Catatan Penulis
Bonek, Ketika Apresiasi dan Hujatan Mengiringi Langkah Kami
Seperti seorang bayi yang dinantikan kehadirannya di dunia ini, ia tidak dapat memilih ingin dilahirkan dari rahim wanita yang seperti apa bentuk dan karakteristiknya. Yang ada ialah ia terbiasa dan dilatih oleh kedua orang tuanya selama masa tumbuh kembangnya. Sama seperti Bonek dan Bonita, ketika mereka mampu mengerti mengapa merekia hadir di stadion, kenapa mereka disebut Bonek dan Bonita, dan untuk apa mereka mau melakukan segala hal untuk klubnya yang kadangkala semua itu tidak mampu dipahami oleh sebagian masyarakat awam tentang loyalitas Bonek dan Bonitanya.
Ya, kita sedang membahas momen dari Bonek yang sedang ramai jadi bahan pergunjingan dan hujatan oleh lainnya ketika mendukung Persebaya melawan Madura United (19/06) dalam gelaran Piala Indonesia di Gelora Bung Tomo Surabaya. Sering mengalami kekalahan atau hasil seri baik di Shopee Liga 1 2019 atau Piala Indonesia membuat Bonek merasakan kekecewaan yang mendalam. Kemarin malam, puncak kekecewaan itu berubah menjadi amarah yang sulit dibendung dan sulit dihentikan.
Banyak pro dan kontra yang mengiringi langkah Bonek dalam menyuarakan kritikannya. Ketika sebagian orang berpendapat sisa tambahan waktu 3 menit terakhir yang bisa dimanfaatkan untuk mencetak gol, aksi menyalakan suar dan sebagian Bonek yang turun ke lapangan sembari membentangkan spanduk bertuliskan “Jangan Bikin Malu Surabaya” justru menjadi balasan kritikan masyarakat awam dengan menyebut kami ini sebagai Bonek yang telah mempermalukan klub dan Surabaya.
Melihat dan membaca linimasa twitter dan instagram, banyak yang menghujat Bonek dengan berpendapat bahwa masih ada hal lain yang bisa dilakukan untuk mengkritisi manajemen klub tanpa harus membuat kerusakan dan kericuhan di dalam stadion. Tapi, apakah masyarakat awam itu mengerti sejauh apa kritikan Bonek ini mampu tersampaikan ke manajemen? Jika dengan kritik melalui media sosial atau bahkan bertemu langsung dengan perwakilan manajemen belum ada progres perihal permainan para punggawa Persebaya untuk meraih kemenangan, lalu harus kepada siapa lagi Bonek mampu menyuarakan suaranya dengan lantang tentang kebaikan klub ini?.
Kebaikan menurut Bonek yang satu dengan Bonek yang lainnya memang berbeda. Sebagian berpendapat hal ini sudah usaha maksimal dari pelatih dalam memberikan instruksi para pemain di lapangan. Sebagian lagi merasa, Bonek terlalu banyak menuntut A hingga Z dalam perekrutan pemain, perihal harga tiket, perihal siapa yang harus dicoret dan siapa yang masih layak untuk dipertahankan.
Percayalah, segala harapan dan kritikan yang bagi sebagian orang dianggap tidak menghargai kerja keras manajemen dan para pemain adalah demi kebaikan klub, demi kembalinya masa kejayaan Persebaya seperti dulu dan memberikan kesan angker dan kapok untuk tim lawan. Bonek tidak serta merta mengkritik tanpa mau berbenah dan introspeksi diri, Bonek tidak terus-menerus meminta manajemen untuk berjuang dengan benar demi solidnya dan meningkatnya permainan tim setiap pertandingan dengan menentukan mana pemain dan pelatih yang cocok untuk direkrut. Stop menghujat Bonek karena tuntutan dan kritikan seperti itu. Jauh sebelum klub ini bangkit, jauh sebelum klub ini mengalami dualisme, Bonek sudah sering menyaksikan klub kebanggaannya menelan kekalahan secara beruntun.
Jika bicara tentang perjuangan dan berjuang, jangan lupa, ketika mengalami mati suri selama beberapa tahun Bonek tidak pernah berhenti untuk terus berjuang dengan keyakinanya. Memperjuangkan nasib klub ini kesana kemari, dari demo beberapa tempat di Surabaya, gruduk Jakarta jilid 1 dan 2, gruduk Bandung, hingga membuahkan hasil yang membuat Bonek merasakan kemenangan yang sesungguhnya. Kemenangan ketika klub yang selama ini mereka yakini kebenarannya diakui kembali statusnya sebagai salah satu anggota klub di PSSI. Masihkah kalian meragukan dukungan dan loyalitas Bonek?
