Connect with us

Pelatih

Aleksandar Dimitrov Kostov alias Sasho, Pelatih Asing Pertama Persebaya

Published

on

Aleksandar Dimitrov Kostov atau Sasho – panggilan akrabnya – lahir di Sofia, Bulgaria pada 2 Maret 1938. Karier sepak bolanya dimulai pada klub Levski Sofia pada 1957. Posisi naturalnya adalah seorang penyerang. Pria Bulgaria ini juga memperkuat negaranya dalam dua event Piala Dunia, yakni Piala Dunia 1962 di Chili dan Piala Dunia 1966 di Inggris.

Sasho adalah pelatih asing pertama dalam sejarah Persebaya yang dikontrak untuk menghadapi Kompetisi Liga Dunhill II pada tahun 1995. Saat itu keran pemakaian pemain dan official asing bagi klub perserikatan baru dibuka. Sehingga Persebaya Surabaya bergerak cepat untuk mencari pelatih dan legiun asing.

Akhirnya setelah ditawari oleh agen pemain ISA pimpinan Angel Ionita, Persebaya Surabaya kepincut untuk mengontrak Aleksandar Dimitrov Kostov ini. Sasho dikontrak setahun untuk menangani tim Bajul Ijo berkompetisi di Liga Indonesia II tahun 1995-1996.

Di era kepelatihannya, direkrut pula trio pemain asing pertama yang memperkuat Green Force. Saat itu Persebaya merekrut pemain asing dari Eropa Timur, yaitu midfielder Plamen Iliev Kazakov asal Bulgaria, playmaker Antonic Dejan asal Serbia (ketika itu masih bernama Yugoslavia), dan striker Nadoveza Branko asal Montenegro (waktu itu masih bergabung bersama Yugoslavia). Sayang kinerja dua pemain asing yang disebut belakangan kurang menggembirakan. Akhirnya mereka pun harus dicoret dari tim. Bahkan, Branko dicoret sebelum putaran pertama usai.

Selama di menjadi pelatih kepala Persebaya Surabaya, Sasho dibantu oleh dua orang asisten pelatih, yakni Winarto dan A.A. Rae Bawa.

Pun di era Sasho inilah, Persebaya menjamu klub raksasa penghuni Eredivisie Liga Belanda, PSV Eindhoven, pada laga persahabatan yang dilaksanakan 6 Januari 1996 di Stadion Gelora 10 November Tambaksari, Surabaya. Pertandingan ini sendiri berakhir 2-6 untuk keunggulan tim tamu PSV Eindhoven. Dua gol Persebaya kala itu dicetak oleh duet ujung tombaknya, yakni Dodik Suprayogi pada menit ke-4 dan Arek Malang, Muhammad Ajid pada menit ke-63.

Selama membesut Persebaya Surabaya di Liga Indonesia II tahun 1995-1996, Sasho hanya mampu membawa Bajul Ijo finish di peringkat 7 dari 16 konstentan. Kemasukan 45 gol dan kebobolan 35 gol. Dengan catatan 12 kemenangan, 11 hasil seri, dan 7 kekalahan dengan jumlah poin 47. Hanya selisih 1 poin dari peringkat enam Putra Samarinda yang lolos ke babak enam besar ketika itu. Nyaris, bukan?

Satu catatan kecil saya adalah Sasho tak ragu menurunkan Bejo Sugiantoro yang saat itu baru berusia 18 tahun untuk mengawal lini belakang Persebaya sedari awal pertandingan. Beberapa taktiknya memang terlihat unik. Salah satunya adalah Sasho kerap memasang Bejo Sugiantoro sebagai pemain depan tatkala lini depannya mandul gol. Memang kecepatan, skill, dan ketangguhan ayah dari bek Persebaya 2017, Rachmat Irianto, saat itu amatlah prima. Dan hal ini pun berbuah manis. Beberapa kali arek Ngaglik ini mencetak gol-gol penting bagi Persebaya.

Ingat gol tendangan jarak jauh Bejo mengelabui kiper Persma Manado, Rudy Momot? Ketika itu Persebaya bermain imbang 2-2 ketika dijamu Persma Manado di Stadion Klabat, Manado. Gol ini adalah buah kecerdikan Sasho memainkan Bejo sebagai pemain depan. Disaat pemain depan Persebaya dirasakan tumpul.

