Connect with us

Pemain

Gatot Indra, Penyerang Lokal Berkelas yang Karirnya Meredup di Persebaya

Published

on

Mungkin mayoritas Bonek belum banyak mengenal sosok Gatot Indra. Namanya memang tidak sementereng Jacksen F. Tiago atau Kurniawan Dwi Yulianto. Ia merupakan salah satu mantan pemain Persebaya musim 1998/1999. Pemain yang berposisi sebagai penyerang ini membela panji-panji Green Force selama satu musim.

Saat ini ia tinggal di Desa Wisata Bejijong, Trowulan, Mojokerto. Aktivitas setelah pensiun sebagai pemain sepak bola saat ini pun ia habiskan dengan bekerja secara serabutan. Terkadang juga ikut melatih di sebuah SSB dengan berbekal lisensi kepelatihan C AFC.

Pemain yang malang melintang di sejumlah klub Indonesia ini sejatinya tak menyangka bahwa ia bisa bergabung dengan Persebaya, klub impiannya masa kecil. Gatot bercerita awal ia membela Tim berjuluk Bajol Ijo ini. Ia mengatakan waktu itu Alm. Eri Irianto datang ke rumahnya untuk mengajak dirinya bergabung dengan Persebaya.

“Setelah pulang membela Persib Bandung, Alm. Eri Erianto datang ke rumah dan mengajak saya bergabung dengan Persebaya. Langsung saja, saya diajak ke kantor Wali Kota Surabaya menemui Pak Narto (Wali Kota Surabaya saat itu, red) meskipun sebenarnya saat itu saya sudah deal secara lisan dengan Petrokimia,” ujar Gatot Indra.

Alasan ajakan Eri Irianto dan rasa kecintaan kepada Persebaya inilah yang membuat Gatot Indra akhirnya memilih bergabung. Ia merasa sangat bangga bisa berkostum Persebaya, tim yang memiliki sejarah Panjang di kancah persepakbolaan nasional.

Sayang perjalanan karir Gatot di Persebaya tidak bisa bertahan lama. Tak cukup banyak pengalaman dan kenangan yang ia dapatkan saat membela tim ini. Ia hanya bertahan satu musim. Kurangnya kesempatan bermain yang cukup membuat karirnya sedikit meredup di Persebaya. Saat itu kondisi fisik yang menurun pasca cedera yang pernah ia alami ditambah banyaknya jajaran pemain bintang yang menghuni tim membuat ia sulit menembus skuat utama.

“Pengalaman saya selama di Persebaya dulu mungkin belum cukup banyak. Saya di persebaya kurang mendapat kesempatan bermain lebih. Saat itu kondisi kesiapan secara fisik saya masih belum optimal pasca cedera yang saya alami sehingga permainan saya sulit berkembang untuk bisa bersaing masuk skuat utama tim. Membela tim sebesar persebaya yang memiliki sejarah yang Panjang harus memiliki stamina fisik yang prima, dan juga mentalitas yang cukup tinggi,” terang Gatot Indra.

Salah satu momen yang berkesan baginya adalah saat laga melawan Barito Putera di Stadion Gelora 10 Nopember.

“Momen yang paling saya ingat dulu saat Persebaya melawan Barito tahun 1998 di Tambaksari. Saat itu dengan atmosfer pertandingan yang tinggi, saya berhasil mengirim assist yang mampu diselesaikan menjadi gol oleh Uston Nawawi sehingga memberikan keunggulan 1-0 untuk persebaya,” kenangnya.

Setelah karirnya meredup di Persebaya, ia pun memutuskan pindah ke Petrokimia Putra tahun berikutnya. Setelah bergabung dengan Petrokimia itu, permainannya pun kembali berkembang dan ikut membantu tim tersebut menjuarai Liga Indonesia musim 2002. (*)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Pemain

Soebodro : Sang Loyalis Persebaya (1)

Published

on

Generasi jaman sekarang mungkin tak banyak mengetahui dan mengenal siapa sosok Soebodro ini. Namun percayalah, banyak hal yang telah diukir olehnya bersama Persebaya Surabaya baik sebagai pemain maupun pelatih.

R. Soebodro dilahirkan di Kota Solo, Jawa Tengah pada tanggal 13 Mei 1950. Gelar Raden pada nama depanya menandakan dirinya memiliki darah biru dari garis keturunan ayahandanya yang bernama R.M. Broto Soepadmo. Ketika penulis menanyakan arti nama Soebodro kepada empunya nama saat bertamu di kediamannya pada Bulan September 2018 silam, beliau hanya memberitahu singkat bahwa nama pemberian orang tuanya tersebut memiliki makna menjadi orang yang pemberani namun ramah. Sebuah nama yang, alhamdulillah, sesuai dengan kenyataannya di kemudian hari.