Sebagian masyarakat awam menganggap Bonek adalah sumber permasalahan kejadian kemarin malam, Boneklah yang merusak nama baik Surabaya, Boneklah yang mempermalukan Persebaya karena mereka turun ke Lapangan. Ya, bicara tentang pendapat masyarakat yang awam dengan Bonek dan Persebaya, mereka tidak perlu meminta ijin kepada Bonek untuk sekadar berpendapat seperti Bonek yang juga menyuarakan pendapatnya.
Walau Bonek tahu, tidak sedikit pula yang berpendapat adalah mereka yang hanya tau Persebaya dan Bonek melalui siaran pertandingan di televisi, mendengarkan radio dan membaca berita tentang Persebaya dan Bonek. Mereka yang ceriwis dalam berpendapat melalui akun sosial medianyapun belum tentu pernah hadir untuk mbonek ke stadion, atau sekadar bertemu dan duduk bersama Bonek untuk berdiskusi tentang perjuangan Bonek selama ini.
Mereka mampu seenaknya berkomentar miring dan menghujat Bonek, tetapi mereka tidak mempunyai kemauan untuk mau cari tahu tentang Bonek dan pemikirannya. Yang mereka tahu, Bonek yang menyalakan suar di setiap tribun, Bonek yang turun ke lapangan dan menyalakan petasan adalah Bonek perusuh, sekumpulan orang-orang sampah yang mempermalukan dirinya sendiri dan kota tercintanya.
Kesannya arogan, terlihat paling berani dan seperti preman yang punya kuasa besar dengan massa dan kekuatannya, ya? Bukan, bukan. Suara-suara lantang itu tidak hanya ketika beryanyi, tetapi suara-suara lantang itu juga perihal melihat permainan klub ini yang angin-anginan. Bonek yang mengalami masa transisi dalam prosesnya untuk berbenah diri, tidak sedikit apresiasi yang ditunjukkan kepada Bonek. Kegiatan yang bersangkutan dengan publikpun sering dilaksanakan, hingga banyak remaja perempuan, anak-anak kecil, para ibu yang tidak segan untuk hadir ikut suami, ikut anaknya, atau dari keinginannya sendiri untuk menyaksikan Persebaya berlaga, baik dalam laga kandang dan tandang.
Stadion ramah anak, ramah untuk perempuan dan para ibu-ibu, diakui sangat memberikan rasa aman dan nyaman, dan diakui pula berkat peran manajemen dalam membantu proses Bonek untuk kearah lebih baik selama ini. Lalu, ketika momen kemarin malam terjadi, apresiasi itu hilang seketika menjadi hujatan yang bagai arus deras di sungai. Apakah Bonek kapok? Apakah Bonek menyesal? Tentunya tidak. Kenapa begitu? Karena sejak dulu, Bonek dan Bonita tidak pernah ngoyo dan berusaha untuk dikemas media menjadi suporter yang dikenal ramah dan cinta damai.
Sejak lama Bonek selalu dipandang sebelah mata layaknya lirik lagu dari Efek Rumah Kaca. Sejak dulu pula Bonek meyakini tidak ada apresiasi 100% yang baik untuk mereka. Jadi, ketika hujatan itu mengiringi langkah mereka dalam menyuarakan kritikannya dengan lantang dan dianggap mempermalukan dirinya sendiri, Bonekpun tidak merasa kaget dan malu. Mereka sudah kebal dengan nyinyiran seperti itu.
Mengutip kalimat dari Mas Andhi BJ, dedengkot Bonek Jabodetabek;”berarti Bonek masih manusia, sudah sewajarnya Bonek mempunyai rasa marah, kecewa, dsb.”Bagi Bonek yang dianggap “berulah” dikandang sendiri, apa itu menakutkan? Mungkin menakutkan karena seketika yang dipikirkan adalah anak-anak kecil dan para ibu yang harus menyelamatkan anak mereka agar tidak menjadi korban, walau penulis pikir, yang turun kebawah adalah remaja dan orang dewasa yang sudah cukup mempunyai mental berani untuk turun ke lapangan.
