Catatan Penulis
Logo Persebaya akan Berganti!
Tenang, itu hanyalah judul yang ditulis karena perbincangan yang ramai mengenai kemungkinan logo Persebaya akan berganti. Adalah Emosijiwaku di Twitter yang (selalu) memulai perbincangan pintar yang memancing perhatian Bonek dan Bonita. Tema perbincangan yang ramai menjelang pertandingan Persebaya melawan Persik kemarin ini sebenarnya sudah diperbincangkan jauh hari sebelumnya. Cak Tulus pernah melemparkan wacana ini saat nyangkruk waktu digelar Bonek Academy di Ciputra World tahun 2018.
Awal Cak Tulus mengangkat hal tersebut adalah saat ia melihat bagaimana logo Persebaya ini memiliki kelemahan secara visual, diantaranya adalah detail dalam logo yang tidak mudah teraplikasikan dengan baik di berbagai media karena tingkat keterbacaannya yang lemah. Adakah yang tahu ada berapa kotak dalam tekstur di kulit buaya? Ada berapa garis yang muncul di sirip hiu? Agak sulit, karena logo ini kemudian ketika diperbanyak oleh berbagai produsen merchandise, misalnya, akan berbeda-beda tafsir. Detail-detail seperti ini jugalah yang menjadikan logo Persebaya ini memiliki tingkat keterbacaan rendah.
Lantas adakah dampak dari tingkat keterbacaan yang rendah tersebut? Ada, dan biasanya adalah tak konsisten. Tidak konsisten di sini konteksnya adalah saat logo Persebaya tampil di berbagai media dengan berbagai teknik produksinya. Tak bisa dipungkiri kharisma Persebaya yang begitu besar menjadikan citra klub ini mudah ditemui dalam berbagai macam merchandise. Namun akan mudah ditemui pula betapa tidak konsistennya logo Persebaya diterapkan. Warna garis di Tugu Pahlawan ada yang berwarna hitam, ada pula yang berwarna biru muda. Selain itu karena unsur-unsur di dalam logo Persebaya yang serba rumit, maka akan sulit pula menampilkan detail yang sangat kecil itu untuk diaplikasikan di media yang memiliki ukuran kecil. Tingkat keterbacaan lagi-lagi sangat rendah.
Namun demikian, positifnya logo Persebaya mampu menciptakan top of mind tidak hanya dari intern (manajemen) namun juga suporter dan non suporter. Jika saja logo Persebaya tersebut dipotong-potong tetap saja potongannya masih dikenali sebagai Persebaya. Peristiwa penyobekan logo Persebaya di Stadion Kanjuruhan Malang adalah bukti mengenai identitas Persebaya yang sangat kuat. Logo yang dibuat sendiri (direproduksi) oleh suporter Arema dan kemudian disobek-sobek sendiri menjadi bukti bagaimana kekuatan Persebaya melalui identitasnya.
Kapankah Logo (Bisa) Berganti?
Logo adalah identitas. Logo adalah citra. Maka logo adalah citraan visual yang merupakan representasi dari identitas. Selama ini Bonek begitu bangga jika mengenakan pakaian apa pun yang ada logo Persebayanya. Persebaya sudah menjadi identitas mereka. Tak peduli apakah ia berdomisili di Surabaya maupun luar kota Surabaya. Persebaya ya Persebaya.
Tak heran jika kemudian ada pendapat yang mengatakan bahwa jika logo Persebaya diubah maka akan berubah pula sangarnya. Dalam konteks tersebut, maka yang dimaksudkan dari pendapat tersebut adalah berubah citranya. Maka pertanyaan berikutnya adalah kapan logo itu bisa berubah? Jika berubah, apakah akan berubah pula karakter dan citra Persebaya ke depan?