Dahulu, penerjemah Sasho didatangkan dari CCCL (Pusat Kebudayaan Perancis) yang berpusat di Jl. Darmokali, Surabaya. Karena Sasho ini tidak begitu fasih berbahasa Inggris. Dia hanya fasih berbahasa Prancis, selain bahasa Bulgaria tentunya. Kini CCCL ini bertransformasi menjadi IFI Surabaya dan berkantor di Gedung AJBS Jl. Ratna, Surabaya.

Di usianya yang senja, Sasho masih tercatat sebagai pemandu bakat klub awal di mana Sasho memulai karier sepak bolanya, yaitu klub Levski Sofia, Bulgaria. (dpp)

*Disarikan dari buku Persebaya And Them : Jejak Legiun Asing Tim Bajul Ijo.

ASN Kemenkeu | Founder #StatsRawon | Anggota Bonek Writers Forum

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Pelatih

Warisan Rusdi Bahalwan

Published

on

Hari itu, 7 Agustus 2011, Rusdi Bahalwan meninggal dunia. Seorang legenda: sebagai pemain membawa Persebaya Surabaya menjadi juara perserikatan era 1977-1978, dan sebagai pelatih menjuarai Liga Indonesia musim 1996-1997.

Dalam sejarah Persebaya, sependek ingatan saya, hanya Jacksen F. Tiago yang berhasil meniru Rusdi, yakni menjuarai Liga Indonesia pada 1996-1997 saat menjadi pemain, dan mengangkat trofi yang sama pada 2004 saat melatih tim berjuluk Bajul Ijo itu.

Namun Rusdi memiliki kelebihan dibandingkan Jacksen. Selain berstatus arek Surabaya asli, ia tak hanya menghadirkan trofi di Wisma Persebaya di Karang Gayam. Alumnus SMA Negeri 6 Surabaya ini juga mewariskan filosofi sepak bola ‘Coming from Behind’.

‘Coming from Behind’ atau bergerak dari arah belakang adalah taktik sepak bola ofensif yang mengandalkan kecepatan lini kedua untuk menyengat pertahanan lawan. Para pemain harus aktif bergerak dan melakukan ‘passing support’. Begitu memberikan umpan, pemain lini kedua harus muncul tiba-tiba dari belakang, memberikan kejutan saat pemain bertahan lawan berkonsentrasi terhadap barisan penyerang.

Taktik ‘Coming from Behind’ mirip dengan taktik Indra Sjafri di tim nasional Indonesia U19, namun lebih efektif, karena tak senantiasa berputar-putar dengan penguasaan bola layaknya Barcelona. Tiga gol ke gawang Korea Selatan berasal dari kaki Evan Dimas yang jelas-jelas pemain gelandang, yang muncul tiba-tiba saat pemain lawan berkonsentrasi menghadapi pemain-pemain depan timnas. Bedanya, Indra menggunakan formasi 4-3-3 yang mengandalkan trisula di barisan penyerang. Sementara, menurut mantan pemain Persebaya Yani Fathurrachman, Rusdi menyukai formasi 4-4-2.

Yani adalah kapten Persebaya era 1990-an. Arek asli Jember ini direkrut kuartet pelatih Rusdi Bahalwan, Subodro, Totok Risantono, dan Zulkifli Yasin masuk tim inti Persebaya untuk mengikuti turnamen Piala Jawa Pos 1990. Usianya waktu itu 20 tahun, dan Persebaya tengah meremajakan mesin mereka.

Para pemain yang berhasil menjuarai kompetisi perserikatan 1987-1988 seperti I Gde Putu Yasa dan Syamsul Arifin digeser, digantikan pemain-pemain berusia di bawah 23 tahun seperti Winedi Purwito, Yusuf Ekodono, Ibnu Grahan. Satu-satunya pemain tua yang tersisa adalah Usman Hadi.

