Connect with us

Musim

Persebaya di Divisi I Liga Indonesia 2003

Published

on

Imbas dari hasil buruk di Liga Bank Mandiri VIII 2002, Persebaya akhirnya harus terdegradasi ke Divisi Satu untuk musim kompetisi tahun 2003. Ya benar, untuk pertama kalinya dalam sejarah klub, Persebaya Surabaya harus merasakan kompetisi kasta kedua di Indonesia.

Pengurus Persebaya melalui Ketua Umum-nya, Walikota Surabaya Bambang D.H., kemudian bergerak cepat untuk membentuk tim yang layak berkompetisi di kompetisi Divisi Satu. Untuk manajer tim, ditunjuklah H. Soeroso Mangunsubroto. Sedangkan pelatih tim ditunjuklah putra lokal asli Surabaya, Muhammad Zein Al Haddad.

Pasca terdegradasi, beberapa pemain inti Persebaya Surabaya meninggalkan klub yang bermarkas di Karanggayam ini. Diantaranya Bejo Sugiantoro, Uston Nawawi dan Agung Widodo. Beruntung beberapa pemain senior yang masih bertahan. Tiga diantaranya adalah Abdul Kirom, Khairil Anwar Ohorella dan Mursyid Effendi. Tiga nama pemain senior ini akan bahu membahu dengan nama-nama pemain muda terdahulu seperti Basuki, Mat Halil, Choirul Anam, Endra Prasetya dan Rahel Tuasalamony. Mereka akan bahu-membahu dengan rekrutan terbaru Persebaya seperti Erik Setiawan, Rahmat Affandi, Muhammad Irfan Junaidi (mereka bertiga adalah jebolan Timnas Indonesia U-19), May Rahman, Gunawan dan Bayu Cahyo.

Persebaya pun tak lupa untuk memaksimalkan kuota tiga orang pemain asingnya. Mereka adalah midfielder Brice Fomegne (Kamerun), striker Adelio Salinas (Paraguay) dan bek tengah Leonardo Gutierrez (Chili).

Kompetisi pun akhirnya dimulai. Persebaya memulai laga perdananya di kandang sendiri melawan  Persid Jember pada tanggal 13 April 2003. Di pertandingan ini Persebaya menang tipis 1-0 atas tamunya melalui gol tunggal Rahel Tuasalamony di menit ke-54. Inkonsistensi performa dan perrmainan di sepanjang putaran pertama membawa korban. Muhammad Zein Al Haddad dicopot dari jabatan pelatih. Penggantinya adalah Jacksen F. Tiago, mantan bintang Persebaya Surabaya. Sedangkan dua pemain asing yang flop, Brice Fomegne dan Adelio Salinas dicoret dari tim. Dua slot pemain asing ini diisi oleh Alfredo Figueora (Chili) dan Dejan Antonic (Montenegro), juga mantan pemain Persebaya Surabaya. Selain itu terjadi pergantian manajer tim. Dari H. Soeroso Mangunsubroto menjadi Haruna Soemitro.

Rentetan pergantian ini rupanya membawa dampak signifikan terhadap performa Persebaya. Penampilan Mursyid Effendi dkk begitu mengkilap di kandang sendiri dan tahan banting ketika bermain di luar kandang. Hasilnya akhirnya bisa ditebak, Persebaya Surabaya muncul sebagai Juara Kompetisi Divisi Satu 2003 dan berhak atas tiket promosi otomatis ke Kompetisi Divisi Utama Liga Bank Mandiri X 2004. (dpp)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Musim

Dualisme Persebaya, Era Kegelapan Dalam Sejarah Persebaya

Published

on

Seperti yang kita ketahui, Persebaya Surabaya adalah salah satu klub sepakbola paling tenar di Indonesia. Sepanjang sejarahnya, klub yang berdiri pada 18 Juni 1927 itu tidak hanya bergelimang gelar juara, namun juga harus melalui jalan penuh liku, terjal, dan yang pasti banyak mengalami masa-masa dramatis bak cerita film. Banyak pihak yang membenci keberadaan Persebaya, namun pastinya mereka akan mengakui, tanpa adanya tim Bajul Ijo persepakbolaan Indonesia tidak akan pernah lengkap seperti permainan puzzle yang kehilangan salah satu kepingannya.

Salah satu momen paling sulit, paling dramatis, dan bisa dibilang paling “gila” dalam sejarah Green Force adalah ketika tim ini terjerat dalam masalah “Dualisme Persebaya”. Dualisme ini awalnya berkembang dari perbedaan pendapat antar pengurus Persebaya yang sebenarnya itu wajar saja dalam dinamika organisasi. Namun karena permasalahan ini tidak mampu ditanggulangi di internal tim, maka akhirnya ter-eskalasi alias merembet kemana-mana dan menimbulkan konflik berkepanjangan selama 7 tahun (2010 – 2017).

Tulisan yang saya buat ini tidak bermaksud untuk menghakimi atau memihak siapapun, namun sifatnya hanya sekedar edukasi alias menambah wawasan, apa sebenarnya yang terjadi dalam “era kegelapan” Persebaya itu. Tulisan saya ini sebenarnya adalah kompilasi dari berbagai sumber berita yang saya anggap valid sebagai wacana penambah pengetahuan tentang tim Persebaya kita tercinta.

Bagaimana kisah Dualisme Persebaya terjadi dan bagaimana ending-nya?

Let’s check this out….

Kemerosotan Prestasi Persebaya

Setelah menjuarai Liga Indonesia 2004, Bonek tentunya ingin prestasi Persebaya terus meningkat, tidak hanya di level nasional, namun juga mancanegara. Namun apa yang didambakan Bonek ibarat impian manis belaka. Prestasi Persebaya naik turun bagai yoyo, bahkan yang lebih menyakitkan, Green Force harus bolak-balik mengalami degradasi (2005 dan 2010) dan sempat “tidak naik kelas” pada 2007, dimana karena hanya mempu bertengger di peringkat 14 grup timur.

Pada tahun 2005, Persebaya dipaksa degradasi ke Divisi I (kini setara Liga 2) setelah menolak bertanding melawan Persija Jakarta pada babak 8 Besar dengan alasan ada Bonek yang diculik dan diancam dibunuh oleh salah satu Ormas di Jakarta. Konsekuensi dari hal itu, Persebaya harus rela kalah WO 0-3 dari Persija, kehilangan gelar juara, dan harus turun kasta pada musim kompetisi 2006.

Namun karena kualitas teknik anak-anak Persebaya memang jauh di atas para kontestan Divisi I, maka tiket promosi dengan mudah digenggam Persebaya sekaligus meraih gelar Divisi I 2006 setelah mengalahkan Persis Solo 2-0 pada partai puncak di Stadion Brawijaya Kediri. Namun seperti ditulis di atas, Persebaya kembali tampil buruk saat berada di Divisi Utama 2007 /08 sehingga gagal lolos ke kompetisi model baru yang (katanya) berstandar AFC bernama Indonesia Super League alias ISL.

Hanya semusim “tinggal kelas” , Persebaya akhirnya dengan susah payah mendapat jatah promosi setelah pada babak play off 30 Juni 2009 tim ini sukses mengalahkan PSMS Medan 7-6 lewat adu penalti di Stadion Siliwangi Bandung. Dan disinilah drama dan tragedi dualisme dimulai…

Pembentukan Badan Hukum (PT. Persebaya Indonesia)

Pada 16 Juli 2009, Persebaya membentuk badan hukum PT. Persebaya Indonesia (PT PI) melalui Notaris Justiana, SH dengan nomor Akta 24. Diterbitkan pula surat pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan nomor AHU-42710.AH.01.01 tertanggal 11 Agustus 2009. Pembentukan PT PT PI dikuatkan dengan Surat PSSI melalui Badan Liga Indonesia, Nomor 0735/A-08/BLI-3.1/VII/09, tanggal 27 Juli 2009, perihal Pembentukan Badan Hukum Klub Persebaya Surabaya.

Dari akte tersebut, kepemilikan hanya dikuasai tiga orang, masing-masing Saleh Ismail Mukadar (50 persen), Cholid Goromah (30 persen) dan Suprastowo (20 persen). Menurut keterangan beberapa pihak, saham yang dimiliki Suprastowo mewakili Koperasi Surya Abadi Surabaya yang beranggotakan 30 klub internal Persebaya. Dalam struktur manajemen, Saleh bertindak selaku Komisaris Utama dan Cholid sebagai Direktur Utama.