Dalam berbagai literatur dan pengamatan dari data, maka logo bisa berubah itu jika ada penyebabnya. Pertama, berubahnya kepemilikan suatu organisasi/perusahaan/lembaga/dll, maka berubah pula visi dan misinya. Kedua, untuk menyesuaikan dengan perubahan zaman, maka identitas visual bisa berubah menyesuaikan dengan trend yang sedang terjadi. Ketiga, ada pengembangan. Hal ini terjadi jika organisasi/klub/kelompok memiliki sayap yang lain yang menempel pada induknya, misalnya pengembangan bisnis atau makin berkembangnya anggota. Keempat, ada merger atau penggabungan perusahaan/lembaga. Kelima, untuk menyegarkan ingatan publik. Terkadang ada kejenuhan jika melihat visual yang sama. Keenam, faktor budaya sehingga harus menyesuaikan dengan budaya setempat. Ketujuh, untuk membentuk citra baru. Biasanya hal ini dilakukan jika ada suatu kasus tertentu yang melibatkan organisasi, atau untuk memperbaiki dari citra buruk.
Nah, dari tujuh alasan suatu perusahaan/lembaga melakukan perubahan logo tersebut, maka Persebaya sebenarnya sudah memenuhi semua syarat tadi. Jika dibandingkan dengan logo klub sepakbola di Indonesia, seperti PSM Makassar dan Persita Tangerang yang baru-baru ini mengubah logonya, maka Persebaya sebenarnya juga telah layak mengubah logonya. Kepemilikan yang berbeda, pengembangan bisnis store untuk makin dekat dengan Bonek, perubahan zaman termasuk bagaimana pengelolaan manajemen klub secara modern, citra klub dan Bonek yang makin bagus dan selalu menjadi media darling. Hal yang harus selalu diingat adalah bagaimana perubahan status pengelolaan klub dari yang memakai APBD kota kini beralih ke PT Persebaya, sehingga logo Persebaya yang selama ini sangat identik dengan logo pemerintah kota bisa pelan-pelan bergeser.
Kapankah Logo Persebaya Berganti?
Pertanyaan penting kemudian adalah jika sudah memenuhi semua syarat di atas, maka sebaiknya kapan logo Persebaya bisa berganti? Jawabannya bisa kapan saja. Namun yang harus selalu diingat adalah mengubah logo bukan perkara yang gampang. Tidak bisa (jika) logo sudah diubah maka akan kemudian sedikit-sedikit diubah hanya karena jenuh atau bosan. Logo berubah juga bukan hanya karena ingin sok modern atau mengikuti perubahan trend di zaman yang makin kompetitif ini. Berubahnya logo haruslah didasarkan pada pertanyaan mengapa logo harus berubah. Bahwa logo berubah karena telah memenuhi syarat-syarat di atas, maka yang menjadi tantangan selanjutnya adalah dengan mempertanyakan kembali: Persebaya ingin dikenal dan dikenang sebagai klub yang seperti apa? Ini dulu.
Logo Persebaya yang banyak “variasi”nya (jika tidak bisa menyebutnya sebagai ketidak-konsistenan logo) adalah juga bukti bagaimana logo Persebaya ini begitu rumit. Logo Persebaya yang benar-benar berubah adalah saat menjelang kompetisi Liga Primer Indonesia (LPI) tahun 2011. Setelahnya logo Persebaya kembali lagi ke “versi” lama. Dalam keputusan sertifikat merek yang diterbitkan oleh Kementerian Hukum dan HAM bertanggal penerimaan 22 April 2013, logo yang dipilih manajemen baru saat kembali ke liga adalah logo dengan versi lama dengan penanda Tugu Pahlawan berwarna biru muda dan bola berwarna dominan hitam. Dalam sertifikat tersebut, perlindungan hak merek diberikan untuk jangka waktu 10 tahun (hingga 22 April 2023) dan setelahnya bisa diperpanjang. Nah, bisa disimpulkan tahun 2023 adalah kemungkinan logo Persebaya bisa berubah dengan mempertimbangkan segala macam pertimbangan di atas.