Setidaknya di Gelora Bung Tomo, dikandang sendiri, Bonek tahu mereka bukan yang mempunyai kuasa 100% atas klub ini. Namun, loyalitas dan cinta mereka kepada klub dan jajarannya sendiri jangan ragukan itu. Masih lebih baik, turun ke lapangan menyuarakan kritikan atas kekecewaan yang lama dipendam bercampur amarah yang saling mempengaruhi satu sama lain. Coba tengok dan cari tahu Bonek di masa lampau. Ketika laga lawan Arema Malang di Gelora 10 November tahun 2006 silam, bagaimana kekecewaan yang begitu sulit dibendung atas hasil yang diraih punggawa Persebaya.
Bagaimana lampu penerangan lapangan dan tribun di dalam stadion dirusak, beton-beton yang menjadi pijakan berdiri ataupun untuk diduduki seketika bisa hancur dan dilemparkan oleh manusia-manusia yang seketika pula seperti superhero di film-film dengan kekuatannya bercampur amarah mampu melemparkan bongkahan beton ke dalam lapangan.
Bagaimana para pedagang di setiap tribun, terutama penulis yang saat kejadian berada di tribun skor bersama ayahanda melihat langsung kesigapan pedagang untuk menutupi dagangan dan wajahnya, mundur dan berusaha membentengi diri mereka ditembok paling atas saat chaos terjadi. Gentingnya keadaan untuk turun memasuki lorong, rasa was-was dan bau pesing karena beberapa yang kencing sembarangan semakin menambah suasana yang sulit untuk dilupakan.
Kericuhan tidak berhenti disitu, penulispun dengan mata kepala sendiri menyaksikan “masa sulitnya” Bonek membendung amarahnya hingga merusak dan membakar mobil penyiaran televisi Antv. Kobaran api yang begitu besar, keadaan yang tidak kondusif semakin menambah suasana mencekam kala itu bagi penulis yang saat itu masih duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama. Hingga peristiwa itu disebut tragedi Asusemper.
Bonek saat ini jauh lebih tertata dan tau arah untuk mengkritik klub kebanggaannya. Tau bagaimana mengkritik manajemen. Jelas tertata, karena dari masa lalu yang begitu menakutkan dan membuat bulu kuduk berdiri karena was-was. Bonek belajar untuk lebih baik. Sulit memang untuk berperilaku seperti kata Pram di bukunya yang berjudul:Bumi Manusia. “Kau terpelajar, harus bersikap adil sejak dalam pikiran”. Meminta keadilan untuk memberikan suguhan permainan yang bukan hanya menarik tapi juga mampu meraih kemenangan.
Kenapa harus bersikap adil? Adil mengikuti kata hati, ketika apa yang harus diubah dan diperbaiki hanya menjadi angin lalu bagi sebagian jajaran manajemen yang sedang duduk tenang menyaksikan pertandingan dari kejauhan. Klub ini punya sejarah panjang, masa kejayaan yang selalu diingat oleh semua Bonek disetiap generasinya, yang selalu dibanggakan oleh para pemain legenda disetiap eranya berkarir di Persebaya. Itu terlihat ketika penulis sempat berjumpa dan mewawancarai sebagian punggawa era 80-an.
Tapi sejarah besar saja tidak cukup untuk menghidupi klub ini agar berumur panjang. Maka untuk menghidupi klub ini, lengkap dengan para pemainnya, official dan manajemennya, penulis akui bangga ketika tahu seorang Azrul Ananda yang awalnya anti dengan Bonek dan sepakbola terutama Persebaya, mau mengambil alih, memimpin Persebaya dengan timmya yang solid. Jangan lupa, selain mempunyai kemampuan yang tidak usah diragukan, Presiden klub harus mempunyai kemauan juga untuk duduk bersama Bonek (lagi), mendengarkan suara-suara dan masukan Bonek. Klub tanpa suporter adalah hal yang mustahil.
Dibalik perilaku yang belum baik dan masih berbenah, suporter tetaplah suporter. Kalah menang, tiket tetap terjual. Kalah menang akan ada Paido Boys dan Manajemen Boys-sebutan untuk kubu Bonek yang pro dan kontra manajemen. Akan ada pemain datang dan pergi, tapi Bonek tetaplah Bonek, tak akan terganti meski dimakan jaman dan usia.
Namun, jika Presiden klub dan manajemen menganggap Bonek yang tadinya suporter lebih cocok disebut customer, maka Bonek masih punya hak untuk mengeluhkan, komplain dan meminta pelayanan dan produk terbaik dari “penyedia” jasa dan barang ketika yang disebut customer merasa ada yang tidak pas dan merugikan mereka.