Kemudian terdaftarlah Persebaya di bawah PT. Persebaya Indonesia di Badan Liga Indonesia sebagai klub profesional peserta kompetisi Liga Super Indonesia (ISL).

Mimpi Buruk ISL 2009/2010

Perjalanan Persebaya mengarungi ISL 2009/2010 ibarat mimpi buruk bagi seluruh punggawa tim dan Bonek. Dari segi materi tim dan pelatih sebenarnya tim ini tidak terlalu buruk, bahkan secara teknis setidaknya mereka bisa meraih papan tengah klasemen.

Namun apa daya, kekalahan demi kekalahan terus diterima Persebaya, bahkan pergantian pelatih dari Danurwindo ke Rudy William Keltjes tidak mampu mengatasi anjloknya prestasi Persebaya. Hingga menjelang akhir kompetisi, Persebaya masih mempunyai satu sisa laga tandang melawan Persik Kediri. Pertandingan ini sifatnya adalah “laga tunda”.

Sebelum melawan Persik Kediri, ini adalah posisi 3 tim terbawah (selain juru kunci Persitara yang sudah pasti terdegradasi):

  • Pelita Jaya FC peringkat 15 dengan 39 poin. Selisih gol -11 (42-53)
  • Persik Kediri peringkat 16 dengan 36 poin. (sisa 1 pertandingan, selisih gol -17 /38-55)
  • Persebaya Surabaya peringkat 17 dengan 36 poin.(sisa 1 pertandingan, selisih gol -13 / 42-55)

Dan ketiga tim tersebut sama-sama berjuang menghindari degradasi ke Divisi Utama, caranya harus berada diperingkat 15 klasemen akhir untuk mendapatkan tiket play-off dan harus menang melawan peringkat 4 Divisi Utama 2009 yakni Persiram Raja Ampat. Persebaya Surabaya berpeluang mendapatkan tiket play-off tersebut karena masih menyisakan 1 pertandingan akhir melawan Persik Kediri, sedangkan Pelita Jaya FC telah memainkan seluruh pertandingannya. Dan jika Persebaya Surabaya menang minimal 2 gol melawan Persik Kediri maka poinnya akan sama dengan poin milik Pelita Jaya FC namun Persebaya akan unggul dengan selisih gol (di musim ini penentuan peringkat berdasarkan selisih gol).

Pertandingan seharusnya digelar pada tanggal 29 April 2010, namun laga gagal digelar di Kediri karena pihak Persik selaku tuan rumah gagal mendapatkan izin dari kepolisian untuk menyelenggarakan pertandingan. Pihak Persik diberikan kesempatan untuk memindahkan tempat pertandingan ke Yogyakarta. Nahas, laga yang dijadwalkan akan digelar di Stadion Mandala Krida, Yogyakarta pada 6 Mei 2010 gagal digelar kembali. Kali ini pihak kepolisian Yogyakarta yang tidak memberikan izin.

Berdasarkan Manual Liga saat itu (pasal 26 ayat 6), ketika tim kandang gagal menggelar laga, hukumannya adalah kemenangan WO bagi tim tandang, sekaligus denda. Persebaya, yang ketika itu sudah datang ke Yogya, ditahbiskan oleh wasit menang WO dengan skor 3-0 atas tuan rumah Persik. Acara seremonial kemenangan WO Persebaya digelar oleh wasit saat itu.

Saat Persebaya berpikir bahwa mereka memenangkan pertandingan dan lolos ke zona play-off, sesuatu yang aneh terjadi. Pihak PT. Liga Indonesia selaku operator liga tidak memberikan kemenangan otomatis kepada tim Bajul Ijo. Sebaliknya, PT. Liga menerima pengajuan banding Persik dan memberikan kesempatan kepada Persik untuk menggelar laga kandang kembali di Kediri pada tanggal 5 Agustus 2010. Persik hanya didenda 25 juta oleh PSSI atas kegagalan mereka menyelenggarakan laga.

Kekesalan mulai muncul. Para Bonek yang merasa ada sesuatu yang janggal akhirnya mulai bergerak. Beberapa hari sebelum tanggal 5 Agustus, pesan singkat dan heroik tersebar melalui Blackberry Messenger dan media sosial. Isinya adalah: Kosongkan Surabaya, hijaukan Kediri. Bonek dari berbagai penjuru kota di Jawa Timur, tidak hanya Surabaya saja, mulai bergerak ke arah Kediri, ke Stadion Brawijaya. Mereka berniat melakukan protes karena pada dasarnya kemenangan sudah mutlak milik Persebaya.

Sesampainya di Kediri, Bonek malah kembali disuguhi sesuatu yang janggal. Stadion kosong. Pertandingan kembali gagal digelar karena izin dari kepolisian lagi-lagi tidak turun. Jika dirunut, sudah tiga kali (29 April, 7 Mei, dan 5 Agustus) pertandingan Persik lawan Persebaya kembali gagal digelar. PSSI mulai angkat bicara.

Diwakili oleh Sekjennya kala itu, Nugraha Besoes, PSSI mengungkapkan bahwa Manual Liga harus ditaati. Jika Manual Liga mengatakan bahwa Persik harus dihukum karena gagal menggelar laga kandang, hal itu harus dilakukan oleh PT. Liga selaku operator liga.

“Kalau memang gagal, saya serahkan sepenuhnya kepada PT. Liga selaku pengelola kompetisi untuk menjalankan aturan. Kalau di Manual Liga dinyatakan kalah, ya kalah. Aturan itu harus ditaati. Saya belum tahu bagaimana hitungannya dari Liga, apa mungkin dilakukan penjadwalan ulang,” ujar Besoes pada 5 Agustus 2010.

“Tapi, saya rasa itu hal yang sulit dilakukan karena mau bulan puasa dan musim kompetisi baru mau dimulai. Kalau memang tidak mungkin, ya, hukum saja,” tambahnya.

Namun pendapat beda malah diutarakan oleh Presiden Direktur PT. Liga Indonesia kala itu, Andi Darussalam Tabusalla. Ia malah mengungkapkan bahwa laga Persebaya lawan Persik akan kembali dijadwal ulang, dan keluarlah 8 Agustus 2010 sebagai tanggal baru penyelenggaraan laga Persebaya lawan Persik. Tempatnya pun sudah ditentukan, yakni di Stadion Gelora Sriwijaya, Jakabaring, Palembang.

Kali ini, pihak Persebaya yang sudah merasa lelah. Tiga kali kegagalan, dengan segala kontroversi di dalamnya membuat Bajul Ijo kesal dan merasa “di-dzalimi”. Akhirnya mereka memutuskan tidak datang ke Palembang, dan harus dihukum WO oleh PT. Liga. Persebaya kalah 0-3, dan mereka gagal menyalip Pelita Jaya. Persik pun gagal naik peringkat, karena mereka kalah selisih gol dari Pelita Jaya walau punya poin yang sama. Pelita Jaya? Tetap bertahan di LSI setelah menang babak play-off lawan Persiram Raja Ampat.

Menyeberang Ke Indonesia Premier League dan Meletusnya Prahara Dualisme

Kegagalan mengalahkan Persik dengan cara yang tidak adil membawa Green Force kembali terlempar ke kasta kedua sepakbola Indonesia (Divisi Utama). Setelah kompetisi yang menyakitkan itu usai, dan tim sedang dalam persiapan menyusun tim untuk berkompetisi di Divisi Utama, lagi-lagi Persebaya terkena masalah.

Status Persebaya sebagai tim peserta kompetisi Divisi Utama 2010/2011 terancam dicoret. Ini tak lepas adanya surat edaran dari PSSI ke seluruh klub. Dalam surat ini disebutkan, seluruh klub harus membayar denda musim lalu. PSSI memberikan deadline hingga 10 September 2010. Jika tidak bisa membayar atau melunasi tepat waktu, maka klub tersebut akan dicoret keikutsertaannya di liga.

Kekecewaan pun timbul dari Ketua Umum Persebaya, Saleh Ismail Mukadar. Ia mempertanyakan mengapa PSSI memberikan surat edaran yang waktu deadline-nya tepat di Hari Raya Idul Fitri 2010.