Segala perubahan pasti menuai kontroversi tak terkecuali klub-klub mapan dunia. Sebut saja Juventus, Manchester City, Arsenal, Tottenham Hotspur, Manchester United, Aston Villa, West Ham, Inter Milan, (sempat juga) Everton, dan masih banyak klub lainnya. Banyak klub yang berganti logo menuai penolakan dari fans-nya. Everton adalah klub yang sebenarnya akan berganti logo namun karena kerasnya penolakan dari Evertonian, maka klub memutuskan untuk kembali ke logo lama. Mungkin klub ini satu-satunya yang gagal mengubah logo. Yang lain jalan terus meski menuai kritik dari fansnya.
Mengapa terjadi penolakan? Fans menolak logo baru biasanya terjadi karena tidak ada sosialisasi dari klub sehingga cenderung mendadak. Selain itu logo ditolak untuk berubah karena justru dilakukan di saat yang terpuruk, misalnya saat klub terdegradasi ke level bawah. Fans Arsenal juga sempat melakukan perlawanan pada logo baru, karena klub tidak melibatkan fans dalam melakukan perubahan identitas visualnya. Yang paling cerewet adalah fans Manchester City karena logo tidak mencantumkan lagi tagline bahasa latin mereka dan tidak ada teks “FC” sebagai singkatan dari Football Club. Alasan tersebut mirip dengan penolakan fans Everton karena mencopot tagline berbahasa latin yang kadung mendarah daging.
Liverpool adalah klub yang termasuk paling sering mengganti logo. Dimulai dari tahun 1950 yang mengubah logo lama di tahun kelahirannya yaitu tahun 1892, kemudian berubah lagi di tahun 1955, 1968, 1976, 1987, 1992, 1993, 1999, 2017. Jika melihat tahun perubahannya, begitu berdekatan. Namun inilah yang unik: logo Liverpool tahun 1999 dipakai berbarengan dengan logo tahun 2017 hingga sekarang. Selain itu yang unik adalah: perubahan logo Liverpool ini tidak menuai keriuhan Kopites. Tak ada perlawanan dari mereka. Cerewet apalagi, tidak ada, padahal Kopites dikenal sebagai suporter di Inggris yang sangat keras. Kecerewetan Kopites biasanya terjadi saat klub menerbitkan jersey terbaru di musim baru. Model jersey dan warna sangat menjadi fokus dari Kopites. Namun untuk perubahan logo terbukti bahwa perubahan logo Liverpool bisa berubah dengan mulus dan tetap memiliki identitas yang kuat dan bahkan bertambah semakin kuat.
Bisa jadi karena ada dua alasan.
Pertama, klub sangat dekat dengan fansnya, sehingga fans dilibatkan dalam perubahan logo. Kedua, prestasi. Nama Liverpool sudah mengakar dan merasuk dalam fansnya yang tidak hanya di Inggris, namun juga di belahan dunia lainnya. Artinya, jika ingin mengubah logo, maka ubahlah pada saat yang tepat, yaitu saat menuai banyak prestasi atau saat menjadi juara di liga yang sangat kompetitif. Dalam bahasa yang lain, mau diubah berapa kali pun, nama Liverpool selalu ada di hati fansnya.
Jadi jika ditanya kembali kapan logo Persebaya bisa berubah? Ya benahi dulu klub ini dengan pencapaian juara dan juara, karena pada dasarnya logo adalah identitas mengenai citra yang ingin dibangun. Citra baik dan positif apalagi citra Persebaya sebagai klub Sang Juara itu sudah mengakar kuat di semua pihak. Sehingga dengan demikian, maka logo mau diubah kapan pun kebanggaan terhadap Persebaya tak akan luntur. (*)
Catatan Penulis
Masih Ada PR yang Belum Tuntas, Saatnya Bonek Bentuk Presidium?