Tag: Soebodro - Persebaya Surabaya Kehilangan Legendanya - TribunNews.com
Soebodro dan Dedy Sutanto, dua mantan pemain Persebaya di era yang berbeda. (Arsip Tribunnews)

Soebodro sejak  kecil memang suka sekali bermain dengan si kulit bundar. Ditambah lagi kakak-kakaknya pun memiliki hobi yang sama dengannya. Tambah semangatlah dia bermain. “Sering Mas, sampai-sampai suara bedug adzan Maghrib baru pulang kerumah. Untungnya orang tua kami tak marah. Ya marah sekali dua kali sih pernah hehehehe. Namanya juga anak-anak”, tutur Soebodro kepada penulis.

Sejak kecil Soebodro sudah sering merasakan berpindah-pindah tempat tinggal. Hal ini terjadi karena ayahanda Subodro berprofesi sebagai pegawai PTT (Post, Telepon dan Telegraf). Secara keseluruhan masa kecil Soebodro dihabiskan di dua kota, yakni Bandung dan Surabaya. Memasuki usia 16 tahun, Soebodro dan keluarga pindah ke Kota Pahlawan. Di Surabaya, kedua orangtua Soebodro menempati sebuah  rumah di Jl. Perak Barat. Rumah itu kini menjadi Kantor Pos Tanjung Perak. Secara kebetulan di seberang rumah terdapat sebuah lapangan Sepak Bola. Penduduk lokal lebih mengenalinya dengan nama Lapangan Prapat Kurung. “Nah disinilah bakat Sepak Bola saya mulai terasah dan dilihat oleh orang lain Mas”, pungkas Soebodro. Kala itu di tahun 1966 Subodro mendapat restu dari orang tuanya untuk belajar Sepak Bola bersama SSB Garuda Putih. Sebuah Sekolah Sepak Bola yang berafiliasi dengan klub internal kompetisi Persebaya, P.S. Assyabaab.

Hampir setiap hari Soebodro bersama kakak-kakaknya dan teman-teman sebaya bermain Sepak Bola di lapangan ini. “Jaman dulu belum bisa beli sepatu, jadinya kami bermain tanpa alas kaki alias nyeker, seperti ini saja sudah bahagia kami”, kata Soebodro sambil menerawang jauh. Ayahnya pun ikut andil dalam perkembangan permainan anak-anaknya. Selepas kesibukannya bekerja, Pak Bagio (panggilan akrab ayahanda Soebodro) selalu ikut mendampingi dan membimbing anak-anaknya belajar sekaligus bermain Sepak Bola.

Seringnya bermain sepak bola disana, ternyata ada seseorang yang selalu mengawasi gerak-geriknya. Sosok tersebut bernama Hafid Bajamal yang merupakan Ketua SSB Garuda Putih. Beliau juga merupakan salah satu pengurus P.S. Assyabaab. Pada suatu hari pengurus tersebut mengajaknya berbicara serius seusai bermain Sepak Bola. “Pada intinya dia tertarik dengan permainan saya dan bakal mengajak ketuanya datang menemui saya besok”, papar Soebodro.  

Bagaimana kelanjutannya? Bersambung di tulisan berikutnya.(dpp)

Tulisan ini ditulis oleh Dhion Prasetya dan telah dibukukan dalam kumpulan tulisan dari Bonek Writers Forum berjudul “Persebaya Dan Dinamika Pembinaan Sepak Bola Indonesia” edisi peringatan Ultah ke-96 Tahun Persebaya Surabaya.

Continue Reading

Pemain

Higor Vidal, Kisah Seorang Ayah

Published

on

Persebaya beruntung mendapatkan gelandang serang seperti Higor Vidal. Permainannya memang tidak langsung nyetel dengan tim, toh siapapun pasti butuh waktu untuk beradaptasi. Tapi dengan dua kali penampilannya selama memperkuat Persebaya di liga1, kita sudah melihat kualitasnya sebagai jendral kreator serangan yang handal. Kita berharap permainannya akan terus berkembang dan bisa memberikan efek positif kepada tim di musim ini.

Cerita ini tidak akan mengulas kehebatan Vidal di lapangan. Namun cerita ini adalah tentang sosok Vidal sebagai seorang bapak di rumah.

Sebagai pendatang baru dengan lingkungan baru yang asing, keluarga Vidal harus beradaptasi dengan suasana kota Surabaya, baik faktor cuaca, lokasi tinggal dan makanan. Di kala sang istri lelah, Vidal rela dan cekatan mengurus bayinya, David, yang masih berusia 10 bulan, untuk sekedar mengganti pampers dan membuatkan susu.