Rusdi memberikan tugas gelandang pengangkut air alias holding midfielder kepada Yani. Yani mendapat jatah nomor punggung 7, yang sering disebut nomor keramat atau magnificent seven di sejumlah klub di dunia seperti Liverpool dan Manchester United. Di Liverpool, nomor punggung tujuh dikenakan pemain fenomenal seperti Kenny Dalglish, Kevin Keegan, Peter Beardsley, atau Luis Suarez. Sementara di United, ini nomor punggung milik Cristiano Ronaldo, George Best, David Beckham, atau Angel di Maria.

Yani masih ingat benar bagaimana Rusdi mewajibkan penguasaan bola dalam filosofi ‘Coming from Behind’. “Tiap hari latihan possesion minimal 30 menit, minimal harus 150 kali sentuhan bola. Pemain tidak boleh cepat kehilangan bola,” katanya, mengenang.

Yani memahami benar betapa beratnya tugas gelandang bertahan. “Gelandang bertahan harus punya power dan punya jiwa perusak. Begitu bola kena lawan, saya kejar, saya cut. Kalau main dari belakang (zona pertahanan), saya yang mengelola. Kalau bek kanan dan kiri naik membantu serangan, saya bergeser (menutup area yang ditinggalkan),” katanya.

Xabi Alonso, maestro lapangan tengah yang bermain untuk Liverpool, Real Madrid, dan Bayern Munchen, mengatakan, seorang gelandang bertahan harus bersabar. Di matanya, seorang gelandang bertahan adalah penghubung antara lini belakang dan lini serang. Ia bertugas membuat permainan mengalir dengan memainkan banyak operan dan menjaga keteraturan di lapangan tengah.

“Peran saya adalah membuat membuat struktur dan keseimbangan dalam permainan dan membuat rekan setim bisa memaksimalkannya. Saya mencoba membuka ruang saat rekan satu tim membutuhkannya untuk mencetak gol. Saya mencoba menutup ruang yang bisa dimanfaatkan lawan di belakang,” kata Xabi dalam wawancara dengan Fifa.com.

Xabi sama seperti Yani. “Kalau stopper minggir, saya ke tengah. Tidak saling mengandalkan. Yang terdekat dengan bola, itu yang mengejar bola,” kata Yani.

Posisi dirijen orkestra pengatur serangan diserahkan sepenuhnya kepada Winedi Purwito dan Ibnu Grahan. “Posisi saya agak ke dalam, di belakang dua pemain itu. Saya bagian mengantisipasi serangan lawan dan melakukan serangan balik, melindungi dua bek tengah. Saya bekerjasama dan saling mengisi dengan stoper,” kenang Yani.

Filosofi Rusdi mirip filosofi ‘Pass and Move’ Liverpool yang kuat di era 1970 dan 1980. Kekuatan gaya ‘Pass and Move’ ala Liverpool dan ‘Coming from Behind’ adalah pada kecepatan yang memunculkan banyak opsi dalam serangan dan operan lebih variatif. Tak boleh ada pemain yang berjalan santai. Semua harus berinisiatif mencari bola dan memberikan operan. “Tunggu teman muncul, langsung kasih bola. Kalau teman diikuti pemain lawan, kita bawa sendiri, cari ruang kosong,” kata Yani.

Konsekuensinya taktik ini mengharuskan tim memiliki pemain dengan kemampuan hebat dalam mengontrol dan bergerak dengan bola. Baik gaya ‘Pass and Move’ dan ‘Coming from Behind’ membutuhkan pemain-pemain yang cepat dalam bergerak dan mengumpan. Jika terlampau lambat, tim lawan bisa cepat membangun area pertahanan.

“Pass and Move. This style is quite obvious really, the whole idea of controlling the ball well, finding a pass and then always moving to a different angle or space, never standing still,” kata Paul Barratt, salah seorang mantan pemain Liverpool yang melatih di Akademi Liverpool di Indonesia.

Klub Jember United yang dilatih Yani Fathurrachman berutang budi kepada almarhum Rusdi. Gaya permainan yang menjadi karakter dan ciri khas sepak bola menyerang Rusdi diterapkan sangat apik oleh tim senior dan muda Jember United.