Bonek bukan sebuah organisasi yang memiliki struktur yang solid. Padahal, Bonek punya banyak tantangan yang mesti dihadapi. Kelompok suporter Persebaya ini seringkali kedodoran dalam menyelesaikan permasalahan. Hingga saat ini, masih ada beberapa pekerjaan rumah yang belum tuntas yang mesti diselesaikan Bonek.
Sebut saja masalah Boling (Bondho Maling). Kehadiran gerombolan yang memakai atribut Persebaya di setiap laga-laga Green Force ini sering berdampak negatif. Aksi-aksi kriminalitas yang mereka lakukan membuat Persebaya kesulitan berlaga terutama di laga away. Eksesnya langsung dirasakan Bonek. Mereka kerap dilarang mendampingi Persebaya berlaga.
Aparat acapkali kesulitan membedakan antara Bonek dan Boling. Mereka menganggap Boling adalah suporter Persebaya. Celakanya, Bonek juga tidak punya mekanisme khusus untuk memisahkan Boling dengan Bonek. Hingga saat ini, menjadi Bonek bukan sesuatu yang sulit. Hanya berbekal atribut Persebaya, semua bisa jadi Bonek.
Kelompok suporter lain yang memiliki badan hukum punya mekanisme yang bisa memisahkan antara anggotanya dengan non anggota. Ada kartu anggota yang mesti dimiliki setiap anggota resmi. Data diri anggota juga tercatat di database organisasi.
Bagaimana dengan Bonek?
Bonek dibentuk dengan kesadaran kolektif warga Surabaya untuk mendukung Persebaya. Dukungan ini pada akhirnya meluas tidak hanya datang dari warga Surabaya. Persebaya yang beberapa kali merajai kompetisi era Perserikatan dianggap mewakili Jawa Timur. Banyak suporter berasal dari daerah-daerah lain di Jawa Timur.
Bonek tidak terikat dalam sebuah organisasi. Sifat massanya cair dengan slogan No Leader Just Together. Slogan ini terlihat sangat egaliter. Sayangnya, banyak masalah yang tak tertangani dengan baik. Dalam kasus Boling, setiap ekses negatif yang dilakukan orang-orang beratribut Persebaya seringkali dimaklumi. Tak heran jika masalah Boling selalu muncul dari musim ke musim.
Namun, gelora perlawanan di kalangan Bonek terus bermunculan. Suara-suara menentang eksistensi Boling kerap mencuat di linimasa media sosial. Sayangnya, suara-suara itu biasanya hanya berhenti di sana.
Bonek tidak punya mekanisme cepat yang diamini mayoritas Bonek dalam menyikapi sebuah permasalahan. Mekanisme itu biasanya diserahkan ke masing-masing tribun Bonek (Tribun Kidul, Tribun Timur, Green Nord, dan Gate 21). Namun, sikap masing-masing tribun terkadang berbeda. Masalah lain, suara mereka tidak bisa dianggap sebagai representasi Bonek.
Jaman yang Selalu Menghadirkan Tantangan Baru
Setiap jaman punya tantangan sendiri-sendiri. Masalah-masalah yang dihadapi Bonek semakin kompleks. Gerakan perlawanan di setiap jaman membutuhkan strategi yang berbeda. Saat Persebaya dimatisurikan federasi, gerakan perlawanan dengan slogan No Leader Just Together tentu masih relevan. Namun, apakah strategi gerakan perlawanan itu masih efektif saat ini?
Bonek membutuhkan mekanisme organisasi agar setiap keputusan bisa merepresentasikan suara mayoritas Bonek. Meski begitu, Bonek tak harus membuat sebuah organisasi berbadan hukum.
Saya mengusulkan pembentukan Presidium Bonek.
Secara de facto, empat tribun dianggap mewakili suara Bonek. Manajemen Persebaya juga mengakui keberadaan mereka. Komunitas-komunitas Bonek banyak yang mengasosiasikan diri dengan tribun pilihannya. Anggota komunitas biasanya menempati tribun Stadion GBT di mana komunitasnya mengasosiasikannya.