Mungkin bagi sebagian orang, hal-hal seperti ini remeh dan banyak ditemui di kejadian sehari-hari. Namun justru di sinilah letak istimewanya menjadi laki-laki. Selama ini laki-laki selalu diistimewakan untuk tidak perlu mengurus rumah dan anak-anak, semua itu urusan istri/perempuan. Tugas laki-laki hanya mencari nafkah, pulang kerja capek ya istirahat, tidur. Anak-anak dan pekerjaan domestik rumah… ya urusan perempuan. Namun Vidal melakukan hal yang berbeda dari mainstream yang berlaku. Tidakkah ini menjadi contoh bagi kita semua akan sosok lelaki dan bapak yang baik?

Pria memang memiliki tugas sebagai pencari nafkah buat keluarganya, namun mengurus anak itu tanggungjawab bersama, tidak hanya ditanggung ibu semuanya. Berbagi tugas domestik justru akan mempererat ikatan dalam keluarga, termasuk membimbing dan mendidik anak. Anak juga perlu sentuhan , perlu menjalin komunikasi yang baik dengan bapaknya juga.

Di sini, Higor Vidal sudah menunjukkan sosoknya sebagai seorang bapak yang baik. Di tengah kesibukannya sebagai pemain sepakbola yang pastinya melelahkan secara fisik, dia masih meluangkan waktunya untuk anak dan istrinya. Pantas untuk dijadikan role model lelaki dan bapak yang baik.

Kita tentunya tidak berharap begadangnya Vidal di malam hari akan membuat performanya menurun. Saya yakin Vidal juga seorang pemain yang menjunjung profesionalisme yang tinggi. Salut buat papa Vidal, sosok jenderal di dalam dan di luar lapangan. (*)

Continue Reading

In Memoriam Legend

Rusdy Bahalwan, Ustaz Total Football Persebaya

Published

on

Apakah kamu menikmati cara bermain Persebaya di musim lalu?

Jika iya, applause tersendiri memang seharusnya diberikan pada peracik strategi tim kita saat ini, coach Aji Santoso. Permainan Persebaya terlihat begitu mengalir dan atraktif. Mengandalkan umpan-umpan pendek dan pemain yang terus bergerak mencari ruang kosong kala menyerang, juga begitu ketat melakukan pressing saat kehilangan bola. Banyak yang menyebut pola permainan ini ibarat tiki-taka ala Barcelona. Namun sebenarnya ini adalah implementasi dari strategi total football.

Lantas, apa yang dinamakan total football?

Total football diperkenalkan Rinus Michels, pelatih top Ajax Amsterdam, Barcelona, dan Timnas Belanda di era 70-80an. Skema permainan ini mengedepankan sistem permainan cepat yang cenderung menyerang dan atraktif. Posisi pemain yang begitu rapat membuat aliran bola saat menyerang menjadi cepat dan sulit ditebak, begitu pun juga saat bertahan mereka bisa menekan lawan yang sedang menguasai bola dengan ketat. Bola mengalir begitu cepat dari kaki ke kaki tanpa harus digiring terlalu lama. Pemain dituntut bermain secara kolektif untuk bisa saling mengisi posisi yang ditinggalkan rekannya. Maka dari itu, total football membutuhkan pemain-pemain yang bisa bermain di banyak posisi.

Begitulah pola permainan yang melekat pada skuad Persebaya kala menjuarai Liga Indonesia 1996/97. Pada musim tersebut Persebaya menjadi tim paling produktif selama kompetisi digulirkan. Tercatat ada 62 gol dicetak selama penyisihan wilayah, 14 gol selama penyisihan grup dan 6 gol di fase semifinal dan final. Totalnya ada 82 gol! Sementara sang striker, Jacksen F. Tiago menjadi topscorer dengan torehan 26 gol dalam semusim. Fantastis!

Ada yang tahu siapakah sosok pelatih Persebaya di saat menjuarai kompetisi saat itu?

Tak lain dan tak bukan, dia adalah Rusdy Bahalwan, pelatih yang juga melatih coach Aji Santoso kala memperkuat Persebaya saat itu. Sebagai catatan tambahan, Rusdy juga memercayakan ban kapten disematkan pada Aji Santoso sepanjang musim berlangsung.

Rusdy begitu identik dengan Persebaya. Lahir dan besar di Surabaya, dia mengawali karirnya sebagai pemain Assyabaab Surabaya. Saat menjadi pemain, Rusdy adalah sosok yang begitu disiplin dalam berlatih dan mengembangkan skill dan performanya. Tak jarang, Rusdy menambah jam latihan sendiri di luar jam latihan klub. Berkat ketekunannya dalam berlatih itulah, tak lama berselang dia sudah dipanggil menjadi bagian skuad Persebaya Junior dalam turnamen Piala Soeratin di tahun 1967.

