Connect with us

Pemain

Hartono, Lemparan ke Dalam Rasa Tendangan Pojok

Published

on

Ada dua nama mantan pemain Persebaya yang bernama Hartono. Yang satu adalah Sinyo Hartono, mantan pemain dan pelatih Persebaya yang wafat 2001 silam. Dan Hartono, eks punggawa Persebaya  yang dikenal berposisi sebagai bek sayap kanan.

Hartono, dilahirkan di Gresik pada 18 Maret 1970. Hartono muda adalah salah satu dari sekian banyak mantan pemain Green Force yang merasakan didikan kompetisi internal Persebaya bersama klub Sasana Bhakti atau lazim disingkat dengan sebutan Sakti.

Di klub internal tersebut, Hartono dilatih oleh Ramijan. Di klub Sakti inilah permainan Hartono mulai berkembang pesat. Perkembangan ini dipantau dengan baik oleh Persebaya, klub induk dari Sakti. Hasilnya pada 1988, Hartono terpilih memperkuat skuat Persebaya Jr. yang dilatih oleh trio pelatih (alm) Rusdy Bahalwan, Subodro dan Totok Risantono. Di tim ini Hartono membawa Persebaya Surabaya Jr. menduduki peringkat 3 nasional. Hartono bermain di Persebaya Jr. hingga 1989.

Di tahun 1990 karir Hartono semakin baik dan pada akhirnya dia mendapatkan kesempatan bermain bersama tim inti Persebaya Surabaya yang dipersiapkan untuk bermain di Piala Utama. Hartono menggeser posisi seniornya, Muharrom Rusdiana.

Untuk diketahui, Persebaya yang bermain di Piala Utama ini mayoritas dihuni oleh pemain-pemain muda. Karena ketika itu sudah saatnya Tim Bajul Ijo melakukan regenerasi. Beberapa pemain senior yang tersisa waktu itu adalah Ibnu Grahan, Yusuf Ekodono, Totok Anjik, Slamet “Gajah” Bahtiar dan Machrus Afief. Tim Pelatih Green Force saat itu adalah kuartet pelatih. Yaitu Rusdy Bahalwan, Subodro, Totok Risantono dan Zulkifli Yasin.

Di partai final Piala Utama 1990, Persebaya sebagai klub Perserikatan bersua Pelita Jaya Jakarta yang merupakan klub Galatama. Hasilnya adalah Yani Faturahman dkk mampu menundukkan The Young Guns dengan skor akhir 3-2. Gol Persebaya dicetak oleh Winedy Purwito dan dwi gol Yusuf “Nanang” Ekodono.

Kemunculan Hartono di dalam Tim Bajul Ijo ini mendapatkan apresiasi dari para penonton dan penikmat sepak bola ketika itu. Bagaimana tidak, pemilik nomor punggung empat ini langsung dikenal publik karena memiliki lemparan ke dalam yang sangat jauh. Bahkan bisa menjangkau depan gawang lawan.

Ketika penulis menanyakan hal ini kepada dirinya, ia bisa bercerita bahwa kelebihannya bukan dari latihan sebagai pemain sepak bola, namun kemampuan itu didapat ketika dirinya yang masih remaja sering membantu orang tuanya ngebloki atau merontokkan padi dengan cara padi dimasukkan ke dalam karung terus dipukuli dengan alu. Walhasil, otot-otot tangannya terbentuk dengan kuat.

Hartono pun pernah merasakan dipanggil memperkuat Tim Nasional Indonesia pada dua event yang berbeda. Yang pertama Hartono masuk kedalam skuat Timnas Indonesia Pra Olimpiade 1991. Di kesempatan ini Hartono tak bermain saat timnas bertanding di Surabaya karena operasi hernia. Lalu kesempatan kedua datang saat Hartono dipanggil memperkuat timnas untuk Piala Tiger 1998 di Vietnam.

Di era unifikasi Kompetisi Perserikatan dengan Kompetisi Galatama yang digulirkan oleh PSSI pada tahun 1994 dengan nama Liga Indonesia, Hartono tercatat sekali mempersembahkan Juara Liga Indonesia. Yakni saat perhelatan Liga Indonesia III atau dikenal sebagai Liga Kansas di tahun 1996-97. Uniknya, Hartono meraih gelar tersebut dengan arahan tangan dingin pelatih pertamanya di tim senior, Rusdy Bahalwan.