Empat tribun sebaiknya mulai memikirkan pembentukan Presidium Bonek. Presidium bertugas menjalankan roda organisasi dalam jangka waktu tertentu. Pengurus presidium termasuk ketuanya dipilih oleh empat tribun ditambah Bonek non tribun seperti Bonek luar kota atau Bonek liar yang tidak terafiliasi dengan tribun. Mekanisme Bonek non tribun bisa diatur kemudian.
Ketua presidium bisa dijabat secara bergiliran. Ketua dan pengurus presidium tidak memiliki kekuatan absolut. Kekuasaan tertinggi ada di tangan empat tribun dan Bonek non tribun. Jika sudah terpilih, ketua presidium dan pengurusnya bisa menjalankan roda organisasi sesuai visi dan misi yang disepakati empat tribun dan Bonek non tribun.
Presidium Bonek harus memiliki program kerja. Salah satu yang saya usulkan adalah pembentukan koperasi yang berbadan hukum. Anggota koperasi adalah semua Bonek. Sementara pengurus koperasi bisa diambil dari profesional. Tugas pokok Koperasi Bonek adalah menyejahterakan anggotanya. Hasil dari koperasi nantinya juga digunakan untuk memutar roda organisasi Presidium Bonek.
Presidium Bonek juga harus memastikan agar suaranya didengar manajemen Persebaya. Organisasi ini juga harus aktif berjuang saat Persebaya dirugikan federasi. Tugas lain presidium adalah membina hubungan dengan kelompok suporter lain.
***
Usulan pembentukan Presidium Bonek terlihat sederhana. Namun dibutuhkan kelegowoan masing-masing tribun dan mayoritas Bonek untuk menyerahkan mandat kepada presidium. Tentu saja empat tribun dan Bonek non tribun masih punya kekuasaan untuk mengawasi presidium. Namun yang perlu diingat adalah suara presidium adalah representasi suara mayoritas Bonek sejak presidium dibentuk.
Presidium Bonek memang bukan satu-satunya cara untuk menyelesaikan tantangan jaman. Namun, usulan pembentukan presidium menarik untuk dikaji. Tantangan ke depan yang semakin kompleks membutuhkan langkah luar biasa. Bonek membutuhkan mekanisme dalam menyelesaikan semua pekerjaan rumahnya dengan elegan. Bonek harus mulai bergerak secara terstruktur dan sistematis.
Bagi saya, Presidium Bonek adalah jawaban terbaik untuk saat ini. (*)
Catatan Penulis
Patah Hati Melihat Liga Indonesia
Liga Indonesia sejatinya memiliki potensi menjadi liga terhebat di Asia bahkan dunia. Indonesia memiliki 275 juta penduduk yang menjadikan sepakbola olahraga nomor 1. Jutaan suporter fanatik yang rela mendukung timnya dengan segenap hati. Ribuan klub bola di seantero negeri. Ratusan perusahaan dan investor yang siap menggelontorkan dana.
Sayang, potensi itu lenyap karena PSSI tidak becus mengelola liga. Liga Indonesia gagal menjadi liga yang layak tonton bagi keluarga-keluarga di Indonesia. Banyak laga yang jauh dari kata sportivitas. Belum lagi keributan-keributan di luar lapangan yang membuat siapa saja muak membahas liga PSSI.
Mengapa bisa begitu? Jawabannya karena keserakahan, kerakusan, rasa tidak tahu malu yang dimiliki mayoritas pengurus PSSI.
Kita mulai dari jabatan Ketua Umum PSSI.
Sudah menjadi rahasia umum jika jabatan orang nomor 1 di federasi ini adalah jabatan seksi. Banyak figur yang tertarik menduduki singgasana PSSI 1. Bukan untuk memajukan sepakbola tanah air. Namun sebagai batu loncatan menduduki jabatan-jabatan publik hingga tujuan-tujuan pribadi atau golongan.
