Connect with us

Catatan Penulis

Seni Jalanan adalah Senjata (2)

Published

on

Masih ingat kan dengan aksi Bonek saat secara serentak memasang spanduk dan baliho di jalan-jalan kota Surabaya? Aksi yang terjadi di sepanjang tahun 2016 hingga PSSI memulihkan status Persebaya 1927 di keanggotaan federasi tersebut. Sejarah suporter sepak bola Indonesia bahkan gerakan sosial mencatat aksi spanduk dan baliho yang dilakukan Bonek ini termassif dalam sekali seruan.

Tak ada yang bertanya dananya dari mana? Bahannya memakai apa? Dan seabreg pertanyaan “ndak penting” terkait perjuangan. Semuanya bergotong-royong dan memodifikasi apapun yang ada untuk dibuat sebagai spanduk. Bayangkan, serentak lho! Surabaya pun semarak dengan spanduk dari yang bernada guyonan hingga yang hujatan kepada PSSI.

Sepanjang Jl. MERR itu tak terhitung lagi berapa spanduk yang dipasang. Pengamatan saya, bahannya pun dari yang seadanya hingga yang bermodal printing. Yang menarik tentu saja bahan yang didapat dari mencopot dari spanduk iklan dan baliknya yang warna putih itu dipakai untuk menuliskan kata-kata. Saya kira inilah salah satu contoh dari spirit seni jalanan yaitu “melawan” dominasi periklanan di jalanan.

Karakteristik Media

Dalam artikel pertama saya menyebutkan jenis-jenis media yang sering dipakai dalam seni jalanan. Tentu saja deskripsi mengenai hal ini juga sudah banyak dituliskan dalam berbagai artikel mengenai seni jalanan. Saya mengambil intinya saja dan mencoba melihatnya dalam perspektif yang lain. Anda bisa mengambil hikmahnya.

Grafiti

Apakah grafiti itu? Silakan browsing Google, sudah banyak penjelasan tentang ini termasuk tutorial buat yang ingin membuatnya.

Saya teringat saat masuk Surabaya di tahun 2000, seperti juga kota-kota lainnya, kota Surabaya dipenuhi grafiti. Jika pada era sebelumnya grafiti erat dengan coretan tentang nama sekolah dan geng, maka di tahun 2000 ke atas, meski bentuk itu masih ada, namun sudah mulai menggeliat grafiti yang biasa kita temui dalam kultur hip-hop. Untuk lebih jelasnya mengenai asal-usul grafiti dan spirit pembentuknya, silakan bisa dibaca di buku “Kultus Underground” (2008) maupun di sebaran artikel di online.

Kini, tentu saja seiring budaya visual yang ujungnya adalah hiburan, grafiti pun mengalami komodifikasi. Ia bukan saja hanya bicara tentang strategi perlawanan maupun membentuk penguat identitas sebagai bahasa yang nyinyir untuk kekuatan dominasi apapun, namun kini sudah pada tahap “penghias”.

Grafiti bukan hanya bisa ditemui di ruang terbuka, namun juga di ruang tertutup. Pemuja Instagram tentu menyerbu pada visual-visual di ruang tertutup ini haha…

Nah, terkait perjuangan Persebaya 1927, strategi melalui grafiti juga pernah dilakukan pada masa gerakan #SavePersebaya. Saat Kongres PSSI dilakukan di Hotel Shangri La Surabaya, banyak tembok menjadi sasaran grafiti sebagai alat penekan pada PSSI.

Mural

Media ini yang sedang populer sekarang. Saya kira Anda sudah begitu familiar melihat kekuatan media ini di dinding. Nah, saya ingin menggarisbawahi saja mengenai mural ini sebenarnya apa.

Mural tentu berbeda dengan grafiti. (Duh, saya sebenarnya benci sekali membuat pembedaan-pembedaan seperti ini). Grafiti “spiritnya” adalah menggores. Jika ditarik lagi, menggores itu identik dengan menulis (word-based). Jadi grafiti dominan pada tulisan. Itulah sebabnya, pembuat grafiti disebut sebagai writers. Di Indonesia sering disebut sebagai bomber, sedangkan aksi meng-grafiti disebut sebagai bombing. Istilah ini merujuk pada karakter grafiti yang tiba-tiba muncul di suatu tempat yang sebelumnya tidak ada, dan tentu saja menimbulkan efek kejut. Booommm!!!