Karena tak kunjung memberikan konfirmasi, Badan Liga Indonesia akhirnya mengeluarkan surat nomor: 0156/A-08/BLI-3.1/X/2010 tentang Status Peserta Divisi Utama Liga Indonesia 2010-2011 per tanggal 5 Oktober 2010 yang menyatakan, Persebaya tidak valid mengikuti kompetisi 2010-2011. Menghadapi ancaman pencoretan tersebut, Saleh Ismail Mukadar pun akhirnya membawa Persebaya ikut kompetisi diluar PSSI, yakni Liga Primer Indonesia yang digagas pengusaha Arifin Panigoro. Berdasarkan informasi yang didapat, setiap tim yang bersedia ikut kompetisi IPL dijanjikan akan mendapat bantuan subsidi Rp 10-30 Miliar setaip musimnya. Sebuah jumlah yang luar biasa besarnya.

Selain harus berlawanan dengan PSSI, Saleh dan Persebaya yang dipimpinnya juga menghadapi perlawanan dari internal Pengcab PSSI Surabaya. Sebelumnya, beberapa klub internal yang tidak puas dengan kepemimpinan Saleh (dimotori oleh Suryanaga) menggelar Muscablub di Hotel Utami. Dalam Muscablub tersebut terpilihlah Ketua DPRD Surabaya, Wishnu Wardhana (WW) sebagai Ketua Umum. Kekuatan Wishnu semakin menguat setelah mendapat dukungan dari Pengprov PSSI Jatim, pimpinan Haruna Soemitro. Selama ini, Haruna memang memiliki hubungan tidak harmonis dengan Saleh. Akhirnya Pengcab versi Wishnu lah yang diakui Pengprov.

Konflik antara Saleh dan Wishnu mau tidak mau membuat klub-klub internal / anggota Persebaya juga terbelah menjadi dua.

Klub anggota pendukung Persebaya versi Wishnu adalah:

  1. Rheza Mahasiswa (klubnya Gede Widiade)
  2. SFC (Ibnu Grahan)
  3. Reedo (Haruna Sumitro)
  4. Kresno Indonesia
  5. Suryanaga
  6. Setia Naga Kuning
  7. Asyabaab
  8. PSAD
  9. Mitra Surabaya
  10. Putra Indomaret

Sedangkan Klub anggota pendukung Persebaya versi Saleh Mukadar adalah:

  1. Semut Hitam
  2. Anak Bangsa
  3. TEO
  4. PSAL
  5. Polda Jatim
  6. PS Pelabuhan
  7. Putra Mars
  8. Fatahillah
  9. Sasana Bhakti
  10. Al Rayyan
  11. Untag Rosita
  12. Haggana
  13. Maesa
  14. Indonesia Muda
  15. Bintang Timur
  16. Bintang Angkasa
  17. HBS
  18. El Faza
  19. Pusura
  20. FFC

Dengan cepat, Wishnu menggelar Musyawarah Anggota, yang dihadiri oleh klub-klub internal Persebaya pendukung kubu Wishnu untuk menjadi ketua umum Persebaya. Tapi Saleh dan para pendukung setianya, tetap memimpin Pengcab dan Persebaya. Di Pengcab, jajaran pengurus Saleh, tetap memutar kompetisi internal 2010-2011, tentu tanpa klub-klub yang mendukung Wishnu.Selanjutnya, Saleh mencanangkan membawa Persebaya ke LPI. Sementara itu Wishnu lebih memilih untuk meneruskan langkah Persebaya di Divisi Utama, yang padahal pada waktu itu status keikutsertaan Persebaya sudah dicoret oleh Badan Liga Indonesia.

Untuk menghindari pencoretan Persebaya, Wishnu kemudian mengirim surat pada PSSI Pusat per tanggal 5 Oktober 2010. Dalam surat bernomor 064/PengcabPSSI-Sby/X/2010 itu, Wisnu meminta kelonggaran pendaftaran Persebaya sebagai tim anggota kompetisi Divisi Utama 2010-2011. Surat Wishnu tersebut akhirnya berbuah manis dengan diijinkannya Persebaya mendaftar kembali sebagai peserta Divisi Utama, berdasarkan surat PSSI bernomor 2503/PGD/72/X-2010. Dalam surat yang ditandatangani Ketua Umum PSSI Nurdin Halid dan Sekjen PSSI Nugroho Besoes itu, PSSI mengizinkan Wisnu mengambil langkah untuk penyelesaian konflik Persebaya.

Saleh Ismail Mukadar (kiri) dan Wisnu Wardhana (kanan). Foto: Goal.com

Untuk menyelesaikan tenggat waktu pembentukan tim, Wishnu Wardhana akhirnya membeli satu paket pemain dan pelatih Persikubar Kutai Barat. Wishnu pun menjanjikan seluruh proses pembelian dan gaji pemain akan dibayarkan ketika Persebaya pimpinannya mendapat APBD. Anggaran itu, menurut Wishnu, akan dimasukkan ke dalam mekanisme hibah melalui Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Surabaya, yang diteruskan ke PSSI Surabaya, sebelum dikucurkan untuk membiayai seluruh pengeluaran Surabaya selama mengarungi musim kompetisi Divisi Utama.

Wisnu Wardhana mengatakan, Persebaya yang asli adalah yang ikut kompetisi resmi PSSI. “Persebaya yang lain, yang ikut kompetisi di luar PSSI itu ilegal. Mereka tak resmi sehingga akan lenyap dengan sendirinya,” ujar Wishnu. Memang demikianlah alasan utama Persebaya versi Wishnu ingin tetap berlaga di kompetisi resmi PSSI, yaitu karena bagaimanapun PSSI tetaplah badan resmi sepakbola Indonesia yang diakui oleh FIFA, maka Persebaya-pun juga ingin tetap berlaga di kompetisi resmi yang punya legalitas, bukan kompetisi yang sifatnya “sempalan”atau “breakaway league” yang tidak punya legalitas seperti IPL. Wishnu dan para pendukungnya juga berpendapat bahwa jika Persebaya mengikuti IPL, maka Persebaya pasti akan dikeluarkan dari keanggotaan PSSI dan menjadi tidak jelas nasibnya.

Persebaya DU. Foto: Ligaolahraga.com

Dalam musim kompetisi 2010-2011, dua tim Persebaya akhirnya berjalan di kompetisinya masing-masing. Persebaya versi Saleh Ismail Mukadar yang berganti nama menjadi “Persebaya 1927” sesuai saran Polda Jatim agar ijin pertandingannya bisa turun (Persebaya versi Wishnu yang lebih dulu mendaftarkan ijin pertandingan ke Polda Jatim atas nama “Persebaya Surabaya”). Persebaya versi Saleh kemudian mengikuti LPI dan berhasil menjuarai LPI meski berjalan cuma setengah musim. Sementara itu, Persebaya versi Wishnu Wardhana berakhir cukup tragis. Semestinya, menurut regulasi kompetisi, Persebaya Divisi Utama harus degradasi ke Divisi Satu. Hal ini menyusul dihukumnya Persebaya dengan pengurangan poin karena memainkan pemain illegal, Sulkhan Arif. Bek Persebaya ini dianggap illegal karena sudah terkena akumulasi kartu kuning, tapi tetap dimainkan oleh Persebaya.

Dengan pengurangan poin ini Persebaya nyaris terdegradasi lagi ke Divisi I. Nasib Persebaya tertolong hasil kongres II PSSI di Bali yang menambah kuota kontestan Kompetisi menjadi 44 klub. Beruntungnya lagi, ada perusahaan yang bersedia membantu keuangan Persebaya dan juga menjadi badan hokum Persebaya versi Wishnu Wardhana yaitu PT. Mitra Muda Inti Berlian. PT MMIB adalah sebuah perusahaan konstruksi yang berdiri pada tahun 2000 dengan direktur Diar Kusuma Putra. Perusahaan ini membekingi Wisnu Wardhana dalam mendaftarkan Persebaya sebagai peserta kompetisi musim 2011/2012. PT. MMIB resmi menjadi badan hukum Persebaya versi Wishnu Wardhana pada 30 Juli 2011.

Cerita kemudian berlanjut saat reformasi PSSI yang berakibat tergulingnya Nurdin Halid dan Nugraha Besoes dari kursi Ketua Umum dan Sekjen PSSI. Pada 9 Juli 2011, Kongres Luar Biasa PSSI di Solo berhasil memilih Ketua Umum dan Komite Eksekutif PSSI yang baru, untuk masa kerja 2011 hingga 2015. Setelah berganti nahkoda ke tangan Djohar Arifin Husein, PSSI memutuskan mengganti kompetisi, dari semula Indonesia Super League (ISL) dibawah pengelolaan PT. Liga Indonesia menjadi Indonesia Premier League (IPL) dibawah pengelolaan PT. LPIS.