Eddy Rahmayadi sukses menjadi Gubernur Sumatera Utara saat masih menjabat Ketum PSSI. Iwan Bule, Ketum PSSI sekarang, getol membuat baliho kampanye Gubernur Jawa Barat. Hingga usia 92 tahun, Ketum-Ketum PSSI terpilih seperti tidak mengerti sepakbola. Dan lebih aneh lagi, para pemilik suara PSSI terus memilih orang-orang yang tidak kompeten menduduki singgasana orang nomor 1 federasi dan para pengurusnya.
Namun jika kita menilik komposisi pemilik suara, kepentingan PSSI lebih terakomodasi ketimbang kepentingan pemilik klub. Pada kongres tahunan PSSI 2019, terdapat 85 anggota PSSI yang menjandi pemilik suara. Dari jumlah itu, 40 persen atau 34 suara dikuasai Asprov PSSI daerah. Sisanya 18 klub Liga 1, 6 klub Liga 2, 16 klub Liga 3, dan 1 Asosiasi Futsal.
Jika Asprov adalah kepanjangan tangan PSSI, butuh tambahan suara 10 persen + 1 agar status quo bisa tetap menang. Dalam statuta PSSI juga ditetapkan aturan yang bisa menghalangi orang-orang dengan kompetensi tinggi untuk menjadi pengurus.
Di Kongres Pemilihan PSSI 2019-2024, calon ketum harus punya riwayat aktif mengurus sepak bola di lingkungan PSSI alias bukan sekadar aktif di kegiatan sepak bola.
Sistem ini tentu saja melanggengkan posisi orang-orang lama di PSSI. Tak heran, dari periode ke periode, wajah-wajah PSSI selalu dipenuhi muka-muka lama. Meski prestasi sepakbola Indonesia di kancah internasional buruk, para pengurusnya dengan tanpa malu tak mau mengundurkan diri.
Dengan tetap bercokolnya muka-muka lama, tak banyak perubahan hadir di sepakbola kita. Liga Indonesia dari musim ke musim kualitasnya semakin menukik tajam. Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang adalah bom waktu yang meledak akibat bobroknya liga.
Mirisnya, tragedi yang seharusnya menjadi momen mereformasi sepakbola hanya dianggap business as usual. Mungkin juga karena peristiwa tewasnya suporter di stadion bukanlah yang pertama. Menurut data Save Our Soccer (SOS), sebelum Tragedi Kanjuruhan, 78 suporter tewas baik di stadion maupun luar stadion selama Liga Indonesia berlangsung. Tragedi kematian suporter sudah dianggap peristiwa lumrah. Saking biasanya, PSSI seperti kehilangan akal untuk menghentikannya.
Liga 1 Bergulir di Tengah Skeptisme Publik
Di tengah skeptisme publik akan adanya perubahan sepakbola di negeri ini, Liga 1 kembali bergulir. Tuntutan suporter untuk menghentikan sementara liga hingga ada perubahan dalam sepakbola ternyata tidak diindahkan.
Seperti layaknya template, insiden-insiden yang melibatkan wasit kembali terlihat di laga-laga Liga 1. Banyak keputusan wasit yang kontroversial yang menguntungkan atau merugikan beberapa klub. Hal ini memicu suporter saling menyalahkan dan akhirnya menjadi bahan bakar untuk “berkelahi” di medsos.
Persebaya beberapa kali dirugikan dengan keputusan wasit. Saya juga melihat klub-klub lain juga ada yang dirugikan. Di Liga Indonesia, klub apapun bisa jadi korban keputusan buruk wasit. Dan seperti biasa, PSSI tidak bisa berbuat banyak mengatasi permasalahan yang sudah seperti kanker ini.