Berbeda dengan mural. Mural identik dengan lukisan dannnnn… Nah, ini yang penting: “mural”, asal mula katanya adalah dari bahasa Latin “murus” yang artinya dinding. Jadi jika menyebut “mural”, maka medianya adalah dinding, entah yang berbahan dasar semen atau kertas, asal berfungsi sebagai penyekat/batas.

Maka menjadi aneh jika misalnya ada pengumuman lomba mural di atas lantai paving. Bahkan saya pernah diminta membuat “mural” di sepatu. Saya berbaik sangka saja, mungkin sepatu yang akan di-“mural” banyak dan akan ditumpuk-tumpuk menjadi dinding. Eh, ternyata yang di-“mural” cuman satu.

Ada juga yang bilang begini: “Wah, kaose dimural, Rek!”. Mungkin maksudnya buat meringkas saja, namun rasane piye ngono.

Mural yang dibuat oleh Gate17. Sumber foto; IG @Gate17

 

Wheat Paste

Ada pula yang menyebutnya sebagai “paste up”. Sama saja. Mirip juga pengerjaannya dengan poster, karena sifatnya memakai lem untuk menempel di tembok. Yang berbeda dengan poster tentu saja kontennya. Wheat paste memakai unsur visual berupa gambar yang sifatnya ikonik. Ada yang menyebutnya sebagai avatar atau yang bersifat “alter-ego”. Dalam literatur yang ditulis oleh Tristan Manco, pengamat dan penulis buku tentang street art, ia menamakannya sebagai: logos. Poster (seperti halnya yang sering kita temui) secara teknis sama dengan wheat paste untuk pemasangan, namun kontennya adalah komunikasi visual (gambar dan teks) yang memiliki pesan secara komunikatif.

Nah, wheat paste ini bentuk seni jalanan yang jarang dipakai di Surabaya, meskipun ada. Tapi tidak banyak ditemui. X-Go dengan Serikat Mural Surabaya-nya pernah dan sering menggunakan wheat paste ini. Mungkin seniman jalanan lain juga ada yang pernah membuat media ini dan saya melewatkannya, maafkan.

Stencil

Media ini sering saya temui di jalanan Surabaya. Tekniknya adalah menggunakan pola yang telah dipersiapkan lebih dulu dengan cara melubangi di kertas tebal sesuai pola/gambarnya, untuk kemudian dengan menggunakan cat aerosol disemprotkan di dinding. Dulu, waktu masa kecil kita sering menyebutnya dengan “ngeblat”. Ada pula yang tidak dengan disemprotkan, tapi dengan teknik ditutul-tutul pakai spon menggunakan cat tembok untuk meninggalkan jejaknya di dinding.

—————-

Itulah media-media yang sering dipakai dalam seni jalanan di samping sticker, dan banyak lagi itu. Banyaknya pilihan dalam media seni jalanan tergantung dari strategi saat di jalanan. Bonek sepanjang yang saya amati sudah banyak menggunakan hampir semua media tersebut. Tentu saja pemilihan media itu terkait dengan dampak yang diinginkan.

Nah, terkait penyebutan “mural” pada media di Jl. Gunung Sari yang sempat dihapus oleh aparatus ideologi negara, maka saya lebih cenderung menyebutnya sebagai “grafiti”. Alasannya, kecenderungan visualitas di media itu lebih banyak memakai tulisan daripada lukisan; atau cara membuatnya adalah dengan prinsip menulis bukan melukis (word-based).

Foto yang beredar di grup WA Bonek Writer Forum.

Biasanya ada pertanyaan: “Kan bikinnya memakai kuas, Kak?”. Begini. Seni jalanan tidak tergantung media perantaranya apa. Apakah memakai kuas, cat semprot, tangan kosong, atau apa. Mural jika digarap dengan prinsip melukis namun memakai cat semprot tetaplah mural.

 Ada juga pertanyaan: “tapi kan tulisannya terbaca jelas, Kak? Masak itu grafiti?”. Pertanyaan ini merujuk pada grafiti yang biasanya tidak terbaca. Teman saya dulu malah bilang: “Kuwi karya opo? Kok kluwer-kluwer?”.