Beberapa klub yang tidak setuju dengan kebijakan PSSI ini termasuk PT. LI akhirnya membentuk kompetisi tandingan dan tetap melanjutkan ISL beserta kompetisi turunannya. Jadilah de ja vu, dan roda pun berputar. Jika sebelumnya LPI menjadi kompetisi ilegal, kini ISL menjadi kompetisi ilegal.

Di internal Pengcab PSSI Surabaya pun ikut terjadi gejolak. Posisi Wishnu Wardhana, yang semula direstui PSSI era Nurdin Halid sebagai ketua Pengcab PSSI Surabaya dan Ketua Umum Persebaya akhirnya terguling. Ini setelah 29 dari 30 klub anggota PSSI Surabaya sebagai pemegang saham klub Persebaya menyetujui mengangkat Ketua PSSI Surabaya, Cholid Ghoromah sebagai Ketua Umum Persebaya dalam musyawarah anggota luar biasa (Musanglub) yang berlangsung di mes Eri Irianto pada 10 Agustus 2011.

Usai terpilih menjadi ketua umum, Cholid mengatakan, dia akan langsung mengirimkan kesediaan Persebaya untuk mengikuti kompetisi yang digagas PSSI musim depan. “Setelah ini, Saya ingin tidak ada lagi dua Persebaya. Baik itu Persebaya Divisi Utama atau Persebaya 1927, yang ada hanya Persebaya”, janji Cholid. Wacana merger pun digulirkan.

Sayangnya, Wishnu Wardhana tidak mengakui kepemimpinan Cholid. Wishnu beralasan terpilihnya Cholid melalui proses yang tidak sah. Karena itulah Wishnu tetap ngotot untuk membawa Persebaya pimpinannya mengikuti kompetisi Divisi Utama versi PT. Liga Indonesia.

Atas hal tersebut, Ketua Umum Persebaya Wishnu Wardhana dan pengurus Persebaya mengadu ke Pengurus Provinsi PSSI Jawa Timur sebagai kepanjangan anggota PSSI Pusat. Selanjutnya, Ketua Umum Pengprov PSSI Jawa Timur berencana memanggil kedua pihak untuk duduk bersama.

Pada tanggal 25 Agustus 2011, PSSI Pusat melalui Komite Kompetisi Sihar Sitorus memanggil Wishnu Wardhana dan Cholid Goromah ke kantor PSSI Pusat. Dalam pertemuan itu, dengan disaksikan pula Ketua Umum PSSI Djohar Arifin dan Wakil Ketua Umum Farid Rahman serta Ketua Komisi Disiplin Benhard Limbong, dan Sekretaris Pengprov PSSI Jawa Timur Akhmad Munir. Diputuskan agar Wishnu Wardhana dan Cholid Goromah melakukan mediasi dengan mediator Ketua Umum Pengprov PSSI Jatim, yang juga Ketua Komite Hukum PSSI, La Nyalla Mahmud Mattalitti.

La Nyalla Mattalitti. Foto: Cnnindonesia.com

Atas tugas tersebut La Nyalla Mahmud Mattalitti mengundang kedua pihak dan semua klub anggota Persebaya untuk bertemu di Hotel Singgsana Surabaya pada 28 Agustus 2011. Namun, Cholid Goromah dan sejumlah klub anggota Persebaya yang menyatakan mendukung Cholid Goromah ternyata tidak hadir dalam meeting ini. Pertemuan hanya dihadiri satu pihak, yakni Wishnu Wardhana dan 7 klub anggota Persebaya.

Agar konflik tidak makin berlarut-larut, maka Komite Eksekutif PSSI kemudian memutuskan bahwa Persebaya Surabaya harus membentuk perseroan terbatas (PT) baru dalam waktu 30 hari terhitung mulai Sabtu (1/10/2011).

Komposisi kepemilihan saham pada PT baru tersebut adalah 40 persen dimiliki klub-klub anggota Persebaya, 30 persen PT Persebaya Indonesia atau dikenal dengan kubu Persebaya Cholid Goromah, dan 30 persen PT Mitra Muda Inti Berlian atau kubu Persebaya Wishnu. Sambil menunggu PT baru terbentuk, utuk sementara pengelolaan Persebaya ada di tangan PT Persebaya Indonesia.

Sayangnya wacana merger ini kemudian tidak dijalankan oleh pihak Wishnu Wardhana. PT. MMIB mendadak bermanuver untuk melepaskan diri dari kesepakatan. Pertama mereka tak menyetor modal awal senilai 30 persen saham yang dimiliki untuk PT baru. Kemudian PT yang dipimpin Diar Kusuma Putra itu memutuskan untuk mengikuti kompetisi di bawah payung PT Liga Indonesia.

Ketua Executive Committee (Exco) PSSI bidang hukum La Nyalla M. Mattalitti yang juga menjabat sebagai ketua Pengprov PSSI Jatim itu menyatakan PT MMIB akan berjalan sendiri. Artinya, dia tidak akan mempermasalahkan lagi mengenai saham 30 persen yang menjadi hak PT MMIB dalam proses merger dengan PT PI dan klub anggota Persebaya. Menurut Nyalla (yang dalam prahara dualisme ini memihak Persebaya versi MMIB) jalan Persebaya ke Indonesia Premier League (IPL) merupakan hadiah dari PSSI.

Memang kehadiran Persebaya 1927 langsung di kasta tertinggi kerap dipermasalahkan para pendukung Persebaya versi MMIB karena jika memang mereka (Persebaya 1927) mengaku sebagai Persebaya yang asli, maka seharusnya mereka memulai kompetisi dari kasta kedua (Divisi Utama) karena di waktu terakhir Persebaya mengikuti kompetisi resmi PSSI (2009/2010), statusnya adalah terdegradasi ke Divisi Utama.

Kembali ke La Nyalla, Pengumuman sang pendiri YSS itu cukup mengejutkan. Sebab sebelumnya manajemen PT MMIB sudah sepakat dengan keputusan PSSI atas prosentase pembagian saham di PT yang baru. Lagipula PSSI menyatakan jika salah satu pihak tak menyetujui keputusan tersebut, maka hak akan diberikan kepada pihak yang bersedia. Malah PT MMIB sudah menjanjikan 2 persen saham dari 30 persen yang didapatkan diberikan kepada dua komponen bonek, YSS dan PFC.

Jadilah Persebaya tetap terbelah dua. Persebaya dibawah PT. MMIB memutuskan melanjutkan karirnya di kompetisi Divisi Utama versi PT. Liga Indonesia. Untuk meraih simpati suporter (Bonek), PT. MMIB berjanji komitmen mereka perihal 2 persen saham untuk komponen Bonek YSS dan PFC tak akan berubah.

Sementara itu, Persebaya dibawah PT. Persebaya Indonesia akhirnya resmi terdaftar sebagai peserta kompetisi IPL, yang saat itu diakui sebagai kompetisi yang resmi dan legal. Otomatis, keberadaan klub Persebaya (1927) pun ikut menjadi legal pula. Sedangkan ISL yang awalnya kompetisi legal, berubah status menjadi “breakaway league” alias illegal.

Tampaknya segala sesuatunya akan baik-baik saja bagi Persebaya 1927. IPL menjadi kompetisi yang sah, dan pada IPL musim 2011/12 Persebaya 1927 sukses menjadi runner up di bawah Semen Padang. Sedangkan Persebaya versi MMIB atau saat itu lebih dikenal sebagai Persebaya Divisi Utama (DU) gagal lolos ke ISL setelah hanya menduduki peringkat III grup B dalam babak 8 Besar Divisi Utama.

Namun roda kehidupan pun berputar kembali. PSSI akhirnya bergejolak lagi dan kembali kepada pangkuan orang-orang yang dulu pernah disingkirkan. Perlawanan yang dilakukan KPSI (Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia) yang didirikan oleh La Nyalla dkk sukses menggoyahkan PSSI yang dipimpin Djohar Arifin Husin. Kompetisi IPL, yang semula diakui sebagai kompetisi yang sah akhirnya harus rela tergusur seiring hasil KLB yang mensyaratkan adanya liga unifikasi yang didominasi oleh klub ISL (liga yang di era Nurdin Halid kompetisi yang legal, di awal era Djohar Arifin illegal, namun setelah perlawanan KPSI menjadi legal kembali). Sayangnya, karir Persebaya (1927) juga harus berhenti.