Sesuai cerita yang saya dapatkan dari Edhie Ruseno Karwoto, mantan Bidang Promosi Tim Persebaya  era 1996-2001, jasa-jasa dari Hartono kepada tim kebanggaan Arek-Arek Suroboyo ini sangat banyak. Salah satunya adalah saat pembentukan Dream Team Liga Kansas 1996-97. Sumbang sarannya kepada tim pelatih dan pengurus bersama Eri Irianto dan Mursyid Effendi perihal nama-nama pemain asal Jawa Timur yang akan direkrut sangatlah membantu. Dan memang dikemudian hari sejarah mencatat bahwa Persebaya Musim 1996-97 menjadikan tim terproduktif sepanjang masa. Dengan raihan 82 gol dari 26 kali bertanding. Dan mengorbitkan banyak bintang-bintang muda asal Jawa Timur yang berbakat. Seperti Uston Nawawi, Jatmiko, Reinald Pieters, Bejo Sugiantoro, Anang Ma’ruf hingga Abdul “Ciblek” Kirom.

Hartono mengabadikan sepanjang karirnya bersama Persebaya. Mulai tahun 1990 hingga tahun 2001. Di akhir kompetisi Liga Indonesia VII Tahun 2001, Hartono resmi menggantung sepatunya. Bukan karena tidak mampu bersaing, namun karena cedera lutut yang dialaminya.

Saat ini Hartono mengabdikan dirinya sebagai abdi negara di PDAM Surabaya sejak tahun 1996.

Sehat terus Cak Har! (dpp)

ASN Kemenkeu | Founder #StatsRawon | Anggota Bonek Writers Forum

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Pemain

Soebodro : Sang Loyalis Persebaya (1)

Published

on

Generasi jaman sekarang mungkin tak banyak mengetahui dan mengenal siapa sosok Soebodro ini. Namun percayalah, banyak hal yang telah diukir olehnya bersama Persebaya Surabaya baik sebagai pemain maupun pelatih.

R. Soebodro dilahirkan di Kota Solo, Jawa Tengah pada tanggal 13 Mei 1950. Gelar Raden pada nama depanya menandakan dirinya memiliki darah biru dari garis keturunan ayahandanya yang bernama R.M. Broto Soepadmo. Ketika penulis menanyakan arti nama Soebodro kepada empunya nama saat bertamu di kediamannya pada Bulan September 2018 silam, beliau hanya memberitahu singkat bahwa nama pemberian orang tuanya tersebut memiliki makna menjadi orang yang pemberani namun ramah. Sebuah nama yang, alhamdulillah, sesuai dengan kenyataannya di kemudian hari.

Tag: Soebodro - Persebaya Surabaya Kehilangan Legendanya - TribunNews.com
Soebodro dan Dedy Sutanto, dua mantan pemain Persebaya di era yang berbeda. (Arsip Tribunnews)

Soebodro sejak  kecil memang suka sekali bermain dengan si kulit bundar. Ditambah lagi kakak-kakaknya pun memiliki hobi yang sama dengannya. Tambah semangatlah dia bermain. “Sering Mas, sampai-sampai suara bedug adzan Maghrib baru pulang kerumah. Untungnya orang tua kami tak marah. Ya marah sekali dua kali sih pernah hehehehe. Namanya juga anak-anak”, tutur Soebodro kepada penulis.

Sejak kecil Soebodro sudah sering merasakan berpindah-pindah tempat tinggal. Hal ini terjadi karena ayahanda Subodro berprofesi sebagai pegawai PTT (Post, Telepon dan Telegraf). Secara keseluruhan masa kecil Soebodro dihabiskan di dua kota, yakni Bandung dan Surabaya. Memasuki usia 16 tahun, Soebodro dan keluarga pindah ke Kota Pahlawan. Di Surabaya, kedua orangtua Soebodro menempati sebuah  rumah di Jl. Perak Barat. Rumah itu kini menjadi Kantor Pos Tanjung Perak. Secara kebetulan di seberang rumah terdapat sebuah lapangan Sepak Bola. Penduduk lokal lebih mengenalinya dengan nama Lapangan Prapat Kurung. “Nah disinilah bakat Sepak Bola saya mulai terasah dan dilihat oleh orang lain Mas”, pungkas Soebodro. Kala itu di tahun 1966 Subodro mendapat restu dari orang tuanya untuk belajar Sepak Bola bersama SSB Garuda Putih. Sebuah Sekolah Sepak Bola yang berafiliasi dengan klub internal kompetisi Persebaya, P.S. Assyabaab.