Basquiat, seniman jalanan fenomenal asal Amerika dan imigran asal Prancis, bahkan menuliskan kata yang terbaca. Begitu pula TAKI183 yang hits pada masanya juga terbaca dengan jelas. Atau dulu pernah kan kita bikin tulisan “SMA 7 Lulus 100%”. Jadi terbaca atau tidak, tetaplah “grafiti”. Grafiti awal mulanya memang berkarakter sebagai identifikasi teritorial. Grafiti pula yang sering dipakai oleh geng, penerus kultur hip-hop, dan hooligan.

Lalu pertanyaan penutup biasanya adalah: “Kak, bagaimana jika ada gambar dan tulisan?”. Nah jika seperti itu, bisa kita sebut dengan mural. Contohnya adalah mural yang dibuat oleh CAP12 dan Gate17.

Mural yang dibuat oleh CAP12. Sumber foto: IG @coretanarekpersebaya12

Artikel ini dibuat bukan bermaksud sebagai alat kontrol bahasa atau saya ini seperti terkesan kayak polisi bahasa. Bukan. Itulah sebabnya saya benci membuat pembedaan-pembedaan. Tapi ya gimana lagi. Apalagi ada tambahan istilah: post-graffiti. Nah apa lagi itu?

Tulisan bagian selanjutnya saya akan membahas tentang post-graffiti dan bagaimana seni jalanan dipakai sebagai senjata dalam perubahan sosial. (*)

Sabtu yang rainy | 19/12/2020 | 18.30

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Catatan Penulis

Masih Ada PR yang Belum Tuntas, Saatnya Bonek Bentuk Presidium?

Published

on

Bonek bukan sebuah organisasi yang memiliki struktur yang solid. Padahal, Bonek punya banyak tantangan yang mesti dihadapi. Kelompok suporter Persebaya ini seringkali kedodoran dalam menyelesaikan permasalahan. Hingga saat ini, masih ada beberapa pekerjaan rumah yang belum tuntas yang mesti diselesaikan Bonek.

Sebut saja masalah Boling (Bondho Maling). Kehadiran gerombolan yang memakai atribut Persebaya di setiap laga-laga Green Force ini sering berdampak negatif. Aksi-aksi kriminalitas yang mereka lakukan membuat Persebaya kesulitan berlaga terutama di laga away. Eksesnya langsung dirasakan Bonek. Mereka kerap dilarang mendampingi Persebaya berlaga.

Aparat acapkali kesulitan membedakan antara Bonek dan Boling. Mereka menganggap Boling adalah suporter Persebaya. Celakanya, Bonek juga tidak punya mekanisme khusus untuk memisahkan Boling dengan Bonek. Hingga saat ini, menjadi Bonek bukan sesuatu yang sulit. Hanya berbekal atribut Persebaya, semua bisa jadi Bonek.

Kelompok suporter lain yang memiliki badan hukum punya mekanisme yang bisa memisahkan antara anggotanya dengan non anggota. Ada kartu anggota yang mesti dimiliki setiap anggota resmi. Data diri anggota juga tercatat di database organisasi.

Bagaimana dengan Bonek?

Bonek dibentuk dengan kesadaran kolektif warga Surabaya untuk mendukung Persebaya. Dukungan ini pada akhirnya meluas tidak hanya datang dari warga Surabaya. Persebaya yang beberapa kali merajai kompetisi era Perserikatan dianggap mewakili Jawa Timur. Banyak suporter berasal dari daerah-daerah lain di Jawa Timur.

Bonek tidak terikat dalam sebuah organisasi. Sifat massanya cair dengan slogan No Leader Just Together. Slogan ini terlihat sangat egaliter. Sayangnya, banyak masalah yang tak tertangani dengan baik. Dalam kasus Boling, setiap ekses negatif yang dilakukan orang-orang beratribut Persebaya seringkali dimaklumi. Tak heran jika masalah Boling selalu muncul dari musim ke musim.

Namun, gelora perlawanan di kalangan Bonek terus bermunculan. Suara-suara menentang eksistensi Boling kerap mencuat di linimasa media sosial. Sayangnya, suara-suara itu biasanya hanya berhenti di sana.

