidak putus hubungan dan konsisten memperjuangkan apa yang diperjuangkan para pendahulunya. Saya yakin, Bonek akan amanah dalam memperjuangkan Persebaya hingga kapan pun. Dan itu sangat membanggakan.

Jika bukan Bonek, siapa yang akan merawat sejarah Persebaya? (*)

Continue Reading

Trending