Penulis merasa bangga dan tidak malu dengan kejadian kemarin malam. Kenapa? Ya kenapa harus malu, karena dari Bonek yang turun ke lapangan. Kita jadi tahu bahwa masih ada yang peduli dan kritis dengan keadaan klub ini yang sedang tidak baik-baik saja. Penulispun sempat mendapat pertanyaan:”Apa tidak takut dan khawatir akan memberikan contoh buruk karena sebagian yang turun ke lapangan jika dilihat dari kejauhan masih ada yang berusia remaja?”.
Kenapa harus takut, karena melalui anak-anak yang berusia remaja regenerasi itu akan terus berjalan dan berganti. Melalui merekalah, segala doa, kritikan, harapan, ide-ide yang belum tersampaikan mampu mereka sampaikan secara langsung. Dan mereka yang turun ke lapangan ataupun yang ikut mengkritisi manajemen dari tribun akan tahu, bahwa dukungan dan kepedulian ternyata tidak berhenti sebatas pagar tribun. Anak-anak itu berhak menentukan sikap, karena menjadi Bonek dan Bonita, diapresiasi dan dihujat adalah satu kesatuan yang sulit dipisahkan.
Sampai kapanpun, jangan pernah ragu dan malu untuk memilih menjadi Bonek dan Bonita. Mari tularkan energi positif. Mari jaga loyalitas untuk klub kebanggaan bersama. Mari kembangkan kemampuan dari apa yang bisa dilakukan untuk membantu membuka mata, hati dan telinga masyarakat umum kenapa harus bangga menjadi Bonek dan Bonita.
Karena dimanapun kamu berada, ketika beraktifitas di ruang publik ataupun dalam bangunan, bertemu dengan banyak orang, perilaku apa yang kita tunjukkan, ucapan seperti apa yang kita utarakan, itulah kita. Karena apa yang kita tunjukkan akan mempengaruhi dan membentuk mindset mereka kepada kita. Paling utama dan penting, jangan hanya cinta dan dukungan yang terus dijaga, tapi juga kritikan dan keberanian dalam menyuarakan dengan lantang yang harus terus dipupuk, karena Bonek pantang untuk dibungkam. (*)
Catatan Penulis
Masih Ada PR yang Belum Tuntas, Saatnya Bonek Bentuk Presidium?
Bonek bukan sebuah organisasi yang memiliki struktur yang solid. Padahal, Bonek punya banyak tantangan yang mesti dihadapi. Kelompok suporter Persebaya ini seringkali kedodoran dalam menyelesaikan permasalahan. Hingga saat ini, masih ada beberapa pekerjaan rumah yang belum tuntas yang mesti diselesaikan Bonek.
Sebut saja masalah Boling (Bondho Maling). Kehadiran gerombolan yang memakai atribut Persebaya di setiap laga-laga Green Force ini sering berdampak negatif. Aksi-aksi kriminalitas yang mereka lakukan membuat Persebaya kesulitan berlaga terutama di laga away. Eksesnya langsung dirasakan Bonek. Mereka kerap dilarang mendampingi Persebaya berlaga.
Aparat acapkali kesulitan membedakan antara Bonek dan Boling. Mereka menganggap Boling adalah suporter Persebaya. Celakanya, Bonek juga tidak punya mekanisme khusus untuk memisahkan Boling dengan Bonek. Hingga saat ini, menjadi Bonek bukan sesuatu yang sulit. Hanya berbekal atribut Persebaya, semua bisa jadi Bonek.
Kelompok suporter lain yang memiliki badan hukum punya mekanisme yang bisa memisahkan antara anggotanya dengan non anggota. Ada kartu anggota yang mesti dimiliki setiap anggota resmi. Data diri anggota juga tercatat di database organisasi.
Bagaimana dengan Bonek?
Bonek dibentuk dengan kesadaran kolektif warga Surabaya untuk mendukung Persebaya. Dukungan ini pada akhirnya meluas tidak hanya datang dari warga Surabaya. Persebaya yang beberapa kali merajai kompetisi era Perserikatan dianggap mewakili Jawa Timur. Banyak suporter berasal dari daerah-daerah lain di Jawa Timur.