Tiga trofi utama diraih Jember United dalam usia empat tahun dengan menggunakan filosofi sepak bola ini. Bukan kebetulan jika kemudian Jember United memiliki pemain-pemain yang cepat di tim senior maupun tim muda. Sebut saja Paulo Sitanggang dan Faisol Yunus. Paulo kini bermain untuk Barito Putra.

Yani mengadaptasi apa yang dilakukan Rusdi di Persebaya dulu, yakni menggembleng mental pemain. Pola ‘Coming from Behind’ membutuhkan semangat juang kuat. “Rusdi kalau briefing untuk menyemangati anak buahnya sangat berkesan. Masuk ke kami: ‘Ayo kalian bisa, kerahkan semua apa yang kita latih. Jangan setengah-setengah, kita bergerak dengan bola. Jangan takut salah, jangan takut dimarahi, lepas terus kayak kita latihan,” kata Yani.

Menurut Yani setiap ucapan Rusdi masuk ke hati pemain. Jika ada pemain yang tak bermain bagus, Rusdi tak pernah memarahi habis-habisan, namun cukup diajak bicara hati ke hati. “Kalian jangan merasa pintar, masih ada yang lebih pintar. Kalian harus belajar. Saya ingat omongan Rusdi itu. Kalian juara, tahun depan belum tentu juara. sampai juara. harus belajar lagi. Latihan tambah lagi. Jangan mudah puas.”

Penulis buku The Manager: Inside the Minds of Football’s Leaders, Mike Carson, menyebut pemimpin yang hebat memiliki pola pikir yang ingin selalu belajar. Ia menyitir kata-kata Brendan Rodgers, pelatih Liverpool: ‘Tetap belajar. Saya makin tua, tapi para pemain akan selalu muda. Demi kepentingan mereka, saya tak boleh hanya diam’.

Filosofi lain Rusdi Bahalwan adalah sepak bola relijiusnya. Yani belajar banyak tentang bagaimana ‘sepak bola dan ketakwaan’ darinya.Semasa hidup, Rusdi dikenal sebagai sosok yang disiplin. Bersama Subodro, dia berhasil menciptakan kebersamaan di tubuh Persebaya, sehingga menjadikan klub berjuluk Bajul Ijo ini ditakuti tim lain. “Ibarat bapak dan anak, beliau selalu siap mendampingi,” kata Yani.

Yani paham, hedonisme sangat merusak pemain sepak bola dan pada gilirannya merusak tim. Semua pelatih kelas dunia berusaha menjaga anak-anak asuhnya agar tak jatuh dalam godaan kehidupan glamor dan instan dunia sepak bola.

Manajer legendaris Liverpool Bill Shankly dalam otobiografinya mengingatkan betapa hedonisme bisa membuat pemain menjadi lemah. “Terlalu banyak makan dan tidur bisa sama buruknya dengan terlalu banyak minum, terlalu banyak merokok, terlalu banyak begadang, dan terlalu banyak berhubungan seks,” katanya.

Rusdi tak hanya mengajarkan sepak bola, tapi juga menciptakan kekompakan dan kebersamaan dengan jalan salat berjamaah. Setiap magrib, setelah salat, dia memberikan dakwah dan siraman rohani kepada anak-anak asuhnya. Setiap ada pemusatan latihan, setelah latihan sore dan mandi, para pemain segera ke musola.

Ada kalanya Rusdi menyuruh salah satu pemain untuk mengimami salat magrib dan isya. Mereka juga makan malam bersama-sama. “Saya mendapat ilmu yang besar sekali manfaatnya untuk hidup selama dilatih Pak Rusdi. Pengalaman di lapangan oke, siraman rohani oke,” kata Yani.

Perpaduan sepak bola dan agama ini diterapkan Yani di Jember United. Setiap kali Jember United bertanding, di mana pun, ia selalu membawa anak asuhnya ke musala saat magrib tiba. “Latihan jam lima sore, habis mandi langsung ke musala,” katanya.