Hampir setiap hari Soebodro bersama kakak-kakaknya dan teman-teman sebaya bermain Sepak Bola di lapangan ini. “Jaman dulu belum bisa beli sepatu, jadinya kami bermain tanpa alas kaki alias nyeker, seperti ini saja sudah bahagia kami”, kata Soebodro sambil menerawang jauh. Ayahnya pun ikut andil dalam perkembangan permainan anak-anaknya. Selepas kesibukannya bekerja, Pak Bagio (panggilan akrab ayahanda Soebodro) selalu ikut mendampingi dan membimbing anak-anaknya belajar sekaligus bermain Sepak Bola.

Seringnya bermain sepak bola disana, ternyata ada seseorang yang selalu mengawasi gerak-geriknya. Sosok tersebut bernama Hafid Bajamal yang merupakan Ketua SSB Garuda Putih. Beliau juga merupakan salah satu pengurus P.S. Assyabaab. Pada suatu hari pengurus tersebut mengajaknya berbicara serius seusai bermain Sepak Bola. “Pada intinya dia tertarik dengan permainan saya dan bakal mengajak ketuanya datang menemui saya besok”, papar Soebodro.  

Bagaimana kelanjutannya? Bersambung di tulisan berikutnya.(dpp)

Tulisan ini ditulis oleh Dhion Prasetya dan telah dibukukan dalam kumpulan tulisan dari Bonek Writers Forum berjudul “Persebaya Dan Dinamika Pembinaan Sepak Bola Indonesia” edisi peringatan Ultah ke-96 Tahun Persebaya Surabaya.

Continue Reading

Pemain

Higor Vidal, Kisah Seorang Ayah

Published

on

Persebaya beruntung mendapatkan gelandang serang seperti Higor Vidal. Permainannya memang tidak langsung nyetel dengan tim, toh siapapun pasti butuh waktu untuk beradaptasi. Tapi dengan dua kali penampilannya selama memperkuat Persebaya di liga1, kita sudah melihat kualitasnya sebagai jendral kreator serangan yang handal. Kita berharap permainannya akan terus berkembang dan bisa memberikan efek positif kepada tim di musim ini.

Cerita ini tidak akan mengulas kehebatan Vidal di lapangan. Namun cerita ini adalah tentang sosok Vidal sebagai seorang bapak di rumah.

Sebagai pendatang baru dengan lingkungan baru yang asing, keluarga Vidal harus beradaptasi dengan suasana kota Surabaya, baik faktor cuaca, lokasi tinggal dan makanan. Di kala sang istri lelah, Vidal rela dan cekatan mengurus bayinya, David, yang masih berusia 10 bulan, untuk sekedar mengganti pampers dan membuatkan susu.

Mungkin bagi sebagian orang, hal-hal seperti ini remeh dan banyak ditemui di kejadian sehari-hari. Namun justru di sinilah letak istimewanya menjadi laki-laki. Selama ini laki-laki selalu diistimewakan untuk tidak perlu mengurus rumah dan anak-anak, semua itu urusan istri/perempuan. Tugas laki-laki hanya mencari nafkah, pulang kerja capek ya istirahat, tidur. Anak-anak dan pekerjaan domestik rumah… ya urusan perempuan. Namun Vidal melakukan hal yang berbeda dari mainstream yang berlaku. Tidakkah ini menjadi contoh bagi kita semua akan sosok lelaki dan bapak yang baik?

Pria memang memiliki tugas sebagai pencari nafkah buat keluarganya, namun mengurus anak itu tanggungjawab bersama, tidak hanya ditanggung ibu semuanya. Berbagi tugas domestik justru akan mempererat ikatan dalam keluarga, termasuk membimbing dan mendidik anak. Anak juga perlu sentuhan , perlu menjalin komunikasi yang baik dengan bapaknya juga.