Bonek tidak terikat dalam sebuah organisasi. Sifat massanya cair dengan slogan No Leader Just Together. Slogan ini terlihat sangat egaliter. Sayangnya, banyak masalah yang tak tertangani dengan baik. Dalam kasus Boling, setiap ekses negatif yang dilakukan orang-orang beratribut Persebaya seringkali dimaklumi. Tak heran jika masalah Boling selalu muncul dari musim ke musim.
Namun, gelora perlawanan di kalangan Bonek terus bermunculan. Suara-suara menentang eksistensi Boling kerap mencuat di linimasa media sosial. Sayangnya, suara-suara itu biasanya hanya berhenti di sana.
Bonek tidak punya mekanisme cepat yang diamini mayoritas Bonek dalam menyikapi sebuah permasalahan. Mekanisme itu biasanya diserahkan ke masing-masing tribun Bonek (Tribun Kidul, Tribun Timur, Green Nord, dan Gate 21). Namun, sikap masing-masing tribun terkadang berbeda. Masalah lain, suara mereka tidak bisa dianggap sebagai representasi Bonek.
Jaman yang Selalu Menghadirkan Tantangan Baru
Setiap jaman punya tantangan sendiri-sendiri. Masalah-masalah yang dihadapi Bonek semakin kompleks. Gerakan perlawanan di setiap jaman membutuhkan strategi yang berbeda. Saat Persebaya dimatisurikan federasi, gerakan perlawanan dengan slogan No Leader Just Together tentu masih relevan. Namun, apakah strategi gerakan perlawanan itu masih efektif saat ini?
Bonek membutuhkan mekanisme organisasi agar setiap keputusan bisa merepresentasikan suara mayoritas Bonek. Meski begitu, Bonek tak harus membuat sebuah organisasi berbadan hukum.
Saya mengusulkan pembentukan Presidium Bonek.
Secara de facto, empat tribun dianggap mewakili suara Bonek. Manajemen Persebaya juga mengakui keberadaan mereka. Komunitas-komunitas Bonek banyak yang mengasosiasikan diri dengan tribun pilihannya. Anggota komunitas biasanya menempati tribun Stadion GBT di mana komunitasnya mengasosiasikannya.
Empat tribun sebaiknya mulai memikirkan pembentukan Presidium Bonek. Presidium bertugas menjalankan roda organisasi dalam jangka waktu tertentu. Pengurus presidium termasuk ketuanya dipilih oleh empat tribun ditambah Bonek non tribun seperti Bonek luar kota atau Bonek liar yang tidak terafiliasi dengan tribun. Mekanisme Bonek non tribun bisa diatur kemudian.
Ketua presidium bisa dijabat secara bergiliran. Ketua dan pengurus presidium tidak memiliki kekuatan absolut. Kekuasaan tertinggi ada di tangan empat tribun dan Bonek non tribun. Jika sudah terpilih, ketua presidium dan pengurusnya bisa menjalankan roda organisasi sesuai visi dan misi yang disepakati empat tribun dan Bonek non tribun.
Presidium Bonek harus memiliki program kerja. Salah satu yang saya usulkan adalah pembentukan koperasi yang berbadan hukum. Anggota koperasi adalah semua Bonek. Sementara pengurus koperasi bisa diambil dari profesional. Tugas pokok Koperasi Bonek adalah menyejahterakan anggotanya. Hasil dari koperasi nantinya juga digunakan untuk memutar roda organisasi Presidium Bonek.
Presidium Bonek juga harus memastikan agar suaranya didengar manajemen Persebaya. Organisasi ini juga harus aktif berjuang saat Persebaya dirugikan federasi. Tugas lain presidium adalah membina hubungan dengan kelompok suporter lain.
***
Usulan pembentukan Presidium Bonek terlihat sederhana. Namun dibutuhkan kelegowoan masing-masing tribun dan mayoritas Bonek untuk menyerahkan mandat kepada presidium. Tentu saja empat tribun dan Bonek non tribun masih punya kekuasaan untuk mengawasi presidium. Namun yang perlu diingat adalah suara presidium adalah representasi suara mayoritas Bonek sejak presidium dibentuk.
Presidium Bonek memang bukan satu-satunya cara untuk menyelesaikan tantangan jaman. Namun, usulan pembentukan presidium menarik untuk dikaji. Tantangan ke depan yang semakin kompleks membutuhkan langkah luar biasa. Bonek membutuhkan mekanisme dalam menyelesaikan semua pekerjaan rumahnya dengan elegan. Bonek harus mulai bergerak secara terstruktur dan sistematis.