Bonek tidak punya mekanisme cepat yang diamini mayoritas Bonek dalam menyikapi sebuah permasalahan. Mekanisme itu biasanya diserahkan ke masing-masing tribun Bonek (Tribun Kidul, Tribun Timur, Green Nord, dan Gate 21). Namun, sikap masing-masing tribun terkadang berbeda. Masalah lain, suara mereka tidak bisa dianggap sebagai representasi Bonek.

Jaman yang Selalu Menghadirkan Tantangan Baru

Setiap jaman punya tantangan sendiri-sendiri. Masalah-masalah yang dihadapi Bonek semakin kompleks. Gerakan perlawanan di setiap jaman membutuhkan strategi yang berbeda. Saat Persebaya dimatisurikan federasi, gerakan perlawanan dengan slogan No Leader Just Together tentu masih relevan. Namun, apakah strategi gerakan perlawanan itu masih efektif saat ini?

Bonek membutuhkan mekanisme organisasi agar setiap keputusan bisa merepresentasikan suara mayoritas Bonek. Meski begitu, Bonek tak harus membuat sebuah organisasi berbadan hukum.

Saya mengusulkan pembentukan Presidium Bonek.

Secara de facto, empat tribun dianggap mewakili suara Bonek. Manajemen Persebaya juga mengakui keberadaan mereka. Komunitas-komunitas Bonek banyak yang mengasosiasikan diri dengan tribun pilihannya. Anggota komunitas biasanya menempati tribun Stadion GBT di mana komunitasnya mengasosiasikannya.

Empat tribun sebaiknya mulai memikirkan pembentukan Presidium Bonek. Presidium bertugas menjalankan roda organisasi dalam jangka waktu tertentu. Pengurus presidium termasuk ketuanya dipilih oleh empat tribun ditambah Bonek non tribun seperti Bonek luar kota atau Bonek liar yang tidak terafiliasi dengan tribun. Mekanisme Bonek non tribun bisa diatur kemudian.

Ketua presidium bisa dijabat secara bergiliran. Ketua dan pengurus presidium tidak memiliki kekuatan absolut. Kekuasaan tertinggi ada di tangan empat tribun dan Bonek non tribun. Jika sudah terpilih, ketua presidium dan pengurusnya bisa menjalankan roda organisasi sesuai visi dan misi yang disepakati empat tribun dan Bonek non tribun.

Presidium Bonek harus memiliki program kerja. Salah satu yang saya usulkan adalah pembentukan koperasi yang berbadan hukum. Anggota koperasi adalah semua Bonek. Sementara pengurus koperasi bisa diambil dari profesional. Tugas pokok Koperasi Bonek adalah menyejahterakan anggotanya. Hasil dari koperasi nantinya juga digunakan untuk memutar roda organisasi Presidium Bonek.

Presidium Bonek juga harus memastikan agar suaranya didengar manajemen Persebaya. Organisasi ini juga harus aktif berjuang saat Persebaya dirugikan federasi. Tugas lain presidium adalah membina hubungan dengan kelompok suporter lain.

***

Usulan pembentukan Presidium Bonek terlihat sederhana. Namun dibutuhkan kelegowoan masing-masing tribun dan mayoritas Bonek untuk menyerahkan mandat kepada presidium. Tentu saja empat tribun dan Bonek non tribun masih punya kekuasaan untuk mengawasi presidium. Namun yang perlu diingat adalah suara presidium adalah representasi suara mayoritas Bonek sejak presidium dibentuk.

Presidium Bonek memang bukan satu-satunya cara untuk menyelesaikan tantangan jaman. Namun, usulan pembentukan presidium menarik untuk dikaji. Tantangan ke depan yang semakin kompleks membutuhkan langkah luar biasa. Bonek membutuhkan mekanisme dalam menyelesaikan semua pekerjaan rumahnya dengan elegan. Bonek harus mulai bergerak secara terstruktur dan sistematis.