Sang tukang gedor Sabeq Fahmi Fahrezy mendapat tugas sebagai tukang azan. Yani menjadi imam salat dan memimpin doa bersama serta salawat. Di Jakarta, sebelum pertandingan final Divisi III melawan PS Gianyar, tim Jember United menginap di Taman Mini Indonesia Indah. “Di sana ada musala besar, dan kami selalu salat jamaah di situ saat magrib dan isya,” kata Yani.

Salat berjamaah memberikan ketenangan mental kepada para pemain Jember United. Saat final, mereka mengempaskan PS Gianyar 2-0, melalui gol dari kaki Galuh Triatma Putra. Jember mengakhiri puasa gelar sejak 2002. Gelar sepak bola bergengsi tingkat nasional akhirnya mampir ke Jember pada 2013.

Andai masih hidup dan menyaksikan, Rusdi mungkin akan tersenyum: apa yang diwariskannya telah membawa kegembiraan dan kebanggaan pada sebuah kota yang terletak sekitar 200 kilometer dari kota kelahirannya. Rusdi seperti Shankly: He Made People Happy. (*)

*) Artikel ini pernah dimuat di Beritajatim.com, Senin, 10 Agustus 2015, dengan judul Rusdi dan Filosofi Coming From Behind

Continue Reading

In Memoriam Legend

Rusdy Bahalwan, Ustaz Total Football Persebaya

Published

on

Apakah kamu menikmati cara bermain Persebaya di musim lalu?

Jika iya, applause tersendiri memang seharusnya diberikan pada peracik strategi tim kita saat ini, coach Aji Santoso. Permainan Persebaya terlihat begitu mengalir dan atraktif. Mengandalkan umpan-umpan pendek dan pemain yang terus bergerak mencari ruang kosong kala menyerang, juga begitu ketat melakukan pressing saat kehilangan bola. Banyak yang menyebut pola permainan ini ibarat tiki-taka ala Barcelona. Namun sebenarnya ini adalah implementasi dari strategi total football.

Lantas, apa yang dinamakan total football?

Total football diperkenalkan Rinus Michels, pelatih top Ajax Amsterdam, Barcelona, dan Timnas Belanda di era 70-80an. Skema permainan ini mengedepankan sistem permainan cepat yang cenderung menyerang dan atraktif. Posisi pemain yang begitu rapat membuat aliran bola saat menyerang menjadi cepat dan sulit ditebak, begitu pun juga saat bertahan mereka bisa menekan lawan yang sedang menguasai bola dengan ketat. Bola mengalir begitu cepat dari kaki ke kaki tanpa harus digiring terlalu lama. Pemain dituntut bermain secara kolektif untuk bisa saling mengisi posisi yang ditinggalkan rekannya. Maka dari itu, total football membutuhkan pemain-pemain yang bisa bermain di banyak posisi.

Begitulah pola permainan yang melekat pada skuad Persebaya kala menjuarai Liga Indonesia 1996/97. Pada musim tersebut Persebaya menjadi tim paling produktif selama kompetisi digulirkan. Tercatat ada 62 gol dicetak selama penyisihan wilayah, 14 gol selama penyisihan grup dan 6 gol di fase semifinal dan final. Totalnya ada 82 gol! Sementara sang striker, Jacksen F. Tiago menjadi topscorer dengan torehan 26 gol dalam semusim. Fantastis!

Ada yang tahu siapakah sosok pelatih Persebaya di saat menjuarai kompetisi saat itu?

Tak lain dan tak bukan, dia adalah Rusdy Bahalwan, pelatih yang juga melatih coach Aji Santoso kala memperkuat Persebaya saat itu. Sebagai catatan tambahan, Rusdy juga memercayakan ban kapten disematkan pada Aji Santoso sepanjang musim berlangsung.

Rusdy begitu identik dengan Persebaya. Lahir dan besar di Surabaya, dia mengawali karirnya sebagai pemain Assyabaab Surabaya. Saat menjadi pemain, Rusdy adalah sosok yang begitu disiplin dalam berlatih dan mengembangkan skill dan performanya. Tak jarang, Rusdy menambah jam latihan sendiri di luar jam latihan klub. Berkat ketekunannya dalam berlatih itulah, tak lama berselang dia sudah dipanggil menjadi bagian skuad Persebaya Junior dalam turnamen Piala Soeratin di tahun 1967.