Bagi saya, Presidium Bonek adalah jawaban terbaik untuk saat ini. (*)
Catatan Penulis
Patah Hati Melihat Liga Indonesia
Liga Indonesia sejatinya memiliki potensi menjadi liga terhebat di Asia bahkan dunia. Indonesia memiliki 275 juta penduduk yang menjadikan sepakbola olahraga nomor 1. Jutaan suporter fanatik yang rela mendukung timnya dengan segenap hati. Ribuan klub bola di seantero negeri. Ratusan perusahaan dan investor yang siap menggelontorkan dana.
Sayang, potensi itu lenyap karena PSSI tidak becus mengelola liga. Liga Indonesia gagal menjadi liga yang layak tonton bagi keluarga-keluarga di Indonesia. Banyak laga yang jauh dari kata sportivitas. Belum lagi keributan-keributan di luar lapangan yang membuat siapa saja muak membahas liga PSSI.
Mengapa bisa begitu? Jawabannya karena keserakahan, kerakusan, rasa tidak tahu malu yang dimiliki mayoritas pengurus PSSI.
Kita mulai dari jabatan Ketua Umum PSSI.
Sudah menjadi rahasia umum jika jabatan orang nomor 1 di federasi ini adalah jabatan seksi. Banyak figur yang tertarik menduduki singgasana PSSI 1. Bukan untuk memajukan sepakbola tanah air. Namun sebagai batu loncatan menduduki jabatan-jabatan publik hingga tujuan-tujuan pribadi atau golongan.
Eddy Rahmayadi sukses menjadi Gubernur Sumatera Utara saat masih menjabat Ketum PSSI. Iwan Bule, Ketum PSSI sekarang, getol membuat baliho kampanye Gubernur Jawa Barat. Hingga usia 92 tahun, Ketum-Ketum PSSI terpilih seperti tidak mengerti sepakbola. Dan lebih aneh lagi, para pemilik suara PSSI terus memilih orang-orang yang tidak kompeten menduduki singgasana orang nomor 1 federasi dan para pengurusnya.
Namun jika kita menilik komposisi pemilik suara, kepentingan PSSI lebih terakomodasi ketimbang kepentingan pemilik klub. Pada kongres tahunan PSSI 2019, terdapat 85 anggota PSSI yang menjandi pemilik suara. Dari jumlah itu, 40 persen atau 34 suara dikuasai Asprov PSSI daerah. Sisanya 18 klub Liga 1, 6 klub Liga 2, 16 klub Liga 3, dan 1 Asosiasi Futsal.
Jika Asprov adalah kepanjangan tangan PSSI, butuh tambahan suara 10 persen + 1 agar status quo bisa tetap menang. Dalam statuta PSSI juga ditetapkan aturan yang bisa menghalangi orang-orang dengan kompetensi tinggi untuk menjadi pengurus.
Di Kongres Pemilihan PSSI 2019-2024, calon ketum harus punya riwayat aktif mengurus sepak bola di lingkungan PSSI alias bukan sekadar aktif di kegiatan sepak bola.
Sistem ini tentu saja melanggengkan posisi orang-orang lama di PSSI. Tak heran, dari periode ke periode, wajah-wajah PSSI selalu dipenuhi muka-muka lama. Meski prestasi sepakbola Indonesia di kancah internasional buruk, para pengurusnya dengan tanpa malu tak mau mengundurkan diri.
Dengan tetap bercokolnya muka-muka lama, tak banyak perubahan hadir di sepakbola kita. Liga Indonesia dari musim ke musim kualitasnya semakin menukik tajam. Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang adalah bom waktu yang meledak akibat bobroknya liga.
Mirisnya, tragedi yang seharusnya menjadi momen mereformasi sepakbola hanya dianggap business as usual. Mungkin juga karena peristiwa tewasnya suporter di stadion bukanlah yang pertama. Menurut data Save Our Soccer (SOS), sebelum Tragedi Kanjuruhan, 78 suporter tewas baik di stadion maupun luar stadion selama Liga Indonesia berlangsung. Tragedi kematian suporter sudah dianggap peristiwa lumrah. Saking biasanya, PSSI seperti kehilangan akal untuk menghentikannya.
Liga 1 Bergulir di Tengah Skeptisme Publik
Di tengah skeptisme publik akan adanya perubahan sepakbola di negeri ini, Liga 1 kembali bergulir. Tuntutan suporter untuk menghentikan sementara liga hingga ada perubahan dalam sepakbola ternyata tidak diindahkan.