Ini karena PSSI saat ini tidak mengakui legalitas klub dengan alasan adanya dualisme, dan yang diakui PSSI adalah Persebaya versi PT. MMIB yang bermain di Divisi Utama. Kiprah Persebaya 1927 pun harus berakhir dengan tragis, tunggakan gaji pemain belum terselesaikan, sang patron IPL (Arifin Panigoro) pun juga sepertinya enggan berkecimpung lagi di ranah sepakbola Indonesia. Di sisi lain, Persebaya versi MMIB alias Persebaya DU, sukses meraih promosi ke ISL dengan status juara Divisi Utama setelah mengalahkan Perseru 2-0 di Stadion Manahan Solo, 14 September 2013.

Persebaya 1927 yang sempat diakui keberadaannya oleh PSSI, tentu saja berang dengan tidak diakuinya mereka sebagai anggota PSSI. Direktur Utama PT. Persebaya Indonesia Cholid Goromah kepada wartawan di Surabaya, Selasa (8/10/2013), mengatakan bahwa pihaknya segera melakukan koordinasi dan kajian untuk membawa masalah tersebut ke pengadilan umum maupun lembaga arbitrase. “Kami akan mengajukan gugatan ke pengadilan niaga dan juga pengadilan umum di Jakarta terkait dengan status keanggotaan Persebaya yang tidak diakui oleh PSSI,” katanya saat menyampaikan enam butir keputusan hasil rapat manajemen.

Dalam pernyataannya, Cholid mengingatkan bahwa pamer kesewenang-wenangan yang dilakukan PSSI selama ini tidak akan menyelesaikan masalah, tetapi justru menunjukkan sikap PSSI yang jauh dari sportivitas dan fair play sebagai urat nadi sepak bola.

“Kami mendesak PSSI untuk meralat kebijakannya dan mengakui kembali eksistensi Persebaya. Sejarah panjang klub ini tidak bisa dihilangkan begitu saja oleh selembar SK (surat keputusan) atau keputusan tidak berdasar,” ujarnya.

Selain itu, manajemen Persebaya 1927 juga mendesak Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo serta pihak terkait untuk turun tangan membantu menyelesaikan masalah ini.

“Menpora selaku wakil dari negara memiliki tanggung jawab untuk memastikan tidak ada anak bangsa ini yang terdzolimi,” tambah Cholid.

Namun PSSI yang dimotori La Nyalla Mattaliti tetap tidak goyah untuk menolak keberadaan Persebaya 1927. Menurut La Nyalla, Persebaya 1927 sudah terlanjur mengikuti IPL, dan dari awal dia sendiri juga sudah yakin bahwa Persebaya yang sah adalah Persebaya versi MMIB, bukan Persebaya yang lain.

Ketika PSSI mengadakan Kongres tahunan di Hotel Shangri-La Surabaya 26 Januari 2014, Bonek melakukan demo besar di depan hotel, menuntut pengakuan kembali Persebaya 1927 oleh PSSI, namun PSSI sendiri tetap bergeming dan tidak mengagendakan tuntutan Bonek. Pada tahun 2014 ini praktis Persebaya 1927 mati suri dan Persebaya ISL versi MMIB meskipun merekrut para pemain bintang dan menjadi tim elit namun tetap sepi penonton karena dukungan Bonek lebih banyak diberikan pada Persebaya 1927. Persebaya ISL akhirnya juga gagal meraih juara karena gagal lolos ke babak semifinal ISL 2014.

Pembekuan PSSI oleh Menpora

Pada awal 2015, PSSI akhirnya dibekukan oleh Pemerintah RI melalui Kemenpora. Pembekuan ini berawal dari rencana PSSI menggelar ISL 2015 pada pertengahan Februari 2015. Namun, Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) merekomendasikan agar PSSI menunda kick off ISL. Karena ada sejumlah klub yang tidak memenuhi syarat administrasi.

Akhirnya PSSI sepakat untuk menunda kick off ISL. Dan diputuskan liga sepak bola terbesar di Indonesia itu akan digelar 4 April 2015. Namun, kisruh tak selesai sampai di situ. BOPI masih tetap merestui liga berjalan, asalkan 2 klub yang bermasalah dalam hal legalitas (Arema Cronus dan Persebaya ISL) tak diikutsertakan.

Namun, PSSI bergeming. Mereka tetap menggelar kompetisi pada 4 April dengan mengikutsertakan Arema Cronus dan Persebaya ISL. BOPI pun kemudian melayangkan surat teguran dan meminta agar liga dihentikan.’Kisruh’ ini pun sempat membuat Liga Indonesia (QNB League) dihentikan sementara. Liga akan dimulai lagi setelah Kongres PSSI digelar.

Namun, sebelum PSSI selesai menggelar kongres, Menpora Imam Nahrawi mengeluarkan surat keputusan: PSSI Dibekukan pada 17 Februari 2015. FIFA yang mengharamkan intervensi langsung dari pemerintah dalam suatu federasi sepakbola akhirnya juga turut membekukan PSSI dari segala aktivitas sepakbola internasional.

Kongres PSSI pun menelurkan hasil memilih La Nyalla Mattaliti sebagai Ketua Umum 18 Februari 2015 (saat organisasi itu sudah dibekukan oleh PSSI).

Pertarungan di Meja Hijau

Setelah PSSI dibekukan oleh Menpora, kubu Persebaya 1927 seperti mendapat angin segar. Pada 27 Maret 2015, kubu Persebaya 1927 menggugat Persebaya MMIB ke Pengadilan Negeri Surabaya. Inti gugatanya adalah meminta agar Pengadilan Negeri (PN) Surabaya menyatakan klub Sepak Bola milik PT. Mitra Muda Inti Berlian cacat hukum, dan meminta agar PN Surabaya menyatakan PT. Persebaya Indonesia sebagai pengelola klub Persebaya Surabaya Surabaya.

Namun setelah berbulan-bulan menjalani sidang, akhirnya gugatan tersebut gugur pada 4 November 2015 karena sengketa yang diajukan oleh PT.Persebaya Indonesia merupakan sengketa pengelolaan klub yang bernaung dibawah PSSI, oleh karenanya harus diajukan melalui forum arbitrase yang ditunjuk oleh PSSI, dan Pengadilan Negeri Surabaya menyatakan tidak berwenang untuk mengadili dan memeriksa perkara tersebut.

Namun pada 21 September 2015, Kemenkumham berikan hak atas kekayaan intelektual Persebaya Surabaya kepada PT. Persebaya Indonesia. Keputusan itu dituangkan dalam sertifikat merek yang diterbitkan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (Ditjen KI) Kemenkumham di Jakarta, Senin (21/9) kemarin. Surat itu ditandatangani Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual atas nama Menkumham.

Atas dasar surat tersebut maka logo dan nama “Persebaya Surabaya” pun menjadi hak bagi Persebaya 1927 alias Persebaya versi PT. Persebaya Indonesia. Dampak dari keputusan Kemenkumham ini adalah Persebaya versi PT. MMIB harus menanggalkan segala sesuatu yang bernama “Persebaya” dari tim tersebut.

Hal ini menjadi pukulan kedua bagi Persebaya versi MMIB. Pukulan pertama diawali dari keikutsertaan di Piala Presiden 2015. Kala itu, Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) mengancam Persebaya di bawah PT Mitra Muda Inti Berlian (MMIB) tidak bisa ikut turnamen garapan Mahaka Sports and Entertainment itu jika tidak mengubah nama.

Demi mendapatkan izin tampil di turnamen tersebut, PT MMIB di bawah kendali I Gede Widiade selaku pengelola klub melunak. Nama United pun ditambahkan di belakang nama Persebaya, jadi Persebaya United. Meski keputusan mengganti nama tersebut menuai kecaman dari banyak orang, klub tersebut jalan terus dengan dalih tambahan nama United hanya berlaku selama turnamen, sementara nama mereka di daftar keanggotaan PSSI tidak berubah.

Namun di tengah turnamen berjalan, tepatnya beberapa hari sebelum leg kedua babak 8 besar Piala Presiden 2015 antara Persebaya United dengan Sriwijaya FC berlangsung, bersamaan dengan dikeluarkannya sertifikat hak paten nama dan logo Persebaya yang dikeluarkan Dirjen Hak Kekayakaan Intelektual (HKI) Depkum HAM untuk PT Persebaya Indonesia (21/9/2015), BOPI lagi-lagi meminta Persebaya United menanggalkan nama Persebaya. Melalui proses tawar menawar yang alot, pemilik saham mayoritas PT MMIB, I Gede Widiade, secara sepihak mengganti nama klub menjadi Bonek FC. Klub ini lantas turun di leg kedua babak 8 besar Piala Presiden 2015 di Palembang (27/9/2015) dengan nama Bonek FC.