Bagi saya, Presidium Bonek adalah jawaban terbaik untuk saat ini. (*)

Continue Reading

Catatan Penulis

Patah Hati Melihat Liga Indonesia

Published

on

Liga Indonesia sejatinya memiliki potensi menjadi liga terhebat di Asia bahkan dunia. Indonesia memiliki 275 juta penduduk yang menjadikan sepakbola olahraga nomor 1. Jutaan suporter fanatik yang rela mendukung timnya dengan segenap hati. Ribuan klub bola di seantero negeri. Ratusan perusahaan dan investor yang siap menggelontorkan dana. 

Sayang, potensi itu lenyap karena PSSI tidak becus mengelola liga. Liga Indonesia gagal menjadi liga yang layak tonton bagi keluarga-keluarga di Indonesia. Banyak laga yang jauh dari kata sportivitas. Belum lagi keributan-keributan di luar lapangan yang membuat siapa saja muak membahas liga PSSI.

Mengapa bisa begitu? Jawabannya karena keserakahan, kerakusan, rasa tidak tahu malu yang dimiliki mayoritas pengurus PSSI.

Kita mulai dari jabatan Ketua Umum PSSI.

Sudah menjadi rahasia umum jika jabatan orang nomor 1 di federasi ini adalah jabatan seksi. Banyak figur yang tertarik menduduki singgasana PSSI 1. Bukan untuk memajukan sepakbola tanah air. Namun sebagai batu loncatan menduduki jabatan-jabatan publik hingga tujuan-tujuan pribadi atau golongan.

Eddy Rahmayadi sukses menjadi Gubernur Sumatera Utara saat masih menjabat Ketum PSSI. Iwan Bule, Ketum PSSI sekarang, getol membuat baliho kampanye Gubernur Jawa Barat. Hingga usia 92 tahun, Ketum-Ketum PSSI terpilih seperti tidak mengerti sepakbola. Dan lebih aneh lagi, para pemilik suara PSSI terus memilih orang-orang yang tidak kompeten menduduki singgasana orang nomor 1 federasi dan para pengurusnya.

Namun jika kita menilik komposisi pemilik suara, kepentingan PSSI lebih terakomodasi ketimbang kepentingan pemilik klub. Pada kongres tahunan PSSI 2019, terdapat 85 anggota PSSI yang menjandi pemilik suara. Dari jumlah itu, 40 persen atau 34 suara dikuasai Asprov PSSI daerah. Sisanya 18 klub Liga 1, 6 klub Liga 2, 16 klub Liga 3, dan 1 Asosiasi Futsal.

Jika Asprov adalah kepanjangan tangan PSSI, butuh tambahan suara 10 persen + 1 agar status quo bisa tetap menang. Dalam statuta PSSI juga ditetapkan aturan yang bisa menghalangi orang-orang dengan kompetensi tinggi untuk menjadi pengurus.

Di Kongres Pemilihan PSSI 2019-2024, calon ketum harus punya riwayat aktif mengurus sepak bola di lingkungan PSSI alias bukan sekadar aktif di kegiatan sepak bola.

Sistem ini tentu saja melanggengkan posisi orang-orang lama di PSSI. Tak heran, dari periode ke periode, wajah-wajah PSSI selalu dipenuhi muka-muka lama. Meski prestasi sepakbola Indonesia di kancah internasional buruk, para pengurusnya dengan tanpa malu tak mau mengundurkan diri.

Dengan tetap bercokolnya muka-muka lama, tak banyak perubahan hadir di sepakbola kita. Liga Indonesia dari musim ke musim kualitasnya semakin menukik tajam. Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang adalah bom waktu yang meledak akibat bobroknya liga.

Mirisnya, tragedi yang seharusnya menjadi momen mereformasi sepakbola hanya dianggap business as usual. Mungkin juga karena peristiwa tewasnya suporter di stadion bukanlah yang pertama. Menurut data Save Our Soccer (SOS), sebelum Tragedi Kanjuruhan, 78 suporter tewas baik di stadion maupun luar stadion selama Liga Indonesia berlangsung. Tragedi kematian suporter sudah dianggap peristiwa lumrah. Saking biasanya, PSSI seperti kehilangan akal untuk menghentikannya.