Kondisi yang telah bertahun-tahun tak pernah berubah ini membuat saya menjadi patah hati melihat Liga Indonesia. Jika sebelumnya saya menulis Patah Hati Melihat Bonek dan Persebaya, kini saya menulis hal yang sama tentang Liga Indonesia. Saya tak lagi bergairah menyaksikannya. Rasanya, dukungan yang saya berikan untuk liga ini tak ada manfaatnya. Tak ada kegembiraan seperti yang saya rasakan saat saya masih menaruh harapan agar liga kita menjadi lebih baik. Kini harapan itu sudah saya buang jauh-jauh.
Meski Persebaya masih berkompetisi, saya tak punya semangat lagi menontonnya. Saya masih tetap sedih saat Persebaya kalah, namun kesedihan itu tidak berlarut-larut. Di liga yang tak lagi menjunjung tinggi sportivitas, kemenangan atau kekalahan tak lagi ada artinya.
Para petinggi PSSI yang telah terbukti gagal membawa prestasi juga tak pernah mengeluarkan pernyataan untuk mundur. Mereka malah sudah ancang-ancang menjabat lagi di kongres PSSI yang digelar tahun depan.
Sikap pesimis akan berubahnya Liga Indonesia membuat saya apatis dan antipati. Melihat potensi yang diabaikan segelintir orang-orang yang memanfaatkan liga ini untuk kepentingan pribadinya membuat saya muak.
Kapan Liga Indonesia bisa memberikan kegembiraan dan kebahagiaan kepada para suporter? Kapan sportivitas yang menjadi roh kompetisi dijunjung tinggi? Kapan PSSI menjadi federasi yang waras?
Rasanya pertanyaan-pertanyaan ini mustahil ada jawabannya. (*)
Catatan Penulis
Pentingnya Merawat Sejarah Persebaya, Agar Bonek Tidak Mudah Pindah Sebelah
Apa pentingnya sejarah? Banyak yang bilang pelajaran sejarah itu membosankan. Beberapa lirik lagu menyiratkan jika kita sebaiknya melupakan masa lalu.
“Yang lalu biarlah berlalu.”
Sepotong lirik lagu “Lamunan” milik Andromeda ini menyiratkan peristiwa di masa lalu tidak penting untuk dibahas. Namun bagi saya, peristiwa di masa lalu yang seringkali disebut sejarah itu sangat penting untuk dibicarakan.
Saya baru mengerti pentingnya sejarah setelah masalah dualisme Persebaya terselesaikan dengan baik. Persebaya yang sempat mati suri kembali dibangkitkan dan mengikuti kompetisi resmi di bawah PSSI.
Dan pahlawan yang membuat Persebaya berdiri kokoh adalah Bonek.
Namun, membangkitkan Persebaya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Bonek sempat terpecah antara mendukung Persebaya asli yang sarat masalah atau Persebaya sebelah yang penuh bintang.
Pada akhirnya, suara mayoritas Bonek tetap keukeuh mendukung Persebaya yang asli. Lem perekat yang membuat Bonek mantap memilih Persebaya yang bermarkas di Karanggayam adalah sejarah yang mesti dirawat.
Perlawanan atas ketidakadilan tidak harus memakai senjata, namun bisa dengan kata-kata. Dan bisa kita lihat saat Persebaya dalam periode mati suri, banyak Bonek menuliskan curahan hatinya di akun-akun Facebook pribadinya. Banyak Bonek yang menulis tentang sejarah Persebaya. Tulisan-tulisan itu menunjukkan dukungan mereka kepada tim kebanggaannya. Meski saat itu banyak hujatan dan makian dari pendukung Persebaya sebelah, mereka tetap teguh pendirian.
Ingatan saya akan dualisme Persebaya dan pentingnya merawat sejarah kembali hadir saat saya datang ke acara Mahakarya Bonek Campus #4. Bonek Campus mengundang pelatih Persebaya saat juara 2004, Jacksen F Tiago dan dua pemain skuad 2004, Uston Nawawi dan Chairil “Pace” Anwar. Acara yang diadakan di Kayoon Heritage, Minggu (18/11) ini memang mengusung tema “Spirit 2004”.