Di sini, Higor Vidal sudah menunjukkan sosoknya sebagai seorang bapak yang baik. Di tengah kesibukannya sebagai pemain sepakbola yang pastinya melelahkan secara fisik, dia masih meluangkan waktunya untuk anak dan istrinya. Pantas untuk dijadikan role model lelaki dan bapak yang baik.

Kita tentunya tidak berharap begadangnya Vidal di malam hari akan membuat performanya menurun. Saya yakin Vidal juga seorang pemain yang menjunjung profesionalisme yang tinggi. Salut buat papa Vidal, sosok jenderal di dalam dan di luar lapangan. (*)

Continue Reading

In Memoriam Legend

Rusdy Bahalwan, Ustaz Total Football Persebaya

Published

on

Apakah kamu menikmati cara bermain Persebaya di musim lalu?

Jika iya, applause tersendiri memang seharusnya diberikan pada peracik strategi tim kita saat ini, coach Aji Santoso. Permainan Persebaya terlihat begitu mengalir dan atraktif. Mengandalkan umpan-umpan pendek dan pemain yang terus bergerak mencari ruang kosong kala menyerang, juga begitu ketat melakukan pressing saat kehilangan bola. Banyak yang menyebut pola permainan ini ibarat tiki-taka ala Barcelona. Namun sebenarnya ini adalah implementasi dari strategi total football.

Lantas, apa yang dinamakan total football?

Total football diperkenalkan Rinus Michels, pelatih top Ajax Amsterdam, Barcelona, dan Timnas Belanda di era 70-80an. Skema permainan ini mengedepankan sistem permainan cepat yang cenderung menyerang dan atraktif. Posisi pemain yang begitu rapat membuat aliran bola saat menyerang menjadi cepat dan sulit ditebak, begitu pun juga saat bertahan mereka bisa menekan lawan yang sedang menguasai bola dengan ketat. Bola mengalir begitu cepat dari kaki ke kaki tanpa harus digiring terlalu lama. Pemain dituntut bermain secara kolektif untuk bisa saling mengisi posisi yang ditinggalkan rekannya. Maka dari itu, total football membutuhkan pemain-pemain yang bisa bermain di banyak posisi.

Begitulah pola permainan yang melekat pada skuad Persebaya kala menjuarai Liga Indonesia 1996/97. Pada musim tersebut Persebaya menjadi tim paling produktif selama kompetisi digulirkan. Tercatat ada 62 gol dicetak selama penyisihan wilayah, 14 gol selama penyisihan grup dan 6 gol di fase semifinal dan final. Totalnya ada 82 gol! Sementara sang striker, Jacksen F. Tiago menjadi topscorer dengan torehan 26 gol dalam semusim. Fantastis!

Ada yang tahu siapakah sosok pelatih Persebaya di saat menjuarai kompetisi saat itu?

Tak lain dan tak bukan, dia adalah Rusdy Bahalwan, pelatih yang juga melatih coach Aji Santoso kala memperkuat Persebaya saat itu. Sebagai catatan tambahan, Rusdy juga memercayakan ban kapten disematkan pada Aji Santoso sepanjang musim berlangsung.

Rusdy begitu identik dengan Persebaya. Lahir dan besar di Surabaya, dia mengawali karirnya sebagai pemain Assyabaab Surabaya. Saat menjadi pemain, Rusdy adalah sosok yang begitu disiplin dalam berlatih dan mengembangkan skill dan performanya. Tak jarang, Rusdy menambah jam latihan sendiri di luar jam latihan klub. Berkat ketekunannya dalam berlatih itulah, tak lama berselang dia sudah dipanggil menjadi bagian skuad Persebaya Junior dalam turnamen Piala Soeratin di tahun 1967.

Rusdy Bahalwan saat masih menjadi pemain.

Awalnya Rusdy berposisi sebagai libero saat masih bermain di Assyabaab. Namun saat masuk di skuad Persebaya, dia dipindah sebagai bek kiri. Posisi ini tidak berubah hingga Rusdy bermain di Persebaya senior dan juga Timnas Indonesia.