Liga 1  Bergulir di Tengah Skeptisme Publik

Di tengah skeptisme publik akan adanya perubahan sepakbola di negeri ini, Liga 1 kembali bergulir. Tuntutan suporter untuk menghentikan sementara liga hingga ada perubahan dalam sepakbola ternyata tidak diindahkan.

Seperti layaknya template, insiden-insiden yang melibatkan wasit kembali terlihat di laga-laga Liga 1. Banyak keputusan wasit yang kontroversial yang menguntungkan atau merugikan beberapa klub. Hal ini memicu suporter saling menyalahkan dan akhirnya menjadi bahan bakar untuk “berkelahi” di medsos.

Persebaya beberapa kali dirugikan dengan keputusan wasit. Saya juga melihat klub-klub lain juga ada yang dirugikan. Di Liga Indonesia, klub apapun bisa jadi korban keputusan buruk wasit. Dan seperti biasa, PSSI tidak bisa berbuat banyak mengatasi permasalahan yang sudah seperti kanker ini.

Kondisi yang telah bertahun-tahun tak pernah berubah ini membuat saya menjadi patah hati melihat Liga Indonesia. Jika sebelumnya saya menulis Patah Hati Melihat Bonek dan Persebaya, kini saya menulis hal yang sama tentang Liga Indonesia. Saya tak lagi bergairah menyaksikannya. Rasanya, dukungan yang saya berikan untuk liga ini tak ada manfaatnya. Tak ada kegembiraan seperti yang saya rasakan saat saya masih menaruh harapan agar liga kita menjadi lebih baik. Kini harapan itu sudah saya buang jauh-jauh.

Meski Persebaya masih berkompetisi, saya tak punya semangat lagi menontonnya. Saya masih tetap sedih saat Persebaya kalah, namun kesedihan itu tidak berlarut-larut. Di liga yang tak lagi menjunjung tinggi sportivitas, kemenangan atau kekalahan tak lagi ada artinya.

Para petinggi PSSI yang telah terbukti gagal membawa prestasi juga tak pernah mengeluarkan pernyataan untuk mundur. Mereka malah sudah ancang-ancang menjabat lagi di kongres PSSI yang digelar tahun depan.

Sikap pesimis akan berubahnya Liga Indonesia membuat saya apatis dan antipati. Melihat potensi yang diabaikan segelintir orang-orang yang memanfaatkan liga ini untuk kepentingan pribadinya membuat saya muak.

Kapan Liga Indonesia bisa memberikan kegembiraan dan kebahagiaan kepada para suporter? Kapan sportivitas yang menjadi roh kompetisi dijunjung tinggi? Kapan PSSI menjadi federasi yang waras?

Rasanya pertanyaan-pertanyaan ini mustahil ada jawabannya. (*)

Continue Reading

Catatan Penulis

Pentingnya Merawat Sejarah Persebaya, Agar Bonek Tidak Mudah Pindah Sebelah

Published

on

Apa pentingnya sejarah? Banyak yang bilang pelajaran sejarah itu membosankan. Beberapa lirik lagu menyiratkan jika kita sebaiknya melupakan masa lalu.

“Yang lalu biarlah berlalu.”

Sepotong lirik lagu “Lamunan” milik Andromeda ini menyiratkan peristiwa di masa lalu tidak penting untuk dibahas. Namun bagi saya, peristiwa di masa lalu yang seringkali disebut sejarah itu sangat penting untuk dibicarakan.

Saya baru mengerti pentingnya sejarah setelah masalah dualisme Persebaya terselesaikan dengan baik. Persebaya yang sempat mati suri kembali dibangkitkan dan mengikuti kompetisi resmi di bawah PSSI.

Dan pahlawan yang membuat Persebaya berdiri kokoh adalah Bonek.

Namun, membangkitkan Persebaya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Bonek sempat terpecah antara mendukung Persebaya asli yang sarat masalah atau Persebaya sebelah yang penuh bintang.

Pada akhirnya, suara mayoritas Bonek tetap keukeuh mendukung Persebaya yang asli. Lem perekat yang membuat Bonek mantap memilih Persebaya yang bermarkas di Karanggayam adalah sejarah yang mesti dirawat.