Kali ini kecaman datang lebih besar. Tidak hanya menjadi olok-olok netizen di media sosial, Bonek Mania di bawah naungan Yayasan Suporter Surabaya (YSS), yang sebelumnya mendukung Persebaya, mulai gerah dengan nama Bonek FC tersebut. Fans melakukan protes keras terhadap keputusan manajemen PT MMIB. Gelombang besar protes itu membuat Gede kembali mengganti nama klub seusai Bonek FC tersingkir dari Piala Presiden. Mereka harus menepi setelah dinyatakan kalah WO akibat mundur saat pertandingan masih berjalan. Nama Surabaya United pun dipilih sebagai ganti Bonek FC.

Ternyata keputusan itu tak serta-merta menuai respons positif dari Bonek Mania. Bahkan saat itu para dedengkot Bonek Mania menegaskan bahwa mereka menolak memberikan dukungan pada Surabaya United di Piala Jenderal Sudirman. Namun, kali ini penolakan serta ancaman yang diterima manajemen PT MMIB tak diindahkan. Mereka tetap menggunakan nama tersebut di sejumlah turnamen yang mereka ikuti, seperti Piala Gubernur Kaltim 2016 dan turnamen segitiga di Ciamis lalu.

Mendekati gelaran Torabika Soccer Championship (TSC) 2016 Presented by IM3 Ooredoo digulirkan, tepatnya pada 12 April 2016, keputusan mengejutkan dibuat petinggi Surabaya United ketika menjual saham sebesar 39 persen kepada PS Polri. Penjualan saham tersebut membawa konsekuensi terjadinya sejumlah perubahan.

Selain pergantian logo, serta masuknya sejumlah petinggi PS Polri di jajaran manajemen klub, nama klub tersebut kembali berubah, kali ini menjadi Bhayangkara Surabaya United. Kelak nama klub ini akan berubah lagi menjadi Bhayangkara FC seperti yang kita kenal sekarang setelah seluruh sahamnya diambil alih POLRI.

Walaupun sudah memegang rekor gonta-ganti nama klub 4 kali dalam 1 tahun, Persebaya versi MMIB sebenarnya masih berharap bisa merebut kembali merk dan logo Persebaya Surabaya. Meskipun Kemenkumham sudah menyatakan bahwa merk dan logo Persebaya Surabaya sudah menjadi milik Persebaya versi PT. Persebaya Indonesia, mereka masih mengajukan gugatan kepada PT. Persebaya Indonesia di Pengadilan Negeri Surabaya.

Namun setelah melalui beberapa persidangan, Gugatan merk dan logo Persebaya yang diajukan PT Mitra Muda Inti Berlian (MMIB), ditolak majelis Pengadilan Niaga (PN) Surabaya, Kamis (30/6). Atas penolakan itu, merk dan logo yang disengketakan resmi menjadi milik PT. Persebaya Indonesia (tergugat) yang menaungi klub Persebaya 1927. Putusan dibacakan Ketua Majelis Hakim Ari Jiwantara di ruang sidang Cakra. Ari menilai, PT Persebaya Indonesia adalah yang pertama kali mendaftarkan merk dan logo Persebaya. Dengan begitu, Hakim berpendapat jika merk dan logo tetap sah sebagai milik klub sepak bola yang identik dengan Persebaya 1927 itu.

“Menolak seluruhnya, gugatan PT Mitra Muda Inti Berlian,” kata Ketua Majelis Hakim Ari Jiwantara dalam putusannya, Kamis, 30 Juni 2016. Meski menolak dalil penggugat sepenuhnya, Hakim juga memutuskan untuk tidak menerima gugatan balik atau rekonvensi dari PT Persebaya Indonesia selaku tergugat. Sebelumnya, melalui rekonvensinya, tergugat meminta Hakim agar menghukum PT MMIB dengan denda karena telah menggunakan merk dan logo Persebaya 1927. “Demikian putusan ini untuk dipatuhi dan dijalankan sebagaimana ditetapkan dalam persidangan,” tandas Hakim Ari Jiwantara.

Menurut informasi dari Nicholas Dammen selaku Kuasa Hukum PT Persebaya Indonesia, merk dan logo Persebaya sudah didaftarkan pertama kali oleh PT Persebaya Indonesia di tahun 2013. “Sedangkan MMIB baru mendaftarkan pada 2015,” akunya.

Sementara itu, ribuan massa Bonek yang memblokade Jl. Raya Arjuno, langsung menyambut gembira putusan Hakim. Mereka menyerukan yel-yel dan menyalakan flare di sepanjang lokasi Pengadilan Negeri Surabaya. Beberapa petasan yang dinyalakan semakin meriuhkan lokasi demonstrasi.

Dengan fakta ini, secara de jure, berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri Surabaya ini dualisme Persebaya bisa dikatakan telah berakhir dengan kemenangan PT. Persebaya Indonesia.

Bonek melakukan aksi menuntut Persebaya kembali disahkan sebagai anggota PSSI. Foto: indosport.com

Diterima Kembali Sebagai Anggota PSSI

Setelah keputusan dari pengadilan ini segala sesuatunya menjadi lebih jelas. Persebaya versi MMIB telah diakuisisi oleh POLRI dan menjadi Bhayangkara Surabaya United (kemudian menjadi Bhayangkara FC). Namun Persebaya 1927 yang sudah resmi memegang nama “Persebaya Surabaya”masih menuntut agar mereka diakui kembali dan berkompetisi di bawah naungan PSSI.

Pada 1 Agustus 2016, suporter Persebaya, Bonek, melakukan aksi “Geruduk Jakarta” untuk mendukung Persebaya diakui kembali oleh PSSI. Di Jakarta, Bonek akhirnya ditemui oleh anggota Komite Eksekutif PSSI Tony Apriliani. Dia berjanji akan membantu perjuangan Persebaya dalam Kongres Pemilihan bulan Oktober 2016. Menurut Toni , dia mendapat pesan bahwa La Nyalla yang saat ini mendekam di penjara karena terbelit masalah dana hibah APBD Jawa Timur, mendukung Persebaya 1927 untuk kembali masuk ke dalam anggota PSSI.

Bonek saat aksi “Geruduk Jakarta”. Foto: emosijiwaku.com

“Saya jenguk La Nyalla kemarin. Dia sudah merestui Persebaya 1927 kembali aktif. Saya tanya, apakah nasib Persebaya sudah boleh diputihkan? Dia langsung bilang ya, silakan diputihkan,” kata Toni menjelang Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI di Jakarta, Rabu (3/8/2016). Selanjutnya, Toni tinggal mengumpulkan 10 tanda tangan melalui KLB PSSI agar Persebaya 1927 bisa diakui PSSI dan mengikuti berbagai kegiatan nasional. “Saya akan kumpulkan 10 tanda tangan. Persebaya akan masuk dalam peserta KLB pemilihan Ketum PSSI, Oktober mendatang,” tutup Toni.

Kongres itu sendiri akhirnya mundur dan baru bisa terlaksana pada tanggal 10 November 2016. Namun ternyata harapan Persebaya untuk bisa berkompetisi pada musim depan tampaknya jauh panggang dari api. Sebab, agenda pembahasan penghapusan sanksi Persebaya dan lima klub lainnya ditolak oleh mayoritas voters yang hadir dalam Kongres di Hotel Mercure Ancol, Jakarta Utara.

Total ada 84 voters yang menolak agenda pemulihan status dibahas dalam kongres kali ini, sementara pemilik suara yang menerima agenda pembahasan hanya 10 saja. Lantaran kalah dalam pemungutan suara, agenda pembahasan pemutihan hukuman kepada Persebaya dan lima klub lain tidak dibahas.

Karuan saja, hal ini membuat perwakilan Persebaya kecewa berat. Dua wakil Persebaya yang datang sebagai peninjau di Kongres PSSI kali ini, Direktur Pengembangan dan Bisnis Persebaya, Kardi Suwito, dan manajer Persebaya, Choesnoel Farid, mempertanyakan alasan forum menolak agenda ini untuk dibahas. Mereka juga mempertanyakan janji Komite Eksekutif (Exco) PSSI yang menyatakan tinggal menunggu pengesahan di kongres saja. Sebelumnya, melalui rapat Exco PSSI di Solo September lalu, memutuskan status Persebaya dan lima klub lain dipulihkan. Namun, kenyataannya di Kongres PSSI kali ini mayoritas voters menolak untuk dibahas.