Justru saat menjadi bek kiri itulah, performanya semakin teruji dan mendapatkan pengakuan publik. Pemain yang identik dengan nomor punggung 3 ini terkenal sebagai bek yang tangguh dan sangat sulit dilewati lawan, kuat dalam bertahan dan juga saat menyerang. Puncak prestasinya sebagai pemain adalah saat mengantarkan Persebaya menjuarai Divisi Utama Perserikatan di musim 1977/78.

Di partai final, Rusdy selaku kapten tim, bersama beberapa legenda Persebaya semacam Hadi Ismanto, Abdul Kadir, Rudi W. Keltjes, Djoko Malis, Soebodro, berhasil mengalahkan skuad Persija dengan skor dramatis, 4-3. Persebaya meraih gelar juara nasional setelah berpuasa selama 27 tahun.

Seusai gantung sepatu, Rusdy melanjutkan karirnya sebagai pelatih tim Assyabaab. Catatan emas yang dia torehkan di kompetisi Liga Kansas musim 1996/97 kala mengantarkan Persebaya kembali menjadi juara sepakbola nasional. Ini mengulangi prestasinya di musim 1977/78, bedanya kali ini dia menjadi pelatih tim. Kala itu strategi racikan pada tim Persebaya sangat terlihat elegan. Persebaya tampil dengan gaya total football , permainan bola-bola pendek yang mengalir cepat, pressing ketat, dan atraktif. Yang menjadi ciri khas lainnya adalah coming from behind, yaitu berfungsinya para gelandang sebagai second striker, menusuk dari lini kedua, memberikan tembakan-tembakan dari luar kotak penalti untuk menjebol gawang lawan ketika lini depan kita dijaga ketat. Terhitung beberapa gol dicetak gelandang-gelandang kita yang produktif seperti Uston Nawawi, Eri Irianto, dan Carlos de Mello.

Rusdy juga tak ragu untuk mengorbitkan pemain-pemain muda guna mengisi skuad senior. Sejumlah nama macam Uston Nawawi, ‘Bejo’ Sugiantoro, Anang Ma’ruf adalah sejumlah nama pemain muda yang berhasil diorbitkannya. Hal ini sepertinya dinapaktilasi oleh pelatih Persebaya saat ini, Aji Santoso, yang juga mengandalkan pemain muda untuk mengisi skuadnya.

Satu hal yang menjadi ciri khas dari Rusdy adalah sosoknya yang rendah hati serta religius. Dia dikenal sebagai guru/ustaz di mata para pemainnya. Dia menggunakan sholat berjamaah sebagai media pendekatan dan memotivasi pemain (yang muslim khususnya). Seringkali seusai memimpin sholat berjamaah bersama para pemain dan pengurus, dia juga memanfaatkan waktu seusai wirid untuk memberikan motivasi, briefing dan mendengarkan permasalahan yang dihadapi oleh para pemain.

Cara-cara seperti ini menumbuhkan kedekatan emosional antara dirinya, para pemain, dan pengurus klub. Jika ada pemain yang tampil buruk dan bermasalah, Rusdy sering mengajaknya bicara di ruangan tertutup untuk memotivasinya lebih lanjut. Semangat kedekatan kekeluargaan terpupuk melalui pendekatan-pendekatan yang beliau lakukan. Persebaya bukan sekedar klub sepakbola, namun lebih menjadi sebuah keluarga besar.

Selain hal-hal tersebut di atas, ada beberapa kalimat motivasi yang Rusdy sering katakan kepada para pemain untuk berusaha keras memenangkan setiap pertandingan, di antaranya adalah:

“Kalian pasti bisa, kerahkan semua kemampuan yang telah dilatih. Jangan setengah-setengah, kita bergerak dengan bola. Jangan takut salah.”

“Jika lawan bisa mencetak 3 gol, maka tim kamu harus bisa mencetak 4 gol.

 “Bahwa pertahanan terbaik adalah menyerang. Tidak ada kata lain.”

“Jika depan buntu, maka lini selanjutnya harus membantu atau coming from behind.”

Nama Rusdy Bahalwan akan selalu dikenang sebagai pemain, pelatih, bapak, ustaz total football, dan legenda Persebaya Surabaya. (*)

*) image credit to twitter @aprilia_jiwa

Continue Reading

Trending