Perlawanan atas ketidakadilan tidak harus memakai senjata, namun bisa dengan kata-kata. Dan bisa kita lihat saat Persebaya dalam periode mati suri, banyak Bonek menuliskan curahan hatinya di akun-akun Facebook pribadinya. Banyak Bonek yang menulis tentang sejarah Persebaya. Tulisan-tulisan itu menunjukkan dukungan mereka kepada tim kebanggaannya. Meski saat itu banyak hujatan dan makian dari pendukung Persebaya sebelah, mereka tetap teguh pendirian.

Ingatan saya akan dualisme Persebaya dan pentingnya merawat sejarah kembali hadir saat saya datang ke acara Mahakarya Bonek Campus #4. Bonek Campus mengundang pelatih Persebaya saat juara 2004, Jacksen F Tiago dan dua pemain skuad 2004, Uston Nawawi dan Chairil “Pace” Anwar. Acara yang diadakan di Kayoon Heritage, Minggu (18/11) ini memang mengusung tema “Spirit 2004”.

Riswan Lauhin dan Atta Ballah mengamati kliping perjalanan Persebaya saat juara 2004.

Dua pemain Persebaya saat ini, Atta Ballah dan Riswan Lauhin, juga dihadirkan. Tema yang diangkat Bonek Campus bukan tanpa alasan. Prestasi Persebaya musim ini kurang bagus. Meski di laga terakhir menorehkan sejarah dengan mengalahkan Arema FC di Kanjuruhan, Persebaya masih berada di papan tengah. Target 3 besar yang dicanangkan manajemen tampaknya susah diwujudkan. “Spirit 2004” memberikan pesan agar semangat juara tertanam di dada skuad Persebaya sekarang.

Acara yang berisi talkshow, pameran dokumentasi perjalanan Persebaya juara 2004, dan pertunjukan musik ini cukup ramai dihadiri Bonek. Mereka antusias mengikuti acara demi acara. Tak hanya Bonek lawas, Bonek muda pun datang ke acara yang lebih banyak membahas sejarah Persebaya itu.

Lewat acara-acara yang mengulas sejarah terjadi transfer pengetahuan sejarah.

Kehadiran Bonek di acara-acara seperti ini patut diapresiasi. Bonek telah sadar pentingnya merawat sejarah Persebaya. Merawat sejarah sangat penting karena bisa memperkuat akar Persebaya. Semakin kuat akar, Persebaya akan tetap berdiri kokoh meski ada banyak masalah menghadang.

Klub adalah representasi para pendukungnya. Setiap klub memiliki karakteristik tertentu yang mewakili suporternya. Bisa dikatakan, klub adalah cermin pendukungnya. Seperti Persebaya yang mengusung karakter kota Surabaya yang Wani dan Ngeyel, jati diri itulah yang selalu diperjuangkan Bonek. Sejarah selalu mengingatkan pentingnya menjaga karakter-karakter itu karena membawa memori Persebaya dari jaman ke jaman.

Persebaya yang lahir sejak 1927 mengusung karakter Surabaya yang selalu konsisten dijalankan stakeholder Persebaya dari tahun ke tahun. Penelitian-penelitian sejarah tentang Persebaya di masa lalu menjadi pelajaran generasi sekarang agar mereka terus memperjuangkan semangat para pendahulunya.

Jacksen F Tiago dan Uston Nawawi.

Sejarah juga bisa menjadi refleksi jika di masa mendatang terjadi konflik yang mengancam eksistensi Persebaya. Kita juga bisa belajar untuk tidak mengulangi kesalahan di masa lalu. Karena sejarah akan terus berulang sehingga kita dituntut tetap waspada. Dengan melek sejarah Persebaya, Bonek akan selalu membawa semangat timnya dan tak akan mudah tergoda untuk berpaling.

Di sinilah pentingnya sejarah karena mampu menghubungkan generasi sekarang dengan generasi pendahulu.

Acara-acara seperti ini harus selalu digelar di masa-masa mendatang. Agar Bonek tidak putus hubungan dan konsisten memperjuangkan apa yang diperjuangkan para pendahulunya. Saya yakin, Bonek akan amanah dalam memperjuangkan Persebaya hingga kapan pun. Dan itu sangat membanggakan.

Jika bukan Bonek, siapa yang akan merawat sejarah Persebaya? (*)

Continue Reading

Trending