Persebaya harus menunggu hingga hampir 2 bulan atau tepatnya pada 8 Januari 2017 akhirnya tim kebanggaan Arek-areak Suroboyo itu diakui kembali sebagai anggota PSSI.

“Terkhusus untuk Surabaya, tanpa mengecilkan klub lainnya, izinkan saya untuk menentukan ini. Persebaya saya tetapkan masuk Divisi Utama,” kata Edy yang langsung disambut tepuk tangan peserta kongres. “Saya tidak mau tanya lagi setuju atau tidak setuju. Langsung saja saya ketuk palunya sebagai tanda setuju,” ujar pria berpangkat Letnan Jenderal yang juga panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) itu.

Manajemen Persebaya di kongres PSSI Bandung. Dari kanan ke kiri: Cholid Goromah, Choesnoel Farid, Kardi Suwito. Foto: Joko Kristiono/emosijiwaku.com

CEO PT. Persebaya Indonesia Cholid Ghoromah dan Manajer Persebaya Choesnoel Farid yang duduk di kursi peninjau langsung bersalaman. Sementara itu, Kardi Suwito, direktur pengembangan usaha dan bisnis Persebaya, menelepon salah seorang suporter Persebaya (Bonek) yang ada di GOR Pajajaran, Bandung, untuk mengabarkan keputusan kongres tahunan tersebut. Para peninjau yang lain juga langsung menda­tangi para petinggi klub yang bermarkas di Jalan Karanggayam itu untuk mengucapkan selamat atas kembalinya Bajul Ijo ke kompetisi sepakbola di lingkup PSSI.

Epilog

Dalam dunia pewayangan kita mengenal Perang Bharatayudha. Dalam dunia nyata kita mengenal “Civil War” di Amerika. Semuanya sama, yaitu perang saudara. Hampir sama dengan apa yang dialami Persebaya selama bertahun-tahun, dualism yang melanda Persebaya telah membuat pihak-pihak yang bertikai saling tuduh, saling membenci, dan bahkan saling lapor serta beradu argument di pengadilan.

Marilah kita berkaca pada diri sendiri, apakah kita mau mengalami hal ini lagi di masa depan? Pastinya tidak. Menurut saya pribadi, tidak ada pihak yang secara absolut benar dalam kasus dualisme ini. Semuanya punya plus-minus.

Bagi Persebaya versi PT. Persebaya Indonesia, beberapa pertanyaan penting dan kritis yang mungkin harus bisa dijawab adalah, apa sebenarnya pemicu Persebaya versi PT. PI sampai nekad menyeberang ke IPL hingga memicu perpecahan di internal Persebaya? Apakah kekecewaan terhadap PSSI terutama pada laga vs Persik bisa menjadi pembenar Persebaya ikut “breakaway league” seperti IPL? Ataukah memang ada tawaran bisnis yang sangat menggiurkan dari IPL yang memicu beberapa klun rela meninggalkan kompetisi resmi PSSI? Jika Persebaya versi PT.PI tidak menyeberang ke IPL, bukankah sekarang kita tidak pernah mengenal prahara dualisme? Se-urgent itukah Persebaya harus ikut IPL?

Bagi Persebaya versi Wishnu Wardhana / PT. MMIB, sudah benarkah keputusan untuk tetap menggunakan nama Persebaya Surabaya meskipun secara hukum nama itu sudah didaftarkan oleh pihak lain di Kemenkumham? Apakah mekanisme pemilihan Wishnu Wardhana sebagai Ketua Umum Persebaya “tandingan” itu sudah benar? Apakah dulu dari awal tidak berpikir untuk membentuk klub sendiri yang tetap berkompetisi di PSSI namun mempunyai manajerial yang lebih sehat seperti Inter yang memisahkan diri dari AC Milan?

Intinya, jika kita tidak bisa menemukan jawaban yang akurat terhadap semua pertanyaan di atas, apa yang membuat kita sebagai pihak yang paling benar dalam prahara dualisme Persebaya?

Sebenarnya masih banyak pertanyaan-pertanyaan kritis lainnya yang bisa kita ajukan kepada kedua kubu, dan itu pasti tidak akan ada habisnya. Yang ada hanya akan mengusik masa lalu dan memicu permusuhan baru. Ibarat luka, maka luka di Persebaya ini belum sepenuhnya sembuh. Secara de jure, kasus dualisme Persebaya ini sudah selesai, namun secara de facto belum.

Orang bijak pasti akan mewariskan yang terbaik bagi keturunannya. Begitu pula kita sebagai generasi yang melihat langsung dahsyat-nya konflik dualism Persebaya ini. Atas nama generasi mendatang, saya selalu berdoa dan berharap semua pihak yang sampai saat ini belum bisa menyatu kembali dalam keluarga besar Persebaya agar bisa segera islah kembali. Kita tentunya rindu dengan parikan dan bimbingan dari M. Barmen selaku dedengkot Persebaya. Begitu pula dengan para legend lain yang hingga kini belum bisa bergabung dengan keluarga besar Persebaya karena sekat masa lalu dualisme ini.

Kita semua tentunya sangat menginginkan 30 klub internal Persebaya bisa berkompetisi secara sehat seperti dulu dan menghasilkan talenta-talenta muda bagi tim Bajul Ijio. Tolong hindari perasaan bahwa salah satu pihak adalah yang paling benar karena itu hanya akan menghambat reunifikasi Persebaya.

Sekali lagi, tolong, lupakan masa lalu. Tatap masa depan.Bersatulah kembali demi kejayaan Persebaya Surabaya tercinta…

Referensi:

Continue Reading

Musim

Kisah Persebaya 2004 dan “Miracle of Tambaksari”

Usai menjuarai Divisi I (kini setara Liga 2) 2003, Persebaya langsung berbenah menghadapi Liga Indonesia 2004. Liga yang disponsori Bank Mandiri ini bertitel “Liga Pro X”, mengacu pada penyelenggaraan ke 10 Liga Indonesia sejak 1994.

Published

on

Usai menjuarai Divisi I (kini setara Liga 2) 2003, Persebaya langsung berbenah menghadapi Liga Indonesia 2004. Liga yang disponsori Bank Mandiri ini bertitel “Liga Pro X”, mengacu pada penyelenggaraan ke 10 Liga Indonesia sejak 1994. Kasta tertinggi Liga Indonesia musim itu menganut sistem kompetisi penuh, artinya setiap klub harus sanggup mengarungi kompetisi dengan mengunjungi semua Pulau dari Sumatera hingga Papua.

Green Force yang tidak mau ketinggalan kereta, langsung melakukan perekrutan para pemain bintang lokal & asing seperti Hendro Kartiko, Kurniawan Dwi Yulianto, Yeyen Tumena, Anang Ma’ruf, Sugiantoro, Uston Nawawi, Danilo Fernando, dan Christian Carrasco. Para pemain yang berjasa membawa Persebaya promosi ke kasta tertinggi  Liga Indonesia seperti Khairil Anwar, Endra Prasetya, Mursyid Effendi, dan Leonardo Gutierrez masih dipertahankan. Pelatih Jacksen F. Tiago pun juga masih dipertahankan dalam tim, dengan support penuh dari manajer baru Saleh Ismail Mukadar.

Awalnya, perjalanan Persebaya sangat mulus di awal musim. Dengan materi pemain bertabur bintang, kemenangan-kemenangan dengan skor besar beberapa kali diraih di Tambaksari, seperti kemenangan atas Semen Padang & Persikota masing-masing dengan skor 5-0, Persipura dibabat 4-1, dan juara bertahan Persik Kediri pun dikalahkan dengan skor 2-0. Dalam laga penuh rivalitas dengan Persela pun Persebaya mampu tampil superior di Stadion Surajaya Lamongan dengan kemenangan telak 4-0 sekaligus membungkam Lamongan fans yang meneror Persebaya sepanjang laga.Bonek pun seolah teringat kembali dengan kejayaan Green Force era 1997 yang begitu digdaya menjadi juara dengan kemenangan-kemenangan dengan skor telak.