Seperti layaknya template, insiden-insiden yang melibatkan wasit kembali terlihat di laga-laga Liga 1. Banyak keputusan wasit yang kontroversial yang menguntungkan atau merugikan beberapa klub. Hal ini memicu suporter saling menyalahkan dan akhirnya menjadi bahan bakar untuk “berkelahi” di medsos.
Persebaya beberapa kali dirugikan dengan keputusan wasit. Saya juga melihat klub-klub lain juga ada yang dirugikan. Di Liga Indonesia, klub apapun bisa jadi korban keputusan buruk wasit. Dan seperti biasa, PSSI tidak bisa berbuat banyak mengatasi permasalahan yang sudah seperti kanker ini.
Kondisi yang telah bertahun-tahun tak pernah berubah ini membuat saya menjadi patah hati melihat Liga Indonesia. Jika sebelumnya saya menulis Patah Hati Melihat Bonek dan Persebaya, kini saya menulis hal yang sama tentang Liga Indonesia. Saya tak lagi bergairah menyaksikannya. Rasanya, dukungan yang saya berikan untuk liga ini tak ada manfaatnya. Tak ada kegembiraan seperti yang saya rasakan saat saya masih menaruh harapan agar liga kita menjadi lebih baik. Kini harapan itu sudah saya buang jauh-jauh.
Meski Persebaya masih berkompetisi, saya tak punya semangat lagi menontonnya. Saya masih tetap sedih saat Persebaya kalah, namun kesedihan itu tidak berlarut-larut. Di liga yang tak lagi menjunjung tinggi sportivitas, kemenangan atau kekalahan tak lagi ada artinya.
Para petinggi PSSI yang telah terbukti gagal membawa prestasi juga tak pernah mengeluarkan pernyataan untuk mundur. Mereka malah sudah ancang-ancang menjabat lagi di kongres PSSI yang digelar tahun depan.
Sikap pesimis akan berubahnya Liga Indonesia membuat saya apatis dan antipati. Melihat potensi yang diabaikan segelintir orang-orang yang memanfaatkan liga ini untuk kepentingan pribadinya membuat saya muak.
Kapan Liga Indonesia bisa memberikan kegembiraan dan kebahagiaan kepada para suporter? Kapan sportivitas yang menjadi roh kompetisi dijunjung tinggi? Kapan PSSI menjadi federasi yang waras?
Rasanya pertanyaan-pertanyaan ini mustahil ada jawabannya. (*)
Catatan Penulis
Pentingnya Merawat Sejarah Persebaya, Agar Bonek Tidak Mudah Pindah Sebelah
Apa pentingnya sejarah? Banyak yang bilang pelajaran sejarah itu membosankan. Beberapa lirik lagu menyiratkan jika kita sebaiknya melupakan masa lalu.
“Yang lalu biarlah berlalu.”
Sepotong lirik lagu “Lamunan” milik Andromeda ini menyiratkan peristiwa di masa lalu tidak penting untuk dibahas. Namun bagi saya, peristiwa di masa lalu yang seringkali disebut sejarah itu sangat penting untuk dibicarakan.
Saya baru mengerti pentingnya sejarah setelah masalah dualisme Persebaya terselesaikan dengan baik. Persebaya yang sempat mati suri kembali dibangkitkan dan mengikuti kompetisi resmi di bawah PSSI.
Dan pahlawan yang membuat Persebaya berdiri kokoh adalah Bonek.
Namun, membangkitkan Persebaya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Bonek sempat terpecah antara mendukung Persebaya asli yang sarat masalah atau Persebaya sebelah yang penuh bintang.
Pada akhirnya, suara mayoritas Bonek tetap keukeuh mendukung Persebaya yang asli. Lem perekat yang membuat Bonek mantap memilih Persebaya yang bermarkas di Karanggayam adalah sejarah yang mesti dirawat.
Perlawanan atas ketidakadilan tidak harus memakai senjata, namun bisa dengan kata-kata. Dan bisa kita lihat saat Persebaya dalam periode mati suri, banyak Bonek menuliskan curahan hatinya di akun-akun Facebook pribadinya. Banyak Bonek yang menulis tentang sejarah Persebaya. Tulisan-tulisan itu menunjukkan dukungan mereka kepada tim kebanggaannya. Meski saat itu banyak hujatan dan makian dari pendukung Persebaya sebelah, mereka tetap teguh pendirian.