Rusdy Bahalwan saat masih menjadi pemain.

Awalnya Rusdy berposisi sebagai libero saat masih bermain di Assyabaab. Namun saat masuk di skuad Persebaya, dia dipindah sebagai bek kiri. Posisi ini tidak berubah hingga Rusdy bermain di Persebaya senior dan juga Timnas Indonesia.

Justru saat menjadi bek kiri itulah, performanya semakin teruji dan mendapatkan pengakuan publik. Pemain yang identik dengan nomor punggung 3 ini terkenal sebagai bek yang tangguh dan sangat sulit dilewati lawan, kuat dalam bertahan dan juga saat menyerang. Puncak prestasinya sebagai pemain adalah saat mengantarkan Persebaya menjuarai Divisi Utama Perserikatan di musim 1977/78.

Di partai final, Rusdy selaku kapten tim, bersama beberapa legenda Persebaya semacam Hadi Ismanto, Abdul Kadir, Rudi W. Keltjes, Djoko Malis, Soebodro, berhasil mengalahkan skuad Persija dengan skor dramatis, 4-3. Persebaya meraih gelar juara nasional setelah berpuasa selama 27 tahun.

Seusai gantung sepatu, Rusdy melanjutkan karirnya sebagai pelatih tim Assyabaab. Catatan emas yang dia torehkan di kompetisi Liga Kansas musim 1996/97 kala mengantarkan Persebaya kembali menjadi juara sepakbola nasional. Ini mengulangi prestasinya di musim 1977/78, bedanya kali ini dia menjadi pelatih tim. Kala itu strategi racikan pada tim Persebaya sangat terlihat elegan. Persebaya tampil dengan gaya total football , permainan bola-bola pendek yang mengalir cepat, pressing ketat, dan atraktif. Yang menjadi ciri khas lainnya adalah coming from behind, yaitu berfungsinya para gelandang sebagai second striker, menusuk dari lini kedua, memberikan tembakan-tembakan dari luar kotak penalti untuk menjebol gawang lawan ketika lini depan kita dijaga ketat. Terhitung beberapa gol dicetak gelandang-gelandang kita yang produktif seperti Uston Nawawi, Eri Irianto, dan Carlos de Mello.

Rusdy juga tak ragu untuk mengorbitkan pemain-pemain muda guna mengisi skuad senior. Sejumlah nama macam Uston Nawawi, ‘Bejo’ Sugiantoro, Anang Ma’ruf adalah sejumlah nama pemain muda yang berhasil diorbitkannya. Hal ini sepertinya dinapaktilasi oleh pelatih Persebaya saat ini, Aji Santoso, yang juga mengandalkan pemain muda untuk mengisi skuadnya.

Satu hal yang menjadi ciri khas dari Rusdy adalah sosoknya yang rendah hati serta religius. Dia dikenal sebagai guru/ustaz di mata para pemainnya. Dia menggunakan sholat berjamaah sebagai media pendekatan dan memotivasi pemain (yang muslim khususnya). Seringkali seusai memimpin sholat berjamaah bersama para pemain dan pengurus, dia juga memanfaatkan waktu seusai wirid untuk memberikan motivasi, briefing dan mendengarkan permasalahan yang dihadapi oleh para pemain.

Cara-cara seperti ini menumbuhkan kedekatan emosional antara dirinya, para pemain, dan pengurus klub. Jika ada pemain yang tampil buruk dan bermasalah, Rusdy sering mengajaknya bicara di ruangan tertutup untuk memotivasinya lebih lanjut. Semangat kedekatan kekeluargaan terpupuk melalui pendekatan-pendekatan yang beliau lakukan. Persebaya bukan sekedar klub sepakbola, namun lebih menjadi sebuah keluarga besar.

Selain hal-hal tersebut di atas, ada beberapa kalimat motivasi yang Rusdy sering katakan kepada para pemain untuk berusaha keras memenangkan setiap pertandingan, di antaranya adalah:

“Kalian pasti bisa, kerahkan semua kemampuan yang telah dilatih. Jangan setengah-setengah, kita bergerak dengan bola. Jangan takut salah.”