Dua pemain Persebaya saat ini, Atta Ballah dan Riswan Lauhin, juga dihadirkan. Tema yang diangkat Bonek Campus bukan tanpa alasan. Prestasi Persebaya musim ini kurang bagus. Meski di laga terakhir menorehkan sejarah dengan mengalahkan Arema FC di Kanjuruhan, Persebaya masih berada di papan tengah. Target 3 besar yang dicanangkan manajemen tampaknya susah diwujudkan. “Spirit 2004” memberikan pesan agar semangat juara tertanam di dada skuad Persebaya sekarang.
Acara yang berisi talkshow, pameran dokumentasi perjalanan Persebaya juara 2004, dan pertunjukan musik ini cukup ramai dihadiri Bonek. Mereka antusias mengikuti acara demi acara. Tak hanya Bonek lawas, Bonek muda pun datang ke acara yang lebih banyak membahas sejarah Persebaya itu.
Kehadiran Bonek di acara-acara seperti ini patut diapresiasi. Bonek telah sadar pentingnya merawat sejarah Persebaya. Merawat sejarah sangat penting karena bisa memperkuat akar Persebaya. Semakin kuat akar, Persebaya akan tetap berdiri kokoh meski ada banyak masalah menghadang.
Klub adalah representasi para pendukungnya. Setiap klub memiliki karakteristik tertentu yang mewakili suporternya. Bisa dikatakan, klub adalah cermin pendukungnya. Seperti Persebaya yang mengusung karakter kota Surabaya yang Wani dan Ngeyel, jati diri itulah yang selalu diperjuangkan Bonek. Sejarah selalu mengingatkan pentingnya menjaga karakter-karakter itu karena membawa memori Persebaya dari jaman ke jaman.
Persebaya yang lahir sejak 1927 mengusung karakter Surabaya yang selalu konsisten dijalankan stakeholder Persebaya dari tahun ke tahun. Penelitian-penelitian sejarah tentang Persebaya di masa lalu menjadi pelajaran generasi sekarang agar mereka terus memperjuangkan semangat para pendahulunya.
Sejarah juga bisa menjadi refleksi jika di masa mendatang terjadi konflik yang mengancam eksistensi Persebaya. Kita juga bisa belajar untuk tidak mengulangi kesalahan di masa lalu. Karena sejarah akan terus berulang sehingga kita dituntut tetap waspada. Dengan melek sejarah Persebaya, Bonek akan selalu membawa semangat timnya dan tak akan mudah tergoda untuk berpaling.
Di sinilah pentingnya sejarah karena mampu menghubungkan generasi sekarang dengan generasi pendahulu.
Acara-acara seperti ini harus selalu digelar di masa-masa mendatang. Agar Bonek tidak putus hubungan dan konsisten memperjuangkan apa yang diperjuangkan para pendahulunya. Saya yakin, Bonek akan amanah dalam memperjuangkan Persebaya hingga kapan pun. Dan itu sangat membanggakan.
Jika bukan Bonek, siapa yang akan merawat sejarah Persebaya? (*)
-
Catatan Penulis2 years ago
Terima Kasih AZA!
-
Catatan Penulis2 years ago
Saya Bertanya kepada Bonek tentang Arti Kemenangan Persebaya Atas Arema
-
In Memoriam Legend2 years ago
PSIM, Eri Irianto, dan Duka Persebaya
-
Statistik2 years ago
Bedah Strategi Pergantian Pemain Coach Aji Berdasarkan Data
-
Catatan Penulis2 years ago
Patah Hati Melihat Bonek dan Persebaya
-
Catatan Penulis2 years ago
Mengapa Azrul Mundur, Sebuah Perspektif
-
Musim4 years ago
Dualisme Persebaya, Era Kegelapan Dalam Sejarah Persebaya
-
Statistik2 years ago
Sho Me Your Guts!