Ingatan saya akan dualisme Persebaya dan pentingnya merawat sejarah kembali hadir saat saya datang ke acara Mahakarya Bonek Campus #4. Bonek Campus mengundang pelatih Persebaya saat juara 2004, Jacksen F Tiago dan dua pemain skuad 2004, Uston Nawawi dan Chairil “Pace” Anwar. Acara yang diadakan di Kayoon Heritage, Minggu (18/11) ini memang mengusung tema “Spirit 2004”.
Dua pemain Persebaya saat ini, Atta Ballah dan Riswan Lauhin, juga dihadirkan. Tema yang diangkat Bonek Campus bukan tanpa alasan. Prestasi Persebaya musim ini kurang bagus. Meski di laga terakhir menorehkan sejarah dengan mengalahkan Arema FC di Kanjuruhan, Persebaya masih berada di papan tengah. Target 3 besar yang dicanangkan manajemen tampaknya susah diwujudkan. “Spirit 2004” memberikan pesan agar semangat juara tertanam di dada skuad Persebaya sekarang.
Acara yang berisi talkshow, pameran dokumentasi perjalanan Persebaya juara 2004, dan pertunjukan musik ini cukup ramai dihadiri Bonek. Mereka antusias mengikuti acara demi acara. Tak hanya Bonek lawas, Bonek muda pun datang ke acara yang lebih banyak membahas sejarah Persebaya itu.
Kehadiran Bonek di acara-acara seperti ini patut diapresiasi. Bonek telah sadar pentingnya merawat sejarah Persebaya. Merawat sejarah sangat penting karena bisa memperkuat akar Persebaya. Semakin kuat akar, Persebaya akan tetap berdiri kokoh meski ada banyak masalah menghadang.
Klub adalah representasi para pendukungnya. Setiap klub memiliki karakteristik tertentu yang mewakili suporternya. Bisa dikatakan, klub adalah cermin pendukungnya. Seperti Persebaya yang mengusung karakter kota Surabaya yang Wani dan Ngeyel, jati diri itulah yang selalu diperjuangkan Bonek. Sejarah selalu mengingatkan pentingnya menjaga karakter-karakter itu karena membawa memori Persebaya dari jaman ke jaman.
Persebaya yang lahir sejak 1927 mengusung karakter Surabaya yang selalu konsisten dijalankan stakeholder Persebaya dari tahun ke tahun. Penelitian-penelitian sejarah tentang Persebaya di masa lalu menjadi pelajaran generasi sekarang agar mereka terus memperjuangkan semangat para pendahulunya.
Sejarah juga bisa menjadi refleksi jika di masa mendatang terjadi konflik yang mengancam eksistensi Persebaya. Kita juga bisa belajar untuk tidak mengulangi kesalahan di masa lalu. Karena sejarah akan terus berulang sehingga kita dituntut tetap waspada. Dengan melek sejarah Persebaya, Bonek akan selalu membawa semangat timnya dan tak akan mudah tergoda untuk berpaling.
Di sinilah pentingnya sejarah karena mampu menghubungkan generasi sekarang dengan generasi pendahulu.
Acara-acara seperti ini harus selalu digelar di masa-masa mendatang. Agar Bonek tidak putus hubungan dan konsisten memperjuangkan apa yang diperjuangkan para pendahulunya. Saya yakin, Bonek akan amanah dalam memperjuangkan Persebaya hingga kapan pun. Dan itu sangat membanggakan.
Jika bukan Bonek, siapa yang akan merawat sejarah Persebaya? (*)
-
Catatan Penulis2 years ago
Terima Kasih AZA!
-
Catatan Penulis2 years ago
Saya Bertanya kepada Bonek tentang Arti Kemenangan Persebaya Atas Arema
-
In Memoriam Legend3 years ago
PSIM, Eri Irianto, dan Duka Persebaya
-
Statistik2 years ago
Bedah Strategi Pergantian Pemain Coach Aji Berdasarkan Data
-
Musim5 years ago
Dualisme Persebaya, Era Kegelapan Dalam Sejarah Persebaya
-
Catatan Penulis2 years ago
Mengapa Azrul Mundur, Sebuah Perspektif
-
Catatan Penulis2 years ago
Patah Hati Melihat Bonek dan Persebaya
-
Statistik2 years ago
Sho Me Your Guts!