“Jika lawan bisa mencetak 3 gol, maka tim kamu harus bisa mencetak 4 gol.

 “Bahwa pertahanan terbaik adalah menyerang. Tidak ada kata lain.”

“Jika depan buntu, maka lini selanjutnya harus membantu atau coming from behind.”

Nama Rusdy Bahalwan akan selalu dikenang sebagai pemain, pelatih, bapak, ustaz total football, dan legenda Persebaya Surabaya. (*)

*) image credit to twitter @aprilia_jiwa

Continue Reading

Pelatih

9 Pertandingan Riono Asnan dengan Persebaya

Published

on

Berstatus sebagai runner-up kompetisi sebelumnya, pengurus Persebaya Surabaya tidak bergerak secepat biasanya dalam hal menggaet pemain, untuk mengarungi musim kompetisi musim ini. Yang menarik adalah kebijakan manajer tim untuk selalu menggunakan jasa pelatih yang juga pernah mantan pemain di Persebaya Surabaya. Kali ini yang ditunjuk adalah Riono Asnan. Mantan pemain Tim Bajul Ijo era tahun 1970-an ini seangkatan dengan Rusdy Bahalwan, pelatih Persebaya di kompetisi sebelumnya.

Debutnya di kompetisi Liga Indonesia VI dimulai tanggal 7 November 1999. Saat itu Persebaya Surabaya menahan imbang tuan rumah PSIM Jogjakarta 1-1 di Stadion Mandala Krida, Jogjakarta. Sempat unggul dahulu melalui sundulan Reinald Pieters di menit ke-12, Laskar Mataram menyeimbangkan kedudukan melalui tendangan dari jarak dekat striker Gatot Ismawan di menit ke-38.

Riono Asnan juga pernah merasakan ketatnya atmosfir Piala Winners Asia 1999. Sayang Persebaya yang tidak sejumlah pemain intinya karena dipanggil timnas dan pergi ke klub lain harus puas dengan menelan kekalahan di laga tandang dan kandang. Di Sriraket, Thailand digunduli 5-0 dan pada leg kedua di Surabaya menyerah 0-1. Tetapi tak adil bila kita hanya melihat hasilnya saja. Sisi positifnya adalah keberanian Riono memainkan sejumlah pemain muda. Kombinasi antara pemain didikan kompetisi internal Persebaya dan materi Timnas Indonesia U-19. Salah satu pemain muda yang beraksi di pentas ini kelak dikemudian hari akan dikenang sebuah nama : Mat Halil. Yang menjelma menjadi salah satu legenda Persebaya Surabaya.

Perjalanan Riono bersama Persebaya Surabaya sebetulnya terlihat mulus dan baik-baik saja. Namun seiring terjadinya penundaan pertandingan Green Force melawan lawannya di liga ditambah hasil seri yang kerap menyapa, sedikit banyak mempengaruhi performa pemain di lapangan. Walhasil kursi Riono mulai panas ketika Persebaya Surabaya kalah pertama kali oleh tuan rumah Petrokimia Putra 1-2 di Stadion Gelora 10 November pada tanggal 27 Februari 2000. Lho kok tuan rumahnya Petro ? Ya, sebetulnya ini adalah laga usiran karena Petro tak mendapat ijin menggelar pertandingan di Gresik ketika itu.

Kekalahan dari Petrokimia inilah membuat api seruan pemecatan yang digaungkan oleh Bonek mulai membahana. Padahal ketika itu Persebaya Surabaya baru bermain 7 kali. Dengan raihan 2 kemenangan, 4 imbang dan sebuah kekalahan.

Pada akhirnya sejarah mencatat, karir Riono Asnan usai hanya dengan melakoni sembilan pertandingan resmi bersama Persebaya Surabaya. Dan akhirnya Riono secara resmi mengundurkan diri dari kursi pelatih Tim Bajul Ijo. Alasannya sederhana : dia tidak kuat dengan tekanan yang diberikan oleh Bonek kepadanya.

Terima kasih Pak Riono Asnan. Jasamu bersama Persebaya Surabaya akan selalu kami kenang. (dpp)

Continue Reading

Trending