Namun kenyataan kadang tak seindah impian. Memasuki putaran kedua, grafik permainan Persebaya terus mengalami penurunan. Diawali dengan kekalahan 0-1 dari PSS Sleman di kandang sendiri, lalu kemudian kalah 0-1 dari Persik di Kediri, dan puncaknya adalah kekalahan memalukan dari Persela Lamongan 0-1 di Tambaksari yang disusul kerusuhan besar oleh Bonek yang mengamuk dan merusak Stadion Gelora 10 November Tambaksari. Di sisi lain, PSM dan Persija terus melaju. Pada bulan Agustus 2004, Green Force pun hanya berada di peringkat ketiga di bawah dua seteru klasik itu. Semua seolah gelap. Harapan juara nyaris sirna.

Keretakan internal pun menyeruak. Bonek yang kecewa dengan performa para pemain Persebaya mulai meneror para pemain pujaan mereka sendiri saat sesi latihan resmi tim. Khairil Anwar yang coba menegur justru menjadi korban aksi pemukulan oleh beberapa oknum Bonek yang mengejeknya saat berlatih. Pelatih Jacksen F. Tiago yang merasa frustasi sempat menyatakan diri akan mengundurkan diri dari tim dan berencana pulang ke Brasil di akhir musim untuk membuka usaha restoran. Beruntung, manajemen Persebaya masih mempercayai Jacksen agar perpecahan tim tidak makin menjadi. Sebuah keputusan tepat bagi masa depan Persebaya dan Jacksen sendiri.

Peruntungan Persebaya mulai berubah pada bulan Oktober 2004, PSM dan Persija beberapa kali tersandung oleh lawan-lawannya sehingga perolehan poin mereka mulai bisa dikejar kembali oleh Persebaya. Dalam laga big match 25 November 2004, PSM hanya mampu bermain imbang 1-1 dengan Persija di Mattoanging. Beberapa kemenangan krusial justru bisa diraih Persebaya antara lain saat menang 2-0 atas Persipura di Jayapura, serta dua kemenangan dramatis 3-2 atas PSPS Pekanbaru di Tambaksari dan 2-1 atas Pelita Krakatau Steel pada laga usiran di Gresik.

Kemenangan atas Pelita membawa Persebaya, PSM, dan Persija sama-sama berpeluang menjadi kampiun pada Liga Indonesia 2004. Macan Kemayoran Persija memetik hasil krusial dengan kemenangan 1-0 atas Persela di Lamongan, sehingga mereka sukses menjadi pemuncak klasemen dengan 60 poin dan hanya butuh seri di Tambaksari untuk menjadi juara liga. Persebaya dan Juku Eja PSM dituntut harus menang untuk bisa menjadi juara karena sama-sama memiliki poin 58, namun beban PSM paling berat karena harus menang telak atas tim “kuda hitam”PSMS Medan karena kalah selisih gol atas Green Force Persebaya.

Akhirnya laga yang dinanti-nanti itu tiba. Kamis, 23 Desember 2004 partai puncak antara Persebaya dan Persija Jakarta  dihelat di Stadion bersejarah Gelora 10 November Tambaksari Surabaya. Karena peluang juara kedua tim paling besar, maka trofi juara pun sudah disiapkan di Kota Pahlawan. Bonek membanjiri dan memenuhi stadion, membuat The Jak (kelompok supporter Persija) yang ingin hadir untuk mendukung timnya di stadion, harus gigit jari. Hujan sangat deras yang mengguyur Kota Surabaya saat itu membuat garis-garis lapangan yang berwarna putih harus dicat 9 kali karena lenyap tersapu air hujan. Meskipun demikian, akhirnya laga bisa tersaji tepat waktu.

Di awal laga, Persebaya tampil heroik dan mampu unggul cepat lewat sepakan dahsyat Danilo Fernando dari luar kotak penalti menit 5 . Namun Persija yang tetap tampil tenang dan berani perlahan-lahan mampu menguasai permainan. Trio Bambang Pamungkas, Elie Aiboy, dan Budi Sudarsono yang disokong Gustavo Hernan Ortiz  tampil sangat cemerlang sore itu dan akhirnya anak asuh Sergei Dubrovin mampu menyeimbangkan Skor 1-1 lewat gol bunuh diri Mat Halil yang salah mengantisipasi crossing Ortiz (menit ke 50).

Persija dan The Jak sudah bersiap merayakan gelar juara Liga Indonesia karena hasil seri sudah cukup bagi mereka untuk menjadi juara. Namun Persebaya tak menyerah begitu saja. Tiga menit setelah gol Persija, Uston Nawawi melakukan umpan lambung kaki kiri ke kotak penalti Macan Kemayoran yang disundul dengan sempurna oleh Luciano Souza. Kiper Syamsidar yang sudah terlanjur keluar sarang gagal menjangkau bola. Persebaya 2, Persija 1. Sisa pertandingan itu bagai neraka bagi pemain Persebaya dan Bonek karena pemain Persija all out keluar menyerang untuk menyeimbangkan skor. Sedikitnya lima kali peluang emas diperoleh Bambang Pamungkas cs. Namun semuanya selalu patah baik karena finishing yang tak sempurna, membentur mistar gawang, maupun dikarenakan penampilan Hendro yang sangat baik. Kemenangan Persebaya 2-1 akhirnya tidak berubah hingga wasit Aeng Suarlan meniupkan peluit panjang.

Kemenangan ini tak pelak membuat stadion serasa runtuh oleh kegembiraan Bonekmania menyambut gelar kedua bagi Persebaya di ajang Liga Indonesia setelah 1997. Di tempat lain, PSM hanya mampu menang tipis 2-1 atas Ayam Kinantan PSMS Medan, sehingga mereka hanya berada di peringkat kedua karena walaupun punya nilai yang sama dengan Persebaya (61), Juku Eja kalah selisih gol. Sedangkan Persija harus puas turun ke peringkat ketiga di hari terakhir kompetisi.

Ketika Persebaya gagal menjadi juara Liga Indonesia pada 1999 setelah kalah 0-1 di final oleh PSIS Semarang, banyak Bonek yang menangisi hasil tersebut. Bagaimana bisa tim yang dalam tiga laga sebelumnya musim itu tidak pernah menang dan bahkan tidak bisa mencetak gol ke gawang Persebaya (seisih gol 0-5 untuk head to head vs Persebaya sebelum final) tiba-tiba bisa menang dan menjadi juara? Ternyata Tuhan memberikan jawabannya pada 23 Desember 2004.

Persebaya 1999 tidak juara karena tim itu sedang dilingkupi kesombongan yang berlebihan sehingga menganggap remeh lawan yang dianggap jauh lebih inferior seperti PSIS. Berbeda dengan Persebaya 2004 yang mengalami banyak ujian dan cacian, namun dengan semangat “man jadda wa jadda” (siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil) akhirnya diberikan jalan oleh Tuhan dengan “Miracle of Tambaksari” alias keajaiban Tambaksari pada 23 Desember 2004 dengan menjadi juara Liga Indonesia di hari terakhir kompetisi dengan mengalahkan tim kandidat kuat juara Persija Jakarta 2-1. (Iwan Rachmadi)

Continue Reading

Musim

Persebaya di Kompetisi Perserikatan 1973/1975

Published

on

Susunan pemain Persebaya Surabaya untuk Kompetisi Perserikatan 1973/1975 di Stadion Gelora 10 November Tambaksari, Surabaya.

Berdiri dari kiri ke kanan : Soebodro, Hartono, Slamet Pramono, Hamid Asnan, Burhan Harahap, Od Kiem Tie, H. Soekamto (Ketua Umum), Januar Pribadi (Pelatih), Suyanto, Nyoman Slamet Witarsa, Suharsoyo (Kiper), Rudy William Keltjes, Poerwanto, Muchammad Asiek (Kiper).

Jongkok dari kiri ke kanan : Aser Mofu, Iskak Ismail (Kiper), Budi Santoso, Guntur, Ali Maghrobi, Waskito, Muhammad Zein, Sapuan, Abdul Kadir, Rusdy Bahalwan, Didiek Nurhadi (Kiper).

Tampil tak pernah kalah sepanjang babak penyisihan (18 Besar) hingga ke Babak 8 Besar, akhirnya Persebaya harus tersungkur di Babak Semifinal oleh Persija Jakarta dengan skor 0-2. Beruntung di partai perebutan juara ketiga, Persebaya mampu menang 4-2 atas Persipura. (dpp)

Continue Reading

Trending