Rusdy Bahalwan saat masih menjadi pemain.

Awalnya Rusdy berposisi sebagai libero saat masih bermain di Assyabaab. Namun saat masuk di skuad Persebaya, dia dipindah sebagai bek kiri. Posisi ini tidak berubah hingga Rusdy bermain di Persebaya senior dan juga Timnas Indonesia.

Justru saat menjadi bek kiri itulah, performanya semakin teruji dan mendapatkan pengakuan publik. Pemain yang identik dengan nomor punggung 3 ini terkenal sebagai bek yang tangguh dan sangat sulit dilewati lawan, kuat dalam bertahan dan juga saat menyerang. Puncak prestasinya sebagai pemain adalah saat mengantarkan Persebaya menjuarai Divisi Utama Perserikatan di musim 1977/78.

Di partai final, Rusdy selaku kapten tim, bersama beberapa legenda Persebaya semacam Hadi Ismanto, Abdul Kadir, Rudi W. Keltjes, Djoko Malis, Soebodro, berhasil mengalahkan skuad Persija dengan skor dramatis, 4-3. Persebaya meraih gelar juara nasional setelah berpuasa selama 27 tahun.

Seusai gantung sepatu, Rusdy melanjutkan karirnya sebagai pelatih tim Assyabaab. Catatan emas yang dia torehkan di kompetisi Liga Kansas musim 1996/97 kala mengantarkan Persebaya kembali menjadi juara sepakbola nasional. Ini mengulangi prestasinya di musim 1977/78, bedanya kali ini dia menjadi pelatih tim. Kala itu strategi racikan pada tim Persebaya sangat terlihat elegan. Persebaya tampil dengan gaya total football , permainan bola-bola pendek yang mengalir cepat, pressing ketat, dan atraktif. Yang menjadi ciri khas lainnya adalah coming from behind, yaitu berfungsinya para gelandang sebagai second striker, menusuk dari lini kedua, memberikan tembakan-tembakan dari luar kotak penalti untuk menjebol gawang lawan ketika lini depan kita dijaga ketat. Terhitung beberapa gol dicetak gelandang-gelandang kita yang produktif seperti Uston Nawawi, Eri Irianto, dan Carlos de Mello.

Rusdy juga tak ragu untuk mengorbitkan pemain-pemain muda guna mengisi skuad senior. Sejumlah nama macam Uston Nawawi, ‘Bejo’ Sugiantoro, Anang Ma’ruf adalah sejumlah nama pemain muda yang berhasil diorbitkannya. Hal ini sepertinya dinapaktilasi oleh pelatih Persebaya saat ini, Aji Santoso, yang juga mengandalkan pemain muda untuk mengisi skuadnya.

Satu hal yang menjadi ciri khas dari Rusdy adalah sosoknya yang rendah hati serta religius. Dia dikenal sebagai guru/ustaz di mata para pemainnya. Dia menggunakan sholat berjamaah sebagai media pendekatan dan memotivasi pemain (yang muslim khususnya). Seringkali seusai memimpin sholat berjamaah bersama para pemain dan pengurus, dia juga memanfaatkan waktu seusai wirid untuk memberikan motivasi, briefing dan mendengarkan permasalahan yang dihadapi oleh para pemain.

Cara-cara seperti ini menumbuhkan kedekatan emosional antara dirinya, para pemain, dan pengurus klub. Jika ada pemain yang tampil buruk dan bermasalah, Rusdy sering mengajaknya bicara di ruangan tertutup untuk memotivasinya lebih lanjut. Semangat kedekatan kekeluargaan terpupuk melalui pendekatan-pendekatan yang beliau lakukan. Persebaya bukan sekedar klub sepakbola, namun lebih menjadi sebuah keluarga besar.

Selain hal-hal tersebut di atas, ada beberapa kalimat motivasi yang Rusdy sering katakan kepada para pemain untuk berusaha keras memenangkan setiap pertandingan, di antaranya adalah:

“Kalian pasti bisa, kerahkan semua kemampuan yang telah dilatih. Jangan setengah-setengah, kita bergerak dengan bola. Jangan takut salah.”

“Jika lawan bisa mencetak 3 gol, maka tim kamu harus bisa mencetak 4 gol.

 “Bahwa pertahanan terbaik adalah menyerang. Tidak ada kata lain.”

“Jika depan buntu, maka lini selanjutnya harus membantu atau coming from behind.”

Nama Rusdy Bahalwan akan selalu dikenang sebagai pemain, pelatih, bapak, ustaz total football, dan legenda Persebaya Surabaya. (*)

*) image credit to twitter @aprilia_jiwa

Continue